Tiga Perkara yang Merusak Diri
Fiqhislam.com - Sejatinya, manusia adalah mahkluk yang paling sempurna, bahkan melebihi malaikat sekalipun. Kesempurnaan itu bukan hanya dari aspek keseimbangan jasmaniah yang indah (fisik), tetapi juga dari aspek ruhaniyah (tatanan jiwa) dan aqliyah (akal pikiran).
Allah SWT pun menegaskan, “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS at-Tin [95): 4).
Namun demikian, bukan berarti dalam diri manusia tidak tersimpan potensi (kecenderungan) untuk berbuat keburukan. Justru, kesempurnaan itu karena dilengkapi dua potensi yang berbeda satu sama lain, yakni fujur (kedurhakaan) dan takwa (ketaatan).
“Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS asy-Syams [91): 7-19).
Pakar tafsir Prof M Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur'an (hal 286) menjelaskan makna “mengilhamkan” yakni memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Walaupun Alquran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, tapi diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif lebih kuat dari potensi negatifnya. Hanya saja, daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu, manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs dan tidak mengotorinya.
Kemajuan ilmu pengtahuan dan teknologi dengan segala macam dampaknya membuat kita sulit membedakan antara kebaikan (benar) dan keburukan (salah). Kejahatan seringkali dikemas seakan kebaikan, sehingga orang terpesona dan tertipu.
Nabi SAW pun mengajarkan doa, “Ya Allah, tunjukkan kebenaran itu tetap benar (walaupun di-framing seakan keburukan) agar kami dapat mengikutinya. Dan, tunjukkan kebatilan itu tetaplah kebatilan, (walaupun dikemas seakan kebaikan yang menarik) agar kami dapat menjauhinya. Dan, janganlah jadikan yang benar dan salah itu samar-samar, yang akan menyebabkan kami sesat, dan jadikan kami pemimpin bagi orang yang bertakwa.” (HR Bukhari).
Ulama Mesir terkemuka, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani (1372-1449) dalam buku Nashaihul ‘Ibad pada makalah kedelapan menukil pesan Nabi SAW tentang tiga perkara yang menyelamatkan (munjiyat), merusak (al-muhlikaat), menaikkan kedudukan (ad-darajaat), dan yang menghapus kesalahan (al-kaffaraat).
Sedangkan, perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allah Ta’ala dalam sepi maupun ramai, sederhana dalam kehidupan dunia di saat fakir dan kaya, dan bersikap adil di saat senang maupun marah.
Perkara yang merusak diri, yaitu sangat kikir, mengikuti hawa nafsu dan kagum pada diri sendiri. Lalu, perkara yang meninggikan derajat, yakni menebar salam, memberi makan orang lapar, dan shalat malam di saat orang tidur.
Adapun tiga perkara yang menghapuskan dosa adalah menyempurnakan wudhu sewaktu cuaca dingin, melangkahkan kaki shalat berjamaah, dan menunggu shalat sesudah shalat.
Tiga perkara yang mesti dihindari oleh setiap Muslim dalam membangun keluarga dan masyarakat berkualitas adalah perilaku yang menghancurkan atau merusak (al-muhlikaat). Sebab, siapa saja yang tidak mampu menjauhi apalagi penguasa dan pengusaha, bukan hanya merusak diri, keluarga, dan masyarakat, tetapi juga tatanan pemerintahan.
Pertama, kekikiran (syuhhun syadiid). Ada dua macam kekikiran, yatu kikir terhadap diri sendiri (syuhhun) dan terhadap orang lain (buhklun). Kedua perilaku tersebut sangat buruk, sebab hartanya tidak manfaat dan hanya dihitung atau dibanggakan saja (QS al-Humazah [104]: 1-4).
Orang bakhil akan merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan tidak perlu bantuan Allah SWT serta tak sudi menolong orang (QS al-Lail [92]: 8-10). Ia hanya menimbun kekayaan tapi tidak mau mengeluarkan zakat (sedekah). Oleh karena itu, kekikiran adalah tanda kesombongan (QS an-Nisa' [4]: 36-37).
Kedua, menuruti hawa nafsu (hawaa muttaba’). Pada dasarnya, nafsu selalu menyuruh kepada keburukan kecuali yang dirahmati Allah SWT (QS Yusuf [12]: 53).
Hawa nafsu akan mendorong manusia memenuhi segala keinginannya. Nafsu tidak pernah kenyang walau sebanyak apapun dipenuhi. Seperti minum air laut, semakin banyak justru bertambah haus.
Sebagaimana kebanggaan menumpuk harta yang hanya akan berakhir dengan kematian (QS at-Takatsur [102]: 1-3). Sekiranya manusia punya dua lembah emas pun, ia masih ingin lembah ketiga sampai mulutnya disumpal tanah (HR at-Tirmidzi).
Kerusakan selalu disebabkan dua hal, yakni menuruti hawa nafsu dan godaan setan. Ketika keduanya sejalan, maka akan terjadi kejahatan yang sistematis dan masif (QS al-Baqarah [2]: 268).
Ketiga, kagum terhadap diri sendiri (i’jaabu al-mar'i bi nafsihi). Ketakjuban (‘ujub) bisa timbul karena kekayaan, kepintaran, kedudukan, keturunan, ketampanan, dan ketaatan.
Namun, kekaguman yang disebabkan ketaatan (amal saleh-ibadah) lebih berbahaya. Bukan hanya ia merasa paling baik (suci), tetapi juga mudah menolak kebenaran dan menuduh orang lain sesat, bahkan berhak menentukan nasib seseorang akan masuk neraka atau surga (sombong). Padahal, sebenarnya ia telah menuhankan hawa nafsu, bukan hidayah Ilahi (QS al-Jatsiyah [45]: 23).
Walhasil, siapa saja bisa terjerumus pada sikap dan perilaku yang merusak, baik dengan kesadaran maupun karena lingkungan yang buruk. Boleh jadi, kita merasa benar dan baik dalam menyikapi persoalan, padahal sebenarnya mengikuti nafsu dan rayuan setan yang telah mengemasnya seolah-olah baik (QS Yunus [10]: 12).
Selain mohon perlindungan Allah SWT, kita harus dekat dengan ulama yang istiqamah dan sekuat tenaga menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Allahu a’lam bish-shawab. [yy/republika]
Oleh Hasan Basri Tanjung
Artikel Terkait: