4 Alasan Diperbolehkannya Seseorang Menjamak Shalat
Fiqhislam.com - Islam bukanlah agama yang sulit dan tidak pula membebankan umatnya. Syariat sendiri menetapkan sejumlah keringanan (rukhsah) terhadap kaum muslim atas ibadah yang diperintah oleh Allah SWT. Seperti adanya pemberlakuan Shalat Jamak.
Shalat Jamak dalam Buku Pintar Shalat oleh M. Khalilurrahman Al-Mahfani, adalah Shalat fardhu yang dikumpulkan atau dua waktu Shalat yang dikerjakan dalam satu waktu.
Mengutip buku 125 Masalah Shalat oleh Muhammad Anis Sumaji, Shalat Jamak adalah penggabungan dua Shalat fardhu dalam satu waktu. Bila Shalat Jamak dilaksanakan pada waktu Shalat yang pertama, disebut jamak taqdim. Sementara yang ditunaikan pada waktu Shalat yang kedua, dikenal dengan jamak ta'khir.
Pelaksanaan Shalat Jamak ini dicontohkan oleh Nabi SAW ketika dalam perjalanan dari sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سيررٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
'Rasulullah menggabungkan antara Shalat Zuhur dan Ashar jika beliau dalam perjalanan dan menggabungkan antara Magrib dan Isya'. (HR Bukhari & Muslim)
Dari hadits di atas bisa diketahui, Shalat wajib yang dapat dijamak adalah Shalat Dzuhur dengan Ashar, dan Shalat Maghrib dengan Isya.
Alasan Apa yang Membolehkan Seseorang untuk Shalat Jamak?
Dikatakan bahwa Shalat Jamak lebih umum dari Shalat qasar dalam buku 125 Masalah Shalat. Di mana Shalat qasar hanya bisa dilakukan bagi orang yang dalam perjalanan (musafir), sementara Shalat Jamak bisa dikerjakan oleh umat Islam dalam sejumlah kondisi.
Melansir Panduan Shalat rasulullah 2 oleh Imam Abu Wafa, dan buku 125 Masalah Shalat. Ada beberapa sebab yang membolehkan kaum muslim untuk menjamak Shalatnya. Berikut penjelasannya:
1. Musafir
Mereka yang berada dalam perjalanan atau yang hendak bepergian dengan batas jarak tertentu dibolehkan untuk Shalat wajib dengan dijamak, baik di waktu Shalat pertama maupun waktu Shalat kedua.
Imam Syafi'i mengemukakan minimal jarak bagi musafir yang bisa menjamak Shalat, yakni paling tidak perjalanannya sekitar 89 km atau lebih.
2. Hujan deras dan ketakutan
Ukuran hujan deras di sini dijelaskan oleh madzhab Maliki ketika malam hari, sehingga waktu Shalat Maghrib dan Isya boleh dijamak. Adapun bila hujan lebat turun di siang hari, tidak menjadikan jamak pada Shalat Dzuhur dan Ashar.
Sementara tiga madzhab lainnya tidak memberi batasan kapan hujan itu turun. Melainkan bila hujan turun sangat deras, maka bisa menjadi alasan seseorang muslim untuk menjamak Shalatnya.
Ulama al-Bahuti dalam kitab Kasyaful Qana' berpendapat bahwa ketetapan hujan ini juga berlaku bagi turunnya salju dan ketika udara sangat dingin melanda, lantaran keduanya dikatakan memiliki unsur kesamaan.
3. Kondisi sakit yang membuat seseorang kesulitan untuk mendirikan Shalat
Dalam kalam Allah SWT pada Surah Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
Lā yukallifullāhu nafsan illā wus'ahā, lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat
"Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya."
4. Adanya keperluan mendesak
Ibnu Taimiyah memberikan contoh, ketika seseorang yang tengah bekerja kemudian di lokasinya susah untuk mendapatkan air dan jauhnya tempat Shalat, maka dibolehkan dalam kondisi tersebut untuk menjamak Shalat. [yy/azkia nurfajrina/detik]
Artikel Terkait: