pustaka.png
basmalah2.png


15 Jumadil-Awwal 1445  |  Rabu 29 Nopember 2023

Sebab-sebab Perbedaan Ulama Fiqih

Sebab-sebab Perbedaan Ulama Fiqih

Fiqhislam.com - Banyak sekali cabang ilmu syar'i yang bisa kita pelajari di antaranya ada ilmu tauhid, ilmu akhlak, ulum qur'an, ulum hadis, ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqih. Untuk mempelajari semua itu tentu membutuhkan waktu yang sangat banyak untuk menguasainya.

Namun, di antara sekian banyaknya cabang ilmu syar'i yang ada, ilmu fiqih termasuk salah satu ilmu yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhah at-Thalibin. Beliau mengatakan, bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah termasuk salah satu bentuk ibadah dan keta'atan yang paling mulia, dan di antara ilmu yang paling dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah ilmu fiqih.

Hanya saja dalam belajar ilmu fiqih tentu saja kita akan mendapatkan begitu banyak pendapat para ulama yang berbeda-beda. Perbedaan pendapat itu kadang tidak hanya terjadi di antara 4 mazhab saja, tetapi juga dalam satu mazhab itu sendiri.

Sebagai contoh ketika kita membaca Kitab Kifayatul Akhyar dalam Mazhab Syafi'i maka akan kita temukan adanya beberapa perbedaan pendapat antara ulama sesama Mazhab Syafi'i.

Bukankah kita sepakat bahwa kita harus kembali kepada Qur'an dan as-Sunnah? Bukankah seluruh ulama yang ada juga semuanya memakai Alqur'an dan as-Sunnah? Bukankah seluruh ulama sama-sama memakai Alqur'an dan as-Sunnah, tetapi kenapa para ulama bisa berbeda pendapat?

Bagi orang awam mungkin akan sedikit bingung dan bertanya-tanya bahkan bisa jadi berani menyalahkan para ulama salaf khususnya ulama 4 mazhab. Seolah-olah menganggap bahwa para ulama itu tidak mengerti Alqur'an dan as-Sunnah. Bahkan mungkin bisa bingung dengan ungkapan-ungkapan yang ada dalam kitab fiqih seperti ungkapan qoola Abu Hanifah, qoola Malik, qoola Syafi’i, qoola Ahmad bin Hanbal, qoola Nawawi dan lain-lain. Kenapa tidak langsung saja menyebut menurut Alqur'an dan as-Sunnah adalah begini.

Bagi orang yang sudah belajar dan mendalami ilmu fiqih maka akan mengetahui bahwa ilmu fiqih itu adalah ilmu yang didasari atas dalil-dalil syar'i. Dalil-dalil syar'i itu bukan hanya Alqur'an dan as-Sunnah saja. Dalil-dalil fiqih yang disepakati ulama diantaranya adalah Alqur'an, Al-Hadis, Al-Ijma' dan Al-Qiyas.

Adapun dalil yang diperselisihkan ulama di antaranya ada dalil Maslahah Mursalah, Saddu adz-Dzariah, istishab, amalu ahlil madinah, istihsan, urf dan syar'u man qoblana. Sehingga dengan banyaknya dalil yang ada ini bisa menyebabkan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama.

Dalam tulisan ini akan kita sebutkan beberapa sebab perbedaan ulama ahli fiqih. Di antara sekian banyaknya sebab perbedaan itu antara lain adalah perbedaan Qira'at, belum sampainya hadis, perbedaan menilai status hadis, perbedaan memahami nash, lafaz bermakna banyak dan kontradiksi dalil. Berikut akan kita dijelaskan satu persatu.

Bagi orang awam mungkin sedikit bingung dan bertanya-tanya kenapa para ulama banyak berbeda pendapat. Apa sih penyebab adanya perbedaan ulama ahli fiqih ini. Berikut akan kita dijelaskan satu persatu.

1. Perbedaan Qira'at.
Dalam cabang ilmu Al-Qur'an kita akan temukan ada beberapa bacaan atau qiro'at yang berbeda-beda yang dikenal dengan istilah qiro'ah sab'ah. Hanya gara-gara perbedaan qiro'at inilah nanti bisa menyebabkan perbedaan dalam kesimpulan hukum. Contoh fiqih dalam masalah ini adalah firman Allah Ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين

Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan salat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki... (QS. Al-Maidah: 6)

Ulama ahli qiro'ah seperti Imam Nafi', Ibnu Amir dan Al-Kisa'i membaca lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ) dengan huruf lam di fathah. Sementara imam Ibnu Katsir, Abu Umar dan Hamzah membaca lafadz (وَأَرْجُلِكُمْ) dengan huruf lam di kasroh.

Bagi ulama yang membaca lafadz tersebut dengan huruf lam difathah maka kaki dalam bab wudhu itu harus dibasuh. Adapun ulama yang membaca lafadz tersebut dengan lam di kasroh maka kaki itu cukup dengan diusap saja dan tidak perlu dibasuh.

2. Belum Sampainya Hadis.
Bisa jadi karena saking banyaknya riwayat hadis dan belum ada pembukuan hadits di zaman itu menyebabkan kemungkinan terjadinya ada salah satu hadis yang belum sampai kepada ulama satu dan ulama lain sudah mengetahui adanya riwayat hadits tersebut. Sehingga hukumnya pun nanti bisa berbeda-beda.

Sebagai contoh adalah masalah status hukum puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan Ramadhan. Dan ini terjadi pada masa sahabat. Abu Hurairah berpendapat bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan Ramadhan itu tidak sah.

مَنْ أَصْبَحَ جُنُباً فَلاَ صَوْمَ لَهُ

Dari Abu Hurairah dia berkata: orang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah (HR. Bukhari)

Beliau berpandangan seperti itu sebab belum sampainya riwayat Aisyah kepada beliau. Sedangkan Aisyah berpendapat bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan ramadhan itu tetap sah. Hal ini berdasarkan hadits yang beliau riwayatkan sendiri yaitu :

أَنَّ اَلنَّبِي صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ


Dari Aisyah dan Ummi Salamah radhiyallahuanhuma bahwa Nabi SAW memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima'’, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Perbedaan Menilai Status Hadis.
Penilaian sebuah hadis itu bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengatakan ini hadits shahih, ini hadits hasan dan ini hadits dha'if. Penilaian hadis itu muncul berdasarkan ijtihad masing-masing para ulama. Bisa jadi ulama satu mengatakan haditsnya dho'if sementara ulama lainnya mengatakan hadits tersebut shahih. Nah, gara gara penilaian status hadis yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam kesimpulan hukumnya.

Contoh dalam kasus ini adalah masalah hukum membaca doa qunut dalam shalat subuh. Mazhab Hanafi dan Madzhab Hanbali berpandangan bahwa Hadits tentang qunut shubuh itu statusnya dhoif, sehingga kesimpulannya qunut shubuh itu tidak disyariatkan bahkan hukumnya bisa jadi bid’ah. Sementara mazhab Maliki dan Madzhab Syafi'i berpandangan bahwa hadis qunut shubuh itu haditsnya shohih. Nah, gara-gara perbedaan dalam menilai status hadis ini menyebabkan adanya perbedaan hukum doa qunut dalam shalat subuh. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas.

مَا زَال رَسُول اللَّهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Rasulullah SAW tetap melakukan qunut pada salat fajr (shubuh) hingga beliau meninggal dunia. (HR. Ahmad).

عَنْ أنَسٍ أَنَّ النَّبِي قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهَ فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melakukan doa qunut selama sebulan mendoakan keburukan untuk mereka, kemudian meninggalkannya. Sedangkan pada shalat shubuh, beliau tetap melakukan doa qunut hingga meninggal dunia. (HR. Al-Baihaqi)

Hadits ini dishahihkan oleh ulama Syafi'iyah dan ulama hadits lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab bahwa Derajat hadits ini dinyatakan shahih menurut beberapa ulama hadits, di antaranya Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhi. Mereka mengatakan bahwa sanad ini shahih dan para rawinya Tsiqah. Al-Hakim dalam kitab Al-Arbainnya berkata bahwa hadits ini shahih. Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih. Sementara ulama yang lainnya menilai hadits tersebut termasuk hadits dhaif.

4. Perbedaan Memahami Nash.
Ulama kita semuanya sama-sama pakai dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits. Namun, bisa jadi dalam memahami nash para ulama berbeda beda. Sehingga akan muncul kesimpulan hukum yang berbeda beda.

Contohnya masalah batal atau tidak batalnya wudhu seseorang yang bersentuhan dengan wanita ajnabi. Allah SWT berfirman :

أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا

Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa: 43)

Ulama Hanafiyah memahami lafadz (أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء) dengan arti jima'. Maka apabila seseorang dalam keadaan punya wudhu dan menyentuh wanita ajnabi maka sentuhan itu tidak membatalkan wudhunya. Sebab yang membatalkan wudhu adalah apabila sampai melakukan jima’ atau hubungan badan.

Sementara ulama Syafi'iyah memahami lafadz (أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء) dengan arti menyentuh. Sehingga hanya dengan bersentuhan kulit saja dengan wanita ajnabi secara langsung maka wudhunya dianggap batal.

5. Lafaz Bermakna Banyak.
Sebagaimana di dalam Al-Qur'an terdapat ayat yang berbunyi :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru". (QS Al-Baqarah: 228).

Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa makna dari lafaz Quru' adalah suci. Sementara ulama Hanafiyah mengatakan bahwa makna lafadz Quru’ adalah haid.

6. Kontradiksi Dalil.
Dalam dunia ilmu Hadis akan kita temukan begitu banyak riwayat hadits yang kita terima. Dari sekian banyaknya riwayat hadits tersebut ada beberapa hadits yang secara zahir kelihatan saling bertentangan. Hal ini bisa menyebabkan para ulama berbeda pendapat.

Sebagai contoh adalah masalah apakah wudhu seseorang itu batal ketika menyentuh kemaluan. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa menyentuh kemaluan secara langsung tanpa penghalang itu membatalkan wudhu. Sementara ulama Hanafiyah mengatakan tidak batal.

Hal ini karena adanya dua buah hadits yang saling bertentangan. Dua hadits tersebut adalah sebagai berikut:

عن طلق بن علي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن مس الذكر في الصلاة «الرجل يمس ذكره، أعليه وضوء؟ فقال صلى الله عليه وسلم: إنما هو بضعة منك، أو مضغة منك»

Hadits Thalq bin ali dari ayahnya bahwa: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya dalam salat, apakah dia harus wudhu? maka Nabi menjawab: Itu hanyalah bagian dari dirimu. (HR Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah)

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ

Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizi)

Demikianlah sebab-sebab perbedaan ulama ahli fiqih dalam menentukan suatu hukum permasalahan. Bukan karena para ulama tidak pakai Al-Qur'an dan as-Sunnah dan bukan pula karena para ulama tidak paham Al-Qur'an dan as-Sunnah, akan tetapi ada beberapa faktor penyebab lainnya yang menjadikan para ulama itu berbeda pendapat.

Sebenarnya masih banyak sekali sebab-sebab perbedaan para ulama. Namun kita cukupkan dengan beberapa penyebab saja. Dan mudah-mudahan dengan penjelasan ini kita bisa lebih bersikap tasamuh, tawazun dan inshaf dalam menyikapi adanya perbedaan dalam ilmu fiqih. Wallahu A'lam Bisshowab. [yy/sindonews]

Ustaz Muhammad Ajib
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia (RFI)
Lulusan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta Konsentrasi Ilmu Syariah