pustaka.png
basmalah2.png


9 Rabiul-Awwal 1445  |  Minggu 24 September 2023

Ulama Dikenal Karena Tulisannya

Ulama Dikenal Karena Tulisannya

Fiqhislam.com - Sebut saja silsilah ketersambungan kitab-kitab dalam madzhab Syafi’i. Awalnya, Al-Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H) sebagai guru besar nan agung itu menuliskan sebuah kitab. Orang menyebutnya dengan sebutan Al-Umm Imam Syafi’i. Lalu salah satu muridnya, Al-Muzani (w. 264 H) meringkasnya, kemudian dikenal nama kitab itu Mukhtashar al-Muzani.

Ternyata ringkasan itu dibuatkan syarahnya menjadi Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab oleh Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H).

Kitab Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab karya Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H) : diringkas menjadi al-Basith oleh Imam al-Ghazali (w. 505 H) : diringkas lagi oleh al-Ghazali (w. 505 H) menjadi al-Wasith : diringkas lagi menjadi al-Wajiz : diringkas lagi menjadi Khulashah, kesemuanya karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)

Kitab Al-Wajiz karya Imam al-Ghazali : diringkas menjadi al-Muharrar oleh Imam Rafi’i (w. 624 H). Lantas Kitab Al-Muharrar karya Imam Rafi’i (w. 624 H) : diringkas menjadi Minhajut Thalibin oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H).

Ternyata kitab Minhajut Thalibin karya Imam an-Nawawi (w. 676 H) : diringkas menjadi Manhaj at-Thullab karya Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H). Lalu disyarah sendiri oleh Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) menjadi Fathu al-Wahhab

Perlu dicatat bahwa selain diringkas dan dan disyarah, kitab Minhajut Thalibin ini juga disyarah kembali menjadi Tuhfat al-Muhtaj oleh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H). Dan disyarah juga menjadi Mughni al-Muhtaj oleh al-Khatib as-Syarbini (w. 977 H). Dan juga disyarah menjadi Nihayat al-Muhtaj oleh Syamsuddin ar-Ramli (w. 1004 H).

Sementara kitab Al-Wajiz karya Imam al-Ghazali (w. 505 H) : disyarah menjadi dua kitab lagi yaitu as-Syarhu as-Shaghir dan as-Syarhu al-Kabir dan diberi nama al-Aziz oleh Imam Rafi’i (w. 624 H).

Kitab Al-Aziz ini kemudian diringkas menjadi ar-Raudhah atau Raudhatu at-Thalibin wa Umdat al-Muftiin oleh Imam Nawawi (w. 676 H). Lalu kitab Ar-Raudhah atau Raudhatu at-Thalibin wa Umdat al-Muftiin karya Imam Nawawi ini diringkas menjadi Raudhu at-Thalib oleh Imam Ibn al-Maqarri al-Yamani (w. 837 H).

Kemudian kitab Raudhu at-Thalib karya Imam Ibn al-Maqarri al-Yamani (w. 837 H) : disyarah menjadi Asna al-Mathalib oleh Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H)

Di sisi lain, kitab Mukhtashar al-Muzani (w. 264 H) : disyarah juga menjadi al-Hawi al-Kabir oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H).

Disyarah-diringakas-disyarah lagi-diringkas lagi.... dan seterusnya

Sepertinya para ulama dahulu tak jemu-jemunya menulis dan menulis. Mungkin menulis bagi mereka ibarat bernafas, jika tak menulis artinya mati.

Entah tulisan mereka bakalan dipamerin di bookfair atau tidak. Entah tulisan mereka bakalan menjadi best seller atau tidak. Sepertinya para ulama itu tak memikirkan royalty hasil tulisan mereka. Mereka menulis semata-mata ingin memberikan manfaat kepada orang lain.

Hebatnya, kitab-kitab ulama yang ditulis sekian ratus tahun yang lalu, sampai saat ini pun masih selalu dibaca dan dipelajari di seluruh penjuru dunia. Nama-nama mereka selalu disebut dalam setiap dialog keagamaan. Do'a-do'a kebaikan selalu tercurahkan kepada mereka, yang dengan penuh keikhlasan menularkan ilmu yang bermanfaat kepada generasi-generasi yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya oleh mereka.

Sungguh benar perumpamaan yang digambarkan dalam Q.S ar-Ra'du: 17;

فأما الزبد فيذهب جفاء وأما ما ينفع الناس فيمكث فى الأرض كذلك يضرب الله الأمثال

"Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan"

Mari menulis yang sehat, menulis yang bermanfaat, menulis yang akan dinikmati oleh lintas generasi. Masalah royalti, biar Allah subhanau wa ta'ala saja yang mengaturnya. [yy/rumahfiqih]

Hanif Luthfi, Lc. MA