Fiqhislam.com - Muharram merupakan bulan yang istimewa dan dimuliakan Allah SWT. Sejumlah riwayat menyebutkan banyak peristiwa yang bersejarah yang terjadi ketika Muharram.
Muharram adalah bulan pertama dalam kalender tahunan Hijriyah. Penentuan 1 Muharram sebagai tahun baru Islam awalnya ditandai dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada 622 Masehi.
Sebelum zaman Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab tidak menggunakan sistem kalender tahunan untuk memperingati suatu peristiwa.
Namun, mereka hanya menggunakan sistem hari dan bulan serta sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. Misalnya, kelahiran Nabi Muhammad SAW yang kemudian dinamakan tahun Gajah.
Mantan rektor Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, KH Dr Ahsin Sakho Muhammad, mengatakan penanggalan Hijriyah dimulai pada masa khalifah Umar bin Khattab. Saat itu, para sahabat mengatakan bahwa untuk mengirim sebuah surat harus mencantumkan tanggal. Mereka akhirnya berdiskusi untuk menentukan sistem kalender Islam.
Dari berbagai usulan, saran dari Ali bin Abi Thalib yang mengusulkan kalender Hijriyah Islam dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW yang terpilih. Saat itu kemudian ditetapkan, awal bulan Hijriyah adalah Muharram.
"Bulan Ramadhan dan empat bulan haram termasuk Muharram adalah bulan paling terhormat di sisi Allah. Di bulan ini, Allah menetapkan agar dilarang mengadakan peperangan," kata Kiai Ahsin, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (29/8).
Dalam sejarahnya, bulan Muharram juga dihormati oleh bangsa Arab dari sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Di masa pra-Islam, menurut Kiai Ahsin, masyarakat Arab Jahiliyyah kerap berpuasa pada Muharram, yakni pada hari Asyura' atau tanggal 10 Muharram.
Berpuasa pada hari Asyura' juga menjadi kebiasaan kaum Yahudi. Seperti diriwayatkan dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas RA, ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, mereka mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura'. Kaum Yahudi mengatakan, bahwa mereka berpuasa pada Asyura’ sebagai tanda syukur karena Allah telah memenangkan Nabi Musa dan Bani Israel terhadap Firaun dan kaumnya.
Tidak hanya itu, Kiai Ahsin mengatakan pada hari Asyura' ada beberapa peristiwa penting yang menunjukkan bahwa Muharram sebagai bulan keberkahan dan rahmat. Di antaranya yang masyhur, hari Asyura adalah hari di mana bertaubatnya Nabi Adam, dan berlabuhnya bahtera Nabi Nuh beserta keluarganya yang konon katanya di bukit Ararat yang kini berada di Turki.
Selanjutnya, hari Asyura' juga disebutkan sebagai hari di mana Nabi Musa selamat dari kejaran Fira'un. Selain itu, pada hari Asyura' terjadi peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali, cucu dari Nabi Muhammad SAW, pada pertempuran Karbala pada 61 Hijriyah (680 M).
Adapula riwayat lain yang menyebutkan bahwa diampunkan dosa Nabi Daud dan kembalinya kerajaan Nabi Sulaiman terjadi pada hari Asyura'. Pada hari Asyura', Nabi Ibrahim disebut diselamatkan dari api yang dinyalakan Namrud untuk membakar dirinya serta Allah mengangkat Nabi Isa ke langit. Allah menukar Nabi Isa dengan Yahuza agar terhindar dari kekejaman kaum Bani Israil yang hendak menyalibnya. [yy/Kiki Sakinah/republika]
Muharram dan Larangan Berperang Bagi Bangsa Arab
Muharram dan Larangan Berperang Bagi Bangsa Arab
Fiqhislam.com - Pergantian tahun menuju 1441 Hijriyah akan berlangsung pada Ahad (1/9). Dalam tradisi Islam, Muharram sebagai pembuka tahun Hijriyah memiliki keistimewaan di sisi Allah SWT.
Mantan rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, KH Dr Ahsin Sakho Muhammad, mengatakan Muharram adalah bulan yang dimuliakan Allah. Kata 'Muharram' artinya sesuatu yang diharamkan atau dilarang. Dengan demikian, pada bulan tersebut dilarang untuk berperang.
Setelah menciptakan langit dan bumi, kata Ahsin, Allah menciptakanya terjadinya perputaran waktu sehingga bisa menciptakan siklus musim.
Menurut Kiai Ahsin, siklus musim telah ditetapkan, yakni 12 bulan dalam penanggalan Hijriyah. Di antara 12 bulan dalam Hijriyah ada empat bulan haram, yakni Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab.
"Allah mengharamkan bulan tersebut dalam rangka mengamankan pelaksanaan ibadah haji tahunan. Dengan demikian, masyarakat Arab harus menghormati bulan haram itu dengan tidak mengadakan perang," kata Kiai Ahsin, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (29/8).
Dia mengatakan, perang menjadi kebiasaan bangsa Arab. Masyarakat Arab sebelum Islam kerap berperang untuk mengambil atau merampok harta orang lain, berebut sumur, atau pun merampok jamaah haji yang tengah dalam perjalanan menuju Makkah.
Dia menyebutkan kKeistimewaan bulan Muharam itu dijelaskan dalam Alquran surah at-Taubah ayat 36-37: "Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa." (QS at-Taubah : 36).
Menurut Kiai Ahsin, masyarakat Arab sebelum Islam kerap mengacaukan urutan bulan haram. Padahal, pada empat bulan haram itu sudah ditetapkan agar tidak dilakukan perang.
Namun, masyarakat Arab melanggarnya dan melakukan perang di bulan Muharram dengan mendahulukan atau mengakhirkan bulan haram. Di sini, mereka menghalalkan satu bulan haram dan mengharamkan bulan yang lain sebagai gantinya.
Allah berfirman, "Sesungguhnya pengunduran (bulan Haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Oleh setan) dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS at-Taubah: 37). [yy/republika]