Menuju Totalitas Penyucian Diri
Fiqhislam.com - Target inti seluruh rangkaian ibadah kepada Allah SWT baik ibadah fardhu agar terbangun kedekatan dengan-Nya (taqarrub) dan ibadah sunnah agar terbangun kecintaan dengan-Nya secara timbal balik (mahabbah) adalah tazkiyatun nafs (membersihkan jiwa).
Syahadat membersihkan pikiran dan hati dari kerusakan kepercayaan, kotoran syirik, kufur, nifaq, fasiq. Sedang shalat membersihkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Puasa membersihkan diri kita dari tarikan hawa nafsu perut, nafsu kelamin dan nafsu panca indra. Zakat membersihkan harta pemilik harta dan kekayaannya dari perangai buruk dan campuran barang yang syubhat dan haram. Haji membersihkan pikiran, hati, dan anggota badan secara keseluruhan untuk menuju dan fokus serta all out untuk Allah SWT (tawajjuh dan tajarrud).
Rasulullah SAW sendiri dibangkitkan untuk meluruskan pikiran yang jumud (beku) dan bengkok dengan dibacakan ayat-ayat-Nya, membersihan hati dari kontaminasi lingkungan social yang didominasi hukmul jahiliyah, dhannul jahiliyah, hamiyyatul jahiliyah, tabarrujul jahiliyah, da’wal jahiliyah, serta diajarkan kitab, sunnah dan hikmah. Agar bangkit dari kesesatan dan kehinaan.
Syeikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama:
التَوْحِيْدُ يُوْجِبُ الاِيْماَنَ فَمَنْ لاَ اِيْماَنَ لَهُ لاَ تَوْحِيْدَ لَهُ , وَالاِيْماَنُ يُوْجِبُ الشَرِيْعَةَ فَمَنْ لاَ شَرِيْعَةَ لَهُ لاَ اِيْماَنَ لَهُ وَلاَ تَوْحِيْدَ لَهُ
الشَرِيْعَةُ يُوْجِبُ الأَدَبَ فَمَنْ لاَ أَدَبَ لَهُ
لاَ شَرِيْعَةَ لَهُ وَلاَ اِيْماَنَ لَهُ وَلاَ تَوْحِيْدَ لَه
“Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid, dan iman mewajibkan keterikatan yang kuat untuk menegakkan syariat (al Iltizam bi asy Syari’at), maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid, dan syariat mewajibkan adanya adab, maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.” (Hasyim Asy’ari, adabul ‘Alim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11)..
Ibadah yang tidak melahirkan perubahan menuju kemuliaan adab sama jeleknya dengan amal yang tidak dilandasi oleh iman. Itiqad dan amal, aqidah dan syariah, ruhani dan jasmani, tidak bisa dipisah-pisahkan untuk selama-lamanya. Laksana dua sayap burung. Karena, Allah SWT tidak melihat performen kita, tetapi menilai amal shalih dan kemurnian hati kita. Hati yang jernih dari kekeruhan motivasi adalah modal utama untuk bertemu dengan Allah SWT.
Selama satu bulan Ramadhan lalu kita dilatih untuk berusaha membersihkan diri kita, kalbu kita dari niat yang buruk, dendam, benci, serakah, sombong, iri hati dan virus ruhani yang lain, membersihkan kehormatan kita dari maksiat. Dan pada akhir bulan kita diperintahkan mensucikan harta kita dari kontaminasi haram, syubhat dengan mengeluarkan zakat fitrah. Jadi, puasa adalah latihan spiritual (riyadhah, mujahadah) penyucian diri, proses tazkiyatun nafs.
Demikian pentingnya tashfiyatu wa tazkiyatun nafs, maka tidak ada peluang yang paling berharga dalam kehidupan ini melebihi dari membuka ruang yang seluas-luasnya untuk pemberdayaan struktur ruhani kita. Dengan cara demikian, akan membuka kesadaran dan pencerahan baru.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams (91) : 9-10)
Ada empat bidang garap “tazkiyah” (pembersihan) yang dijadikan prioritas oleh Rasulullah SAW. Dan proyek immaterial tersebut yang berhasil digulirkan dengan gemilang dalam waktu kurang dari ½ abad.
Pertama: Tazkiyatun Nafs (penyucian diri)
Dahulu, bangsa Arab adalah bangsa yang kotor. Kepercayaan kepada Allah SWT dicemari dengan pemujaan kepada berhala dan benda-benda alam. Ekonomi masyarakatnya telah dikotori dengan penindasan yang kuat (the have) terhadap yang lemah (grass root), kesewenang-wenangan yang kaya dan berada terhadap yang tidak beruntung, dan keserakahan yang berharta kepada yang melarat. Kebudayaan mereka dinistai dengan kerendahan akhlak penghinaan wanita.
Peradilan mereka adalah peradilan rimba – yang kuat selalu benar dan kebal hukum, yang lemah selalu salah. Hukum mereka bagaikan gegraji. Tumpul untuk kalangan elitis dan tajam untuk kaum dhu’afa.
Lahirlah manusia yang terbelah jiwanya. Di masjid rajin berdoa. Keluar dari masjid ia tidak segan-segan melakukan perbuatan yang kontradiktif dengan isi doanya. Ibadah ritual seolah-olah tidak berefek pada keshalihan social. Itulah kehidupan yang skuler.
Kemudian, Allah SWT membangkitkan Muhammad bin Abdullah. Ia sendiri manusia pilihan, paling suci (al Musthofa). Bisa dipercaya (al Amin). Ia dilahirkan dari keluarga terhormat. Keluarga yang shalih, pengurus, pemelihara dan penjaga Baitul ‘Atiq – rumah Allah yang suci. Kepada masyarakat jahiliyah yang kotor beliau meniupkan angin kesucian. Ia mengajak dan memanggil bangsanya untuk mengingat kembali nama Allah yang selama ini sudah disebut-sebut dan memuji-Nya dengan makna dan spirit baru. Berbeda dengan “Allah” yang dipahami oleh masyarakat jahiliyah selama ini.
Sedikit demi sedikit, satu demi satu, thobaqon ‘an thobaq (secara gradual) berubahlah bangsa Arab. Mereka memilih kesucian sekalipun beresiko bergelimang dengan darah atau kehilangan nyawa. Lihatlah Sumayyah, misalnya, bersama suaminya Yasir dan anaknya ‘Ammar. Sumayyah memeluk Islam. Ia bersihkan akidahnya dari kemusyrikan. Ia dianiaya, dipukuli, dipanaskan di tengah padang pasir yang membakar.
وَكاَنَتْ عَجُوْزا كَبيرةَ ضَعيْفَةَ
“Padahal Sumayyah wanita tua yang renta dan lemah (kanat ‘ajuzah kabirah dha’ifah).”
Sumayyah bertahan memilih hidup yang suci dan terhormat. Abu Jahal datang dengan tombak di tangan. Ia memaksa Sumayyah mengucapkan kata-kata kufur dan kotor. Ketika itu Rasulullah SAW mengutus sahabat untuk menyampaikan berita kepada Sumayyah. Rasulullah SAW yang mulia – melihat penderitaan Sumayyah dalam mempertahankan keimanan yang suci – merestuinya untuk mengucapkan kalimat yang kotor (kufur), asal hati tetap beriman. Apakah jawaban yang keluar dari mulut Sumayyah?
اَبْلغُو ا عَنيَ رَسُوْلَ الله السلاَمُ ان سَمَيَة التي طهر الله قَلْبها لاَ تَسْتَطيعً أنْ تَلُوْثَ لساَنَها بكَلمة الْكُفْر
“Sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW. Sesungguhnya Sumayyah yang telah Allah sucikan hatinya dengan iman, tidak akan sanggup mengotori lidahnya dengan kata-kata kufur.”
Abu Jahal marah. Ia menusukkan tombaknya ke rahim Sumayyah.Jadilah Sumayyah orang yang pertama kali syahid dalam sejarah Islam. Inilah Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa).
Kedua: Tazkiyatu Farj (penyucian moral)
Buraidah ra. dalam kitab “Taysirul Wushul juz 2 hal 7-8 – dalam hadits yang diriwayatkan muslim dan Abu Dawud – menceritakan peristiwa lain. Seorang wanita datang menjumpai Rasulullah SAW. Ia meminta Rasulullah SAW menghukumnya dengan hukuman mati (rajam). Rasulullah SAW menolaknya dan menyuruhnya datang keesokan harinya.
Esoknya ia datang lagi, meyakinkan beliau bahwa ia telah hamil. Rasulullah SAW memintanya pulang sampai ia melahirkan anaknya. Setelah melahirkan, ia datang lagi dengan bayi merah yang dibungkus kain. Rasul masih menolaknya. “Pulanglah, susukan anakmu sampai engkau sapih.” Setelah sekian lama, ia datang lagi dengan bayi dan sekerat roti. Ia merasa bersalah, dan ingin kembali kepada Allah SWT dalam keadaan tidak membawa dosa. Ia yakin dengan menjalankan hukum rajam untuk dirinya, akan membersihkan dosanya di dunia. Dosa kecil bisa dihapus dengan amal shalih. Dosa berbuat zhalim, mengembalikan hak yang terzhalimi. Dosa besar hanya bisa ditebus dengan hudud dan taubatan nashuha.
هدا ياَ رَسُوْلَ الله قَدْ فَطَمْتُهُ وَ قَدْ أَكَلَ الطَعَامَ
“Ini, ya Rasulullah, sudah aku sapih dan ia sudah bisa mengunyah makanan.”
Nabi SAW menyuruh seorang sahabat melawat anak wanita itu. Ia menetapkan hukuman rajam (badan dikubur separoh dan setiap orang yang lewat melemparinya hingga wafat). Ketika darahnya membersit dan mengenai wajah Khalid. Khalid memaki wanita itu. Rasulullah SAW murka kepadanya dan membela wanita yang sudah menyerahkan diri terhadap hukum Allah, dalam sabdanya.
يا خاَلدُ فَوَ الدي نَفْسي بيَده لَقد تاَبَ تَوْبَة لَوْ تاَ بَها صاحب مكْس لَغَفَرَ لَهُمهلاَ
“Celaka engkau, Khalid. Demi zat yang diriku ada di tangan-Nya. Wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat – (taubat yang begitu suci) – sehingga kalau ada pendosa besar bertaubat dengan taubatnya Allah akan mengampuni dosanya.”
Wanita dari suku Ghamidiyah ini tidak kuat hidup dengan berlumpur dosa. Ia memilih menyucikan dirinya dengan minta hukum rajam. Ia memilih kembali ke jalan Allah SWT (bertaubat). Ia meninggal dalam keadaan tenang, penuh bahagia. Sebagaimana yang telah Allah janjikan.
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hud (11):3).
Ketiga: Tazkiyatul Mal (penyucian harta)
Karunia harta yang terbaik adalah ketika berada di tangan laki-laki yang shalih. Ia berpandangan, sekalipun hartanya habis di jalan Allah SWT bukanlah dikategorikan mubadzir. Sedangkan, sedikit saja yang di belanjakan di luar jalan-Nya termasuk mubadzir. Dan sikap mubadzir adalah sekutunya syetan.
Orang beriman memandang bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Ia bukan hamba jabatan, hamba prestise, hamba mayoritas, hamba minoritas, hamba sain dan teknologi, hamba berhala yang abstrak dan kongkrit, hamba hawa nafsu perut, di bawah perut, hamba dinar dan dirham. Karena semua itu hanya makhluk (ciptaan) belaka.
Bahkan dunia dan seisinya diciptakan sebagai wasilah (sarana) untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT. Bukan ghoyah (tujuan akhir). Jika ia dititipi kekuasaan digunakan untuk membela yang zhalim, bukan membela si zhalim. Berani membela kebenaran, bukan membela yang membayar (suap). Jika diamanahi ilmu digunakan untuk mencerahkan yang bodoh, bukan membodohinya. Jika dititipi harta dimaksimalkan untuk memberi makan yang sedang kelaparan (muth’imul ji’an).
Justru, harta yang menjadi milik kita adalah modal untuk menuju ridha-Nya. Maka harta yang kita miliki kita sedekahkan. Yang tersisa itu yang kita makan dan kita warislkan. Sedikit sekali. Yang menjadi milik kita yang kita berikan kepada Allah SWT. Karena kita yakin harta yang kita infakkan akan tumbuh dan berkembang dalam kebaikan (barakah). Seorang mukmin lebih sabar dalam kondisi kekurangan, kelaparan daripada menahan jilatan api neraka. Maka, ia berhati-hati dalam mengelola amanah harta. Harta hanya sebagai hak guna, bukan hak milik. Ia menjaga diri dari harta yang syubhat apalagi yang haram. Ia menjauhi segala bentuk praktek riba klasik ataupun riba kontemporer.
Karakter orang yang sumber kehidupannya berasal dari riba, selalu susah sekalipun bunganya bertambah. Dia tidak merasakan kenikmatan di dalam jiwa karena pijakan kehidupannya menghisap darah orang lain. Tertawa di tengah-tengah penderitaan sesama. Ia bagaikan orang yang resah karena ditampar syetan. Jika yang berhutang tidak lancar pembayarannya, ia ingin merampas harta bendanya sebagai jaminan. Bertambah kasar budi pekertinya. Sekalipun ia menampakkan muka yang berseri-seri agar mudah dibayar, tetapi hakikatnya untuk menindas orang lain dengan mengeruk keuntungan yang berlipat-ganda.
Sebaliknya, Allah SWT menyuburkan sedekah. Dia ingin mempertautkan kasih-sayang antara yang memberi dan menerima. Ia yakin dengan memberi akan memperoleh balasan yang berlipat di luar teori dan prinsip-prinsip ekonomi. Bertolak dari sini, terbentuklah masyarakat yang saling berkasih-sayang, saling berwasiat dalam menetapi kebenaran dan kesabaran, bahu-membahu, doa-mendoakan. Orang kaya menjadi dermawan, orang miskin pandai menjaga kehormatan dirinya (‘iffah).
“Barangsiapa yang bersedekah senilai sebutir kurma dari usaha yang halal, dan Allah hanya menerima yang baik-baik, maka Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian mengembangkannya bagi pelakunya, sebagaimana salah seorang di antara kamu memelihara anak kuda, hingga sebutir kurma itu menjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).
Keempat: Tazkiyatus Sulthan (penyucian kekuasaan, posisi dan jabatan)
Islam tidak mempersoalkan kekuasaan yang kita genggam, kekayaan yang melimpah dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Tetapi, Islam menggedor pikiran dan kalbu kita benarkah yang menjadi hak kepemilikan kita menambah kebaikan dalam kehidupan kita (barakah) ?. Yang dilarang adalah mencemari kekuasaan, harta, ilmu untuk membangun egoism (ananiyah), hubbusy syahawat.
Menyucikan kekuasaan berarti mendahulukan kepentingan orang banyak diatas kepentingan diri sendiri. Menyucikan harta berarti menghilangkan kelaparan, kehausan, tidur tidak nyeyak, dan menghindari terbukanya aurat (karena tidak memiliki pakaian) yang dialami sesama. Harta dibelanjakan untuk membuat kaum dhu’afa dan mustadh’afin tersenyum. Menyucikan ilmu berarti menjadikannya sarana untuk memberantas kebodohan.
Ali bin Abi Thalib, ketika ia menjabat sebagai khalifah, ia membagikan harta Baitul Mal hanya kepada yang berhak. Pernah, Aqil saudaranya memohon lebih dari haknya karena anak-anaknya sedang menderita. Kata Ali, Datanglah nanti malam, engkau akan aku beri sesuatu.
Malam itu Aqil datang. Lalu Ali berkata, Hanya ini saja untukmu. Aqil menjulurkan tangannya untuk menerima pembelian Ali. Tiba-tiba ia menjerit, meraung seperti sapi yang dibantai. Rupanya ia memegang besi yang menyala. Dengan tenang Ali berkata, itu besi yang dibakar di dunia. Bagaimana kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka.
Umar bin Abdul Aziz yang dikenal oleh sejarah sebagai khalifah yang kelima, juga memilih pola kehidupan seperti para pendahulunya. Negara yang dikelolanya benar-benar surplus, sampai utang-utang pribadi dan biaya pernikahan ditanggung oleh negara. Indikator kemakmuran yang tidak akan pernah terulang kembali. Para amil zakat berkeliling ke perkampungan Afrika, tetapi tidak menemukan seorangpun yang menerima zakat. Ketika cucu Umar bin Khatahab itu dilantik menjadi khalifah atas desakan rakyat, beliau menangis di rumahnya dan mengatakan kepada semua anggota keluarganya bahwa kita akan mendapatkan musibah besar. “Jika Anda mendukung kami masuk surga, maka mulai saat ini kita harus siap lapar.” Dalam sejarah dicatat, beliau hanya dua kali mandi junub selama dua tahun masa kepemimpinannya. Beliau juga menolak untuk tinggal di istana. Bertolak dari kesederhanaan pola hidup, mengantarkannya berhasil mengadakan transformasi social secara total di negara. Sekalipun beliau adalah merupakan bagian dari masa kebobrokan Bani Umaiyah.
Inilah tazkiyatus sultan – penyucian kekuasaan dari pencemaran kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan. Dan Ali bin Abi Thalib sebagai penguasa memilih hidup sangat sederhana daripada memanfaatkan kekuasaan untuk membangun satus qua dan memperkaya diri.