Enaknya Jadi Umat Nabi Muhammad

Fiqhislam.com - Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir (khātamun nabīyyīn), nabi yang memiliki berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi terdahulu. Hal ini dibuktikan dari posisi Nabi Muhammad SAW yang menjadi imam para nabi terdahulu saat melaksanakan Isra’. Begitu juga dengan umat Nabi Muhammad.
Selain Nabi Muhammad, umatnya pun ternyata memiliki berbagai keistimewaan. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasany dalam sebuah karyanya, Khashaish al-Ummah al-Muhammadiyyah menyebutkan banyak sekali keistimewaan yang diperoleh oleh umat Nabi Muhammad, salah satunya adalah mendapatkan berbagai kemudahan yang tidak diterima oleh umat-umat nabi terdahulu.
Hal ini mengacu pada sebuah ayat Al-Quran surat al-A’raf ayat 157:
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran), mereka itulah orang-orang beruntung.
Kalimat wa yadha’u anhum israhum wal aglal dalam ayat di atas menunjukkan bahwa umat Nabi Muhammad, yang digambarkan dalam ayat tersebut sebagai pengikut nabi yang ummi, akan mendapatkan keringanan serta kemudahan dan dijauhkan dari hal-hal yang dapat memberatkannya.
Setidaknya ada tiga belas (13) kemudahan yang diterima oleh umat Nabi Muhammad, dan tidak didapatkan oleh para umat nabi pendahulunya.
Keringanan saat menyucikan najis.
Umat-umat Nabi terdahulu mendapatkan salah satu hal berat dalam menjalankan agamanya. Saat bajunya terkena najis misalnya, mereka diwajibkan untuk memotongnya. Penjelasan terkait hal ini bisa dilihat dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud, bab Istibra’ minal baul,
كانوا إذا أصابه البول جسد أحدهم، قطعوا ما أصابه البول منهم
Para umat nabi terdahulu, ketika salah satu anggota badan mereka terkena najis, mereka memotong bagian yang terkena najis tersebut.
Para ulama berbeda pendapat terkait bagian yang dipotong untuk menghilangkan najis, yaitu apakah badannya, atau hanya pakaiannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dipotong adalah setiap hal yang terkena najis, meskipun anggota badan.
Namun ulama lain, seperti al-Qurthubi menakwil hadis tersebut dengan tambahan data dari hadis Muslim yang menyebut, jilda ahadihim (kulit mereka). Al-Qurthubi menilai bahwa yang dimaksud kulit bukan kulit bagian dari anggota badan melainkan hanya pakaian kulit yang dikenakan.
Berbeda dengan umat nabi Muhammad yang diberi keringanan untuk menghilangkan najis, yaitu hanya dengan mencucinya sampai bersih. Bayangkan jika kita diharuskan seperti umat terdahulu, bisa jadi kita ganti dan beli baju tiap hari.
Tidak perlu mengisolasi perempuan yang haid
Tradisi umat nabi terdahulu adalah mengisolasi para perempuan yang sedang haid. Mereka dilarang untuk berkumpul satu rumah dengan orang-orang haid. Bahkan mereka tidak boleh makan bersama, apalagi satu wadah bersama saat makan dan minum.
Namun bagi umat Nabi Muhammad, perempuan yang haid adalah seperti perempuan biasa. Mereka tetap bisa berkumpul dengan anggota keluarganya tanpa harus disolasi. Mereka boleh serumah bersama, makan minum bersama, dan tidur bersama. Dalam sebuah hadis bahkan digambarkan, nabi menggunakan gelas yang sama dengan Aisyah, padahal saat itu Aisyah sedang haid.
Larangan bagi perempuan yang haid dalam urusan keluarga hanyalah tidak boleh berhubungan seksual (istimta’) di antara pusar hingga lutut. Dalam sebuah hadis disebutkan,
إصنعوا كل شيئ إلا النكاح
Boleh melakukan apapun kecuali berhubungan seksual.
Qishash bisa diganti dengan diyat
Dalam ajaran umat nabi terdahulu, hukuman bagi pembunuhan atau kekerasan hanyalah qishash, tidak ada diyat, bahkan walaupun tidak disengaja atau saat salah sasaran. Pokoknya semua harus diganti dengan qishash.
وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس
Dan kami telah wajibkan kepada mereka (umat terdahulu) hukuman nyawa dengan nyawa.
Hal ini tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Dalam ayat Al-Quran bahkan dijelaskan ada alternatif hukuman lain jika keluarga memaafkan sang pembunuh.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ – ١٧٨
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. (Al-Baqarah ayat 178)
Dipermudah jalan untuk taubat
Jalan taubat bagi umat terdahulu adalah membunuh dirinya sendiri. Hal ini disebutkan dalam surat al-Baqarah 54:
فَتُوْبُوْٓا اِلٰى بَارِىِٕكُمْ فَاقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ
… karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu.
Bahkan, Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, cara seperti ini juga berlaku bagi orang-orang yang taubat dari maksiat ringat seperti bohong dan menatap lawan jenis.
Adapun umat Nabi Muhammad, jalan taubatnya dipermudah. Mereka yang ingin bertaubat tak perlu membunuh diri mereka sendiri. Cukup dengan meminta ampun kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka dosanya akan diampuni.
وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا – ١١٠
Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Fiqhislam.com - Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir (khātamun nabīyyīn), nabi yang memiliki berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi terdahulu. Hal ini dibuktikan dari posisi Nabi Muhammad SAW yang menjadi imam para nabi terdahulu saat melaksanakan Isra’. Begitu juga dengan umat Nabi Muhammad.
Selain Nabi Muhammad, umatnya pun ternyata memiliki berbagai keistimewaan. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasany dalam sebuah karyanya, Khashaish al-Ummah al-Muhammadiyyah menyebutkan banyak sekali keistimewaan yang diperoleh oleh umat Nabi Muhammad, salah satunya adalah mendapatkan berbagai kemudahan yang tidak diterima oleh umat-umat nabi terdahulu.
Hal ini mengacu pada sebuah ayat Al-Quran surat al-A’raf ayat 157:
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran), mereka itulah orang-orang beruntung.
Kalimat wa yadha’u anhum israhum wal aglal dalam ayat di atas menunjukkan bahwa umat Nabi Muhammad, yang digambarkan dalam ayat tersebut sebagai pengikut nabi yang ummi, akan mendapatkan keringanan serta kemudahan dan dijauhkan dari hal-hal yang dapat memberatkannya.
Setidaknya ada tiga belas (13) kemudahan yang diterima oleh umat Nabi Muhammad, dan tidak didapatkan oleh para umat nabi pendahulunya.
Keringanan saat menyucikan najis.
Umat-umat Nabi terdahulu mendapatkan salah satu hal berat dalam menjalankan agamanya. Saat bajunya terkena najis misalnya, mereka diwajibkan untuk memotongnya. Penjelasan terkait hal ini bisa dilihat dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud, bab Istibra’ minal baul,
كانوا إذا أصابه البول جسد أحدهم، قطعوا ما أصابه البول منهم
Para umat nabi terdahulu, ketika salah satu anggota badan mereka terkena najis, mereka memotong bagian yang terkena najis tersebut.
Para ulama berbeda pendapat terkait bagian yang dipotong untuk menghilangkan najis, yaitu apakah badannya, atau hanya pakaiannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dipotong adalah setiap hal yang terkena najis, meskipun anggota badan.
Namun ulama lain, seperti al-Qurthubi menakwil hadis tersebut dengan tambahan data dari hadis Muslim yang menyebut, jilda ahadihim (kulit mereka). Al-Qurthubi menilai bahwa yang dimaksud kulit bukan kulit bagian dari anggota badan melainkan hanya pakaian kulit yang dikenakan.
Berbeda dengan umat nabi Muhammad yang diberi keringanan untuk menghilangkan najis, yaitu hanya dengan mencucinya sampai bersih. Bayangkan jika kita diharuskan seperti umat terdahulu, bisa jadi kita ganti dan beli baju tiap hari.
Tidak perlu mengisolasi perempuan yang haid
Tradisi umat nabi terdahulu adalah mengisolasi para perempuan yang sedang haid. Mereka dilarang untuk berkumpul satu rumah dengan orang-orang haid. Bahkan mereka tidak boleh makan bersama, apalagi satu wadah bersama saat makan dan minum.
Namun bagi umat Nabi Muhammad, perempuan yang haid adalah seperti perempuan biasa. Mereka tetap bisa berkumpul dengan anggota keluarganya tanpa harus disolasi. Mereka boleh serumah bersama, makan minum bersama, dan tidur bersama. Dalam sebuah hadis bahkan digambarkan, nabi menggunakan gelas yang sama dengan Aisyah, padahal saat itu Aisyah sedang haid.
Larangan bagi perempuan yang haid dalam urusan keluarga hanyalah tidak boleh berhubungan seksual (istimta’) di antara pusar hingga lutut. Dalam sebuah hadis disebutkan,
إصنعوا كل شيئ إلا النكاح
Boleh melakukan apapun kecuali berhubungan seksual.
Qishash bisa diganti dengan diyat
Dalam ajaran umat nabi terdahulu, hukuman bagi pembunuhan atau kekerasan hanyalah qishash, tidak ada diyat, bahkan walaupun tidak disengaja atau saat salah sasaran. Pokoknya semua harus diganti dengan qishash.
وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس
Dan kami telah wajibkan kepada mereka (umat terdahulu) hukuman nyawa dengan nyawa.
Hal ini tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Dalam ayat Al-Quran bahkan dijelaskan ada alternatif hukuman lain jika keluarga memaafkan sang pembunuh.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ – ١٧٨
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. (Al-Baqarah ayat 178)
Dipermudah jalan untuk taubat
Jalan taubat bagi umat terdahulu adalah membunuh dirinya sendiri. Hal ini disebutkan dalam surat al-Baqarah 54:
فَتُوْبُوْٓا اِلٰى بَارِىِٕكُمْ فَاقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ
… karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu.
Bahkan, Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, cara seperti ini juga berlaku bagi orang-orang yang taubat dari maksiat ringat seperti bohong dan menatap lawan jenis.
Adapun umat Nabi Muhammad, jalan taubatnya dipermudah. Mereka yang ingin bertaubat tak perlu membunuh diri mereka sendiri. Cukup dengan meminta ampun kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka dosanya akan diampuni.
وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا – ١١٠
Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Aib Ditutup Rapat, Salah Tak Langsung Diazab
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, dahulu, Jika Bani Israil melakukan dosa atau maksiat, maka pada pagi harinya di pintunya terdapat sebuah tulisan yang menunjukkan bahwa ia telah melakukan dosa, berikut juga hukuman yang harus diterima.
Berbeda dengan umat Nabi Muhammad yang aibnya selalu ditutup rapat. Bahkan dilarang mengumbar aib orang lain. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sesungguhnya di antara menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata: ‘Wahai fulan semalam aku telah melakukan ini dan itu, ‘ padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah’.”
Yang dikenai hukuman hanyalah tindakan badan, bukan perbuatan hati
Para umat nabi terdahulu pernah protes kepada nab-nabinya karena mereka mendapatkan hukuman atas perbuatan yang dilakukan dengan anggota badan dan perbuatan yang dilakukan oleh hati. Namun mereka kemudian dianggap kafir karena menolak perintah Tuhan. Mereka berkata “sami’na wa ashaina” (Kami menaati dan kami melanggarnya)
Sedangkan umat nabi Muhammad, mereka akan bilang “Sami’na wa atha’na” karena bagi umat nabi Muhammad, yang dikenai hukuman hanya tindakan dengan anggota badan, bukan yang ada dalam hati. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
Allah SWT hanya mewajibkan sesuatu yang bisa dilakukan oleh hamba-Nya. Mereka akan diberi pahala atas perbuatan baik yang dilakukan (oleh anggota tubuh mereka) dan mereka akan diganjar dosa atas perbuatan buruk mereka.
Dalam ayat tersebut dijelaskan secara gamblang bahwa mereka hanya diberi pahala dan dosa atas perbuatan anggota tubuh mereka, bukan yang tersimpan dalam hati mereka.
Tidak dihukum saat lupa
Umat Nabi Muhammad SAW tidak dihukum saat lupa, salah, atau meninggalkan kewajiban karena dalam kondisi tertentu, seperti sakit, dan lain-lain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim, Ibnu Majjah, al-Thabarani, al-Daruqutni dengan sanad hasan menurut an-Nawawi.
Hal ini tentu berbeda dengan umat nabi terdahulu yang disegerakan hukumannya ketika melakukan sebuah dosa, baik kecil maupun besar. Menurut Sayyid Muhammad Alawi, hukuman yang diterima bisa berupa keharaman makan makanan tertentu.
Diperbolehkan bekerja walaupun hari raya
Umat Yahudi terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dilarang untuk bekerja selama hari Sabtu, karena hari tersebut adalah hari raya mereka. Mereka harus beribadah dan dilarang bekerja. Namun umat Yahudi saat itu sangat licik. Mereka sengaja menebar jala pada hari Jumat dan memasangnya di sungai. Sehingga walaupun tidak bekerja, mereka tetap mendapatkan uang.
Allah lalu menghukum mereka dengan ‘wajah kera’ (kūnū qiradatan khāsyi’īn) surat al-Baqarah 65.
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِى السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِـِٕيْنَ – ٦٥
Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!”
Ada dua tafsiran atas ayat ini. Pertama, mereka memang benar-benar berubah menjadi kera. Kedua, mereka dipermalukan secara sosial, ‘wajah kera’ diartikan sebagai muka yang penuh malu.
Namun larangan bekerja di hari raya ini tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Mereka diperbolehkan bekerja kapan saja, walaupun saat hari raya. Dalam surat al-Jumuah hanya disebutkan larangan bekerja hingga menjelang shalat Jumat, setelah itu, umat Nabi Muhammad malah diperintahkan untuk bekerja.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Musibah Wabah Bukanlah Azab melainkan Rahmat
Buat para penonton sinetron azab, pasti akan terbawa dan main vonis bahwa semua musibah yang menimpa orang atau kelompok terntu adalah azab. Padahal ini hanya terjadi pada umat-umat sebelumnya.
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliky menyebut bahwa umat terdahulu memang mendapatkan musibah dan wabah sebagai azab. Namun bagi umat Nabi Muhammad, musibah dan wabah adalah rahmat dan ujian, agar umat Nabi Muhammad semakin meningkat ketakwaannya. Itulah keutamaan menjadi umat Nabi Muhammad.
Bahkan, al-Razi mengutip surat al-Nahl ayat 61, jika semua orang yang melakukan salah atau maksiat mendapat azab, maka tidak akan ada lagi manusia di bumi ini.
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ
Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan.
Menurut al-Razi, yang dimaksud dengan waktu yang ditentukan adalah hari pembalasan kelak. [yy/islamico]
M Alvin Nur Choironi
Direktur Kreatif dan Pemimpin Redaksi Islamidotco; Twitter: @alvinnurch