Hanya Satu Jalan
Fiqhislam.com - Ketika jalan yang ditempuh oleh umat sangat banyak, bahkan menimbulkan gesekan yang sangat tajam ketika itu pula kita menyaksikan betapa centang perentangnya perpecaha di kalangan umat. Sungguh miris sekali menyaksikan perpecahan umat seperti yang kita saksikan selama ini.
Isyarat perpecahan ini memang sudah disampaikan 15 abad yang silam oleh Nabi kita yang mulia, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu Anhu beliau berkata,
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam (pernah) berdiri dihadapan kami kemudian bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahlul kitab terpecah menjadi tujuah puluh dua golongan sedangkan umatku akan terpecah ke dalam tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua golongan berada di neraka dan (hanya) satu golongan yang berada di surga yaitu al-jama’ah.” (HR. Imam Ahmad IV/102, Abu Dawud No. 4597, ad-Darimi II/241, ath-Thabrani 19/376 dan 88-885, al-Hakim I/128 dan yang lainnya. Hadits ini shahih)
Mengomentari hadits di atas ash-Shan’ani mengatakan, disebutkannya golongan yang masuk neraka dengan jumlah tertentu dalam hadits di atas bukanlah menunjukkan banyaknya orang yang celaka dan merugi, akan tetapi menunjukkan luasnya jalan menuju kesesatan dan banyaknya jalur dari kesesatan itu sendiri sedangkan jalan menuju kebenaran hanya satu.
Penafsiran ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para imam ahli tafsir ketika mereka menjelaskan firman Allah Subhanahu WaTa’ala,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“….Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya……”(Al-An’am:153)
Para ahli tafsir seperti dalam Hadits Iftiraqul Ummah ila Nayyifin wa Sab’ina hal 67-78 mengatakan bahwa ‘jalan’ yang dilarang untuk diikuti seperti ayat di atas dalam bentuk jamak as-subul dimaksudkan untuk menjelaskan luas dan banyaknya jalan yang mengantarkan kepada kesesatan sedangkan jalan kebenaran dan petunjuk dalam ayat ini dimufradkan (dengan redaksi tunggal) karena memang jalan menuju kebenaran itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat satu garis di hadapan kami kata Ibnu Mas’ud, “Ini adalah jalan Allah” kemudian beliau membuat beberapa garis di sisi kanan dan kiri dari garis yang sebelumnya beliau buat, kemudian bersabda, “Ini beberapa jalan dan setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya” kemudian beliau membaca surat Al-An’am ayat 153,
إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya……”
Dalam at-Tafsirul Qayyim hal 14-15 Ibnul Qayyim mengatakan, ‘Karena jalan yang menyampaikan kepada Allah hanya satu yang tak lain adalah jalan yang dengannya para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Tidak ada seorang pun yang bisa sampai kepada-Nya kecuali jika ia melewati jalan ini dan seandainya manusia datang dengan melewati berbagai jalan yang lain atau berusaha membuka jalan melalui berbagai pintu dan cara maka jalan-jalan serta pintu-pintu tersebut akan tertutup dan buntu. Hanya jalan yang satu ini yang terhubung dengan Allah, yang bisa menyampaikan kepada Allah.’
Sedangkan menurut Syaikh Abdul Malik Ramadhan al-Jazairi dalam Situt Durar min Ushuul Ahlil Atsar,bahkan banyaknya jalan tersebut semakin ragu terhadapnya dan tidak peduli dengannya. Banyaknya golongan atau firqah yang melenceng dari kebenaran dikarenakan mereka terlalu longgar atau permisif terhadap jalan yang banyak atau memang menghindar dari hanya satu jalan atau ingin cepat sampai dan takut menanggung beban perjalanan yang jauh.
Dari keterangan Ibnu Qayyim diatas bahwa yang dimaksud dengan ‘jalan’ tersebut adalah hanya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam semata dalam menjalankan agama. Karena sesungguhnya seperti kata Ibnul Qayyim kembali, ketidaktahuan jalan yang akan ditempuh serta halangan dan rintangannya maupun tujuan yang ingin di capai akan mengakibatkan kepenatan dan kelelahan yang sangat besar dengan manfaat yang sedikit.
Oleh karena itu ‘jalan’ ini hanya satu, maka tidak boleh bagi seseorang berkeras kepala (atau membuat dan mereka-reka jalan sendiri) dihadapan Rasulullah hanya karena menganggap bahwa jalan menuju kepada Allah sangat banyak sebanyak jumlah manusia yang ada atau sebanyak jumlah yang lain yang jelas kebatilannya dihadapan Allah, justru agama-Nya datang untuk mempersatukan pemeluknya dan bukan untuk mencerai beraikan mereka, tambah Syaikh Abdul Malik al-Jazairi.
Allah berfirman.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara” [Ali Imran:103]
Adapun tafsir al-hablu (tali) dalam ayat diatas ialah yang dapat menanggung dan mengikat kaum muslimin seluruhnya, yaitu Al-Qur’an. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
“Sesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar).” (Mereka melakukan ini, pent.) untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla. Maka, berpegang taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah (Al Qur’an)”. (Diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur’an, halaman 75; Ad Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam tafsirnya no. 7566 (tahqiq Ahmad Asakir); Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam Asy Syari’ah, 16; dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 135; dan riwayat ini shahih.)
Ungkapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ini, mengandung dua makna yang sangat penting.
Pertama : Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu dikelilingi oleh syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini. Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk mencerai-beraikan mereka dari jalan ini, kecuali dengan menda’wakan, bahwa jalan-jalan itu banyak. Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran (al haq) itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan sungguh Allah berfirman.
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” [Yunus:32].
Kedua :Tafsir hablullah (tali Allah Azza wa Jalla) yang wajib dipegang teguh oleh kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur’a Al Karim. Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi.
الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ
Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami ditinggal oleh Rasulullah. (Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 76.)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewariskan dua pusaka untuk mereka, yaitu Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِيْ
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.. ([Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’ 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 68; Al Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau tentang kitab Misykatul Mashabih, no. 186.)
Apa yang dikatakan Ibnu Baththah rahimahullah itu benar ; karena agama Allah itu hanya satu (dan) tidak ada pertentangan. Allah berfirman.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
“Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. “ [An Nisa’:82].
Dari Al Irbadh bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku dari jalan itu, kecuali orang (itu) akan binasa. “[Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah.]
Abdullah bin Mas’ud berkata.
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ
“Ikutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya (ajaran syari’at Islam ini) telah mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan tuntunan agama yang sediakala.” [Diriwayatkan oleh Waki’ dalam Az Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no. 20465; Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45; Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62; Ad Darimi 1/69; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 60; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; Ibnu Baththah dalam Al Ibanah/Al Iman 168-169, 174-175 dan Al Madkhal, no. 387-388; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqih, 1/43; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam ta’liqnya atas kitab Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah]
Maka wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syari’at), jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya, meskipun ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman Allah.
اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” [Al A’raf:3]
FirmanNya
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” [Al Ankabut:51].
Masalahnya sekarang semua golongan dan kelompok itu mengklaim berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah harus berdasarkan jalan yang sama, yaitu para sahabat karena merekalah yang paling tahu implementasi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah teruji menorehkan tinta emas bagi keagagungan agama Allah. Wallahua’alam.
ibh3.wordpress.com