Fiqhislam.com - Banyak hal yang membatalkan wudhu. Hal paling lumrah adalah bersentuhan antara orang yang bukan muhrim, buang angin, hingga buang air kecil maupun besar. Lantas bagaimana hukum menyiram kemaluan usai mengambil wudhu?
Usamah bin Zaid meriwayatkan bahwa Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dan mengajarkan wudhu kepada beliau. Ketika telah selesai wudhu, Jibril mengambil sepenuh telapak tangan dan menyiramkannya pada kemaluan. Rasulullah pun menyiram kemaluan beliau setelah berwudhu. Hal ini bersumber dari hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad.
Sedangkan dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd disebutkan, menyentuh kemaluan usai berwudhu dilihat dari kadar kondisinya. Ulama membedakan sentuhan yang terasa nikmat dan tidak. Jika terasa nikmat maka sentuhan itu membatalkan wudhu, begitu pun sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Madzhab Imam Malik.
- Syariah Akidah Akhlak Ibadah
Ada sebagian ulama lagi yang membedakan antara menyentuh dengan sengaja dengan lupa. Mereka mewajibkan wudhu kepada orang yang menyentuh kemaluan dengan sengaja, bukan kepada orang yang memang lupa. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik.
Adapun perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menyentuh kemaluan usai berwudhu sebab adanya hadits Rasulullah SAW. Hadisnya berupa hadis dengan jalur sanad Busrah yang menyatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Idza massa ahadukum dzakarahu, falyatawadha’,”. Yang artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluan, hendaklah ia berwudhu,”.
Inilah hadits yang paling asyhur di antara hadis-hadis lain yang menerangkan kewajiban berwudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan. Hadis ini ditakhrij oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha dan hadisnya dinilai shahih.
Dalam buku Panduan Shalat An-Nisaa karya Abdul Qadir Muhammad Manshur dijelaskan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menyiram kemaluan dengan air setelah berwudhu. Meski demikian, ulama-ulama kalangan Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa tidak apa-apa mengeringkan dan mengusap air dengan sapu tangan atau sepotong kain setelah wudhu dan mandi.
Ibnu Mundzir meriwayatkan dibolehkannya pengeringan dari Utsman bin Affan, Husain bin Ali, Anas bin Malik, Bisyr bin Abu Mas’ud, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqamah, Aswad, Masruq, Dhahhak, Ats-Tsuri, dan Ishaq. Mereka yang membolehkan pengeringan ini bersandar pada hadis-hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadits-hadits yang disandarkan adalah haid riwayat Tirmidzi berbunyi: “Aku melihat Nabi Muhammad SAW mengusap wajah beliau dengan ujung pakaian beliau ketika berwudhu,”. Hadis ini menyebut mengeringkan air setelah wudhu dibolehkan, namun kadar hadisnya dhaif.
Sedangkan hadits lainnya riwayat Imam An-Nasa’i berbunyi: “Abu Maryam Iyas bin Ja’far meriwayatkan dari seorang sahabat bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sapu tangan atau sepotong kain untuk mengusap wajah beliau ketika berwudhu,”. Hadis ini memiliki kadar hadis yang shahih.
Adapun kemakruhan mengeringkan air dalam wudhu (bukan dalam mandi) diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Sedangkan Jabir bin Abdullah meriwayatkan larangan untuk mengeringkan itu.
Kemakruhan mengeringkan air didasarkan pada argumentasi-argumentasi beragam. Pertama, air wudhu akan ditimbang pada hari Kiamat sehingga dimakruhkan menghilangkannya dengan pengeringan. Hal ini juga disandarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri.
Namun demikian Abdul Qadir Muhammad Manshur berpendapat, yang dimaksud bahwa air yang digunakan dalam wudhu akan ditimbang itu bukan air yang tersisa pada anggota wudhu. Para ulama juga sepakat bahwa air wudhu merupakan cahaya pada hari Kiamat kelak.
Hukum makruh mengeringkan air wudhu disamakan sebagai menghilangkan sisa ibadah. Ulama yang sepakat menjatuhi makruh dalam perkara ini berpendapat, air bertasbih selama menempel pada anggota wudhu. Tetapi Al-Qari berkata bahwa tidak bertasbihnya air wudhu ketika dikeringkan membutuhkan dalil naqli yang sahih.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Aku mengulurkan kain kepada beliau, tetapi beliau tidak mengambilnya. Lalu beliau beranjak sambil mengibaskan kedua tangan beliau,”. [yy/republika]
Artikel Terkait:
- Sahih Bukhari
- HR Bukhari No 46: Mencerca orang muslim adalah fasik dan memeranginya adalah kufur
- HR Bukhari No 220: Jika salah seorang dari kami darah haidnya mengenai pakaiannya |shalat.najis|
- HR Bukhari No 3632: Setelah itu datang pula Umar bin Al Khattab dalam rombongan berjumlah sepuluh orang. Setelah itu datang Nabi Saw. Penduduk Madinah bergembira dengan kedatangan Rasulullah Saw |hijrah.anshar.muhajirin.quran.muadzin|
- HR Bukhari No 901: Barangsiapa menyembelih sebelum shalat hendaklah dia mengulanginya |kurban.idul adha.haji|
- HR Bukhari No 2155: Siapa yang memelihara anjing yang bukan digunakan untuk menjaga ladang atau menggembalakan ternak berarti sepanjang hari itu dia telah menghapus amalnya sebanyak satu qirath |najis|
- HR Bukhari No 1962: Aku memberikannya bukan untuk kamu pakai. Sesungguhnya orang yang memakai pakaian seperti ini tidak akan mendapat bagian di akhirat |sutera.halal.haram|
- HR Bukhari No 2099: Wahai Rasulullah, aku punya dua tetangga, kepada siapa dari keduanya yang paling berhak untuk aku beri hadiah
- HR Bukhari No 2607: Ketahuilah oleh kalian bahwa surga itu berada dibawah naungan pedang |jihad.syahid.syuhada|
- HR Bukhari No 3739: Musab bin Umari telah gugur, padahal dia lebih mulia daripadaku, dia di kafani dengan kain burdah. Kami telah diberi kenikmatan dunia, aku khawatir bahwa itu adalah balasan kebaikan kami yang didahulukan |puasa.syuhada.harta|
- HR Bukhari No 1121: Diantara rumahku dan mimbarku adalah raudhah (taman) diantara taman-taman surga dan mimbarku berada pada telagaku |nabawi|