Fiqhislam.com - Ketika memasuki bulan safar, sebagian orang masih memiliki pemikiran yang 'buruk' tentang bulan kedua dalam penanggalan Hijriyah tersebut. Bulan Safar adalah bulan yang datang setelah bulan Muharram dalam kalender Islam.
Akan tetapi, tidak sedikit yang beranggapan bahwa bulan Safar identik dengan 'kesialan' atau penyakit.
Padahal, pendapat buruk tentang bulan Safar tersebut berangkat dari pemikiran masyarakat Arab Jahiliyyah di masa lampau. Ada beberapa kebiasaan yang kerap dilakukan kaum Arab Jahiliyah di bulan Safar dan mitos-mitos tentang bulan Safar.
Mengutip dari buku berjudul "Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriyah" karya Ida Fitri Shohibah, orang Arab Jahiliyah beranggapan bahwa bulan Safar adalah bulan kesialan. Mereka beranggapan bahwa bulan Safar adalah bulan di mana Allah menurunkan kemarahan dan hukuman ke dunia. Oleh karena itu, mereka berpikir ada banyak musibah dan bencana terjadi di bulan ini, khususnya pada Rabu pekan terakhir.
Safar menurut bahasa berarti kosong. Sebab dinamakan Safar karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dahulu yang meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka, sehingga kosong untuk berperang atau bepergian jauh.
Selain itu orang Arab Jahiliyah di masa lalu berpendapat bahwa Safar berarti penyakit yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Pendapat lain menyatakan Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit. Selanjutnya, ada anggapan untuk tidak boleh menggelar kegiatan penting di bulan Safar, seperti pernikahan, khitan, dan lainnya.
Mengutip dari buku berjudul "12 Bulan Mulia-Amalan Sepanjang Tahun" yang ditulis oleh Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny, di masa lalu orang-orang Arab Jahiliyah menggunakan bulan Safar untuk meramal. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik ra, bahwa penduduk Jahiliyah meramalkan nasib dengan Safar dan mengatakan bahwa itulah bulan yang diramalkan. Namun, Nabi Muhammad SAW kemudian menafikan hal itu.
Selain itu, mereka pun melarang orang-orang untuk melakukan perjalanan pada bulan Safar. Mereka beranggapan, perjalanan pada bulan Safar berarti menjemput kesialan dan dinilai berbahaya.
Namun, ketika Islam datang, segala pemikiran yang keliru tersebut dibantah oleh Rasulullah SAW. Disebutkan, bahwa menganggap sial bulan Safar termasuk salah satu jenis tathayyur (menganggap kesialan karena sesuatu) yang terlarang. Perbuatan tersebut dilarang oleh Allah, karena termasuk kebiasaan Jahiliyah.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abu Hurairah, "Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar" (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327)). [yy/republika]
Mitos Safar Bulan Sial dan Bagaimana Kita Bersikap?
-
Mitos Safar Bulan Sial dan Bagaimana Kita Bersikap?
Fiqhislam.com - Sebagaimana bulan-bulan lainnya dalam kalender Hijriyah, bulan Safar adalah waktu yang merupakan ciptaan dan kehendak Allah SWT. Safar adalah bulan kedua dalam penanggalan Islam setelah bulan Muharram. Namun, ketika berbicara tentang Safar, tidak sedikit masyarakat yang masih memiliki pemikiran bahwa terdapat kesialan pada Safar.
Dampaknya, mereka meyakini untuk tidak boleh menggelar acara penting seperti pernikahan pada masa Safar. Padahal, sejatinya anggapan keliru ini berangkat dari pemikiran dan kebiasaan orang Arab Jahiliyah dahulu kala.
Ahli tafsir Alquran dan hadis sekaligus dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, KH ahiron Syamsuddin, mengatakan kata Safar itu berarti 'kosong'. Hal itu didasarkan pada kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah di masa lampau yang kerap berperang atau berdagang pada Safar. Sehingga, kediaman atau rumah di wilayah-wilayah Arab menjadi kosong penduduk.
Karena mereka berperang pada bulan itu, kata Kiai Sahiron, sebagian dari mereka mengalami luka atau terbunuh. Sehingga, mereka meyakini Safar sebagai bulan sial.
Namun ketika Islam datang, Kiai Sahiron mengungkapkan bahwa Islam mengajarkan bahwa tidak ada bulan yang sial, termasuk pada Safar.
"Nasib baik dan buruk seseorang ditentukan Allah SWT kapanpun dan di manapun," kata Kiai Sahiron, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (3/9).
Kiai Sahiron menjelaskan, saat Islam datang, Rasulullah SAW melarang anggapan-anggapan yang tidak sesuai dengan syariat, termasuk menganggap sial bulan Safar. Menganggap sial bulan Safar dikatakan termasuk salah satu jenis tathayyur yang terlarang lantaran termasuk kebiasaan jahiliyyah.
Hal ini sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Musim dari sahabat Abu Hurairah ra, "Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Safar" (HR al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad II/327).
Rasulullah SAW membantah kepercayaan atau mitos tentang bulan Safar. Sebuah hadis yang menegaskan larangan itu ialah seperti diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada penyakit menular (yang berlaku tanpa izin Allah), tidak ada buruk sangka pada sesuatu kejadian, tidak ada malang para burung hantu, dan tidak ada bala (bencana) pada bulan Safar."
Pada hadis lainnya disebutkan, Rasulullah SAW juga bersabda, "Tidak ada wabah dan tidak ada keburukan binatang terbang dan tiada kesialan bulan Safar dan larilah (jauhkan diri) daripada penyakit kusta sebagaimana kamu melarikan diri dari seekor singa" (HR Bukhari).
Menurut Kiai Sahiron, hadis tersebut mengajarkan tentang ketauhidan, bahwa Sang Penentu taqdir hanyalah Allah dan bukan penyakit, bukan burung dan bukan pula bulan.
"Meskipun demikian, manusia wajib berusaha untuk mendapatkan nasib baik atau terhindar dari nasib buruk. Karena itu, Nabi mengatakan, 'Larilah dari penyakit kusta'," jelasnya.
Menanggapi berbagai mitos tentang Safar, Kiai Sahiron mengingatkan kaum Muslim sebaiknya bersikap biasa saja dan tetap meyakini bahwa segala kejadian di bulan Safar atau bulan yang lainnya merupakan taqdir Allah.
Seperti halnya bulan-bulan lainnya dalam kalender Islam atau Qomariyah, umat Islam menurut dia, seyogianya melakukan amalan-amalan yang baik.
"Amalan atau doa pada bulan Safar yang secara prinsipil tidak bertentangan dengan ketauhidan boleh saja dilakukan, karena itu termasuk usaha manusia untuk terhindar dari musibah," tambahnya.
Terlepas dari mitos tentang bulan Safar, di bulan ini ada sejumlah peristiwa penting terjadi di masa Rasulullah SAW. Di bulan Safar, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, yang merupakan istri pertamanya.
Di bulan ini pula Rasulullah setelah kembalinya dari mengerjakan haji wada (haji terakhir) mengalami sakit keras. Hingga akhirnya Nabi SAW wafat pada 12 Rabi'ul Awwal tahun 11 Hijriyah. Bulan Safar juga merupakan bulan di mana banyak peperangan penting terjadi dalam sejarah Islam. [yy/republika]