Fiqhislam.com - Usai menuntaskan sebuah usaha atau aktivitas, biasanya seorang Muslim melontarkan pernyataan, semuanya serahkan kepada Allah SWT. “Kita bertawakal kepada-Nya.” Dia akan menerima apa pun hasil yang akhirnya ditetapkan Allah. Ada pula Muslim yang lidahnya dengan ringan berucap, ia menyandarkan semuanya kepada Allah.
Imam Nawawi melalui karyanya, Riyadhus Shalihin, memberikan sejumlah argumentasi mengenai tawakal ini. Bertawakallah kepada Allah yang hidup kekal, yang tidak mati. Demikian surah al-Furqan ayat 58 yang tercantum dalam karyanya itu. Surah lainnya, yaitu ath-Thalaq ayat 3 mengungkapkan hal senada.
Siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Lalu, sebenarnya bagaimana batasan tawakal itu? Menurut Mahmud al-Mishri, tawakal berarti menyandarkan hati kepada Allah ketika mencari kebaikan dan menghindari mudarat dalam perkara duniawi dan ukhrawi.
Seorang Muslim yang bertawakal, jelas dia dalam karyanya, Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, akan menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Muslim juga mewujudkan rasa imannya dengan meyakini bahwa Allah yang memberi atau tidak memberi sesuatu serta mendatangkan manfaat atau bahaya terhadap dirinya.
Lebih jauh cendekiawan Muslim Abu Turab an-Nakhsyabi menyatakan ada sejumlah hal yang tercakup dalam sikap itu. Dalam pandangan dia, tawakal merangkum lima hal yang berkaitan satu sama lain, yaitu total dalam beribadah, menggantungkan hati untuk memenuhi hak Allah, dan merasa cukup atas semua pemberian Allah.
Selain itu, bersyukur jika memperoleh anugerah serta bersabar jika apa yang ia harapkan belum dikabulkan. Merujuk pada hal tersebut dan serangkaian argumen lainnya, para ulama memiliki pandangan yang sama bahwa takawal tak bertentangan dengan kerja keras dan usaha.
Mereka menegaskan, seseorang tak dibenarkan menyatakan tawakal jika tak mendahuluinya dengan kerja keras. “Jika seseorang menyatakan bertawakal, namun sebelumnya tak berusaha, tawakalnya kurang benar,” demikian penegasan para ulama mengenai tawakal.
Menurut Sahal bin Abdullah, ini sangat beralasan karena Muslim yang tak bekerja dan berusaha kemudian menyatakan tawakal, telah menabrak sunah. Maka itu, ia berkesimpulan, siapa yang merusak tawakal sama saja dengan merusak keimanannya. Apalagi, tawakal adalah cermin kepribadian Nabi Muhammad SAW.
Di samping itu, bekerja keras pun menjadi sunah yang diajarkan beliau. Mereka yang ingin mengikuti kepribadian Nabi Muhammad mestinya menjalani sunah yang dicontohkannya. Mahmud al-Mishri mengatakan, tawakal menjadi salah satu rangkaian usaha seseorang dalam mewujudkan tujuan dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Menurut al-Mishri, seseorang tak dapat dikatakan tawakal jika hanya diam sambil menunggu apa yang diharapkannya menjadi nyata. “Berdoa tanpa berusaha tidak termasuk tawakal,” jelas dia. Rasulullah, kata dia, mengajarkan agar Muslim menjauhkan diri dari sikap berpangku tangan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasul bertanya kepada Muadz mengenai hak Allah atas hamba-Nya serta hak hamba terhadap Allah. Muadz menyatakan, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu tentang hal itu. Rasul kemudian menjawab, Allah berhak atas ibadah hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.
Sedangkan hak hamba atas Allah adalah tidak mengazab mereka yang tidak menyekutukan-Nya. Saat Muadz kembali bertanya apakah dia boleh menyampaikan kepada orang lain, Rasul mengatakan, agar Muslim tak berpangku tangan. Al-Mishri mengatakan, dengan hadis itu Rasul memberlakukan sebuah kaidah dasar.
Segala sesuatu yang mendorong sikap berpangku tangan dan enggan berusaha tidak dapat dikatakan sebagai tawakal. Oleh karena itu, tawakal mempunyai makna bila seseorang menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah dia berusaha. Namun, jika pernyataan tawakal diembuskan sebelum bekerja dan berusaha, itu namanya pasrah.
Ibnu Qayyim menuturkan, orang yang mengabaikan usaha berarti tak mengetahui secara utuh makna tawakal. Meskipun dia menyatakan, kesempurnaan tawakal tak semata ditandai dengan mengandalkan pada usaha. Ini artinya, usaha harus dilakukan secara maksimal, demikian pula tawakal serta doa kepada Allah.
Tawakal, jelas dia, mempunyai hubungan erat dengan hak, qadha, dan takdir Allah. Usaha yang dilakukan manusia tak akan bernilai ibadah jika tak diikuti dengan tawakal. Namun, tak dapat dikatakan sebuah sikap tawakal seandainya seseorang hanya berdiam diri tak melakukan apa pun.
Rasul telah memberikan teladan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah mengatakan, jika umat Islam bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, Allah akan menurunkan rezeki, seperti Dia memberikannya pada burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali dalam kondisi kenyang.
Riwayat lain mengugkapkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasul dengan membawa untanya. Ia bertanya, apakah ia harus mengikat unta itu lalu bertawakal atau cukup membiarkan saja unta itu tanpa diikat dan bertawakal. Rasul dengan tegas menjawab, “Ikatlah unta tersebut baru kamu bertawakal kepada Allah.” [yy/republika]