Menyoal Berniaga Saat Shalat Jumat
Fiqhislam.com - Shalat Jumat merupa kan waktunya umat Islam berkumpul. Muslim di berbagai penjuru dunia akan menuju masjid untuk menunaikan ibadah berjamaah yang dilakukan setiap pekan itu. Banyaknya manusia yang menunaikan shalat Jumat tidak jarang ditangkap sebagai peluang bisnis bagi para pedagang.
Di dalam Alquran tertera perintah untuk menyegerakan shalat Jumat dan meninggalkan jual beli. Perintah untuk shalat Jumat ada pada QS al-Jumuah: 9. "Hai orangorang yang beriman, apa bila di seru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui." Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa hari Jumat dinamakan Jumu'ah karena berakar dari kata al-jam'u, mengingat kaum Muslimin melakukan perkumpulan setiap tujuh hari sekali di dalam masjid-masjid besar.
Pada hari ini juga, semua makhluk telah sempurna diciptakan. Pada Jumat, Allah menciptakan Adam, memasukkannya ke surga dan mengeluarkannya dari surga. Ibadah Jumat sebenarnya pernah diwajibkan Allah kepada Yahudi dan Nasrani. Seperti apa yang disampaikan dalam hadis yang dirawikan Abu Hurairah Ra dan diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim. Nabi bersabda jika Jumat adalah hari yang telah di wajibkan untuk mereka (Yahudi dan Nasrani) oleh Allah atas mereka. Namun, mereka berselisih pendapat mengenainya. "Dan Allah menunjuki kita padanya, maka orang-orang lain mengikut kita padanya; orang-orang Yahu di besok dan orang-orang Nasrani sesudah besok." (HR Bukhari dan Muslim).
Pentingnya hari Jumat bagi umat Islam tampak pada diwajib kannya shalat Jumat bagi kaum laki-laki yang baligh. Karena itu, kaum Muslimin diminta untuk bersegera apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat. Menurut Imam Ibnu Katsir, seruan yang dimaksudkan dalam QS al-Jumuah:9 tersebut adalah seruan yang biasa dilakukan di hadapan Rasulullah SAW apabila dia keluar dari rumahnya dan duduk di atas mimbar. Pada saat itu, azan diserukan di hadapannya. Hal yang sama dilakukan ketika Abu Bakar Ra dan Umar Ra menjadi khalifah.
Sementara, Amirul Mukminin Utsman bin Affan Ra menambahkan seruan sebelum imam duduk ke mimbar. Azan tersebut dikumandangkan mengingat banyaknya kaum Muslimin ketika itu. Azan diserukan di atas az-Zaura, yakni di atas semua rumah tertinggi di dekat masjid di Madinah.
Sementara itu, perintah untuk menyegerakan shalat Jumat yang dimaksud pada QS al-Jumuah:9 yakni mementingkan dan merealisasinya. Bukan bersegera yang di tafsirkan dengan jalan cepat. Ibnu Katsir pun menukil kembali sebuah hadis di dalam kitab Sahihain jika Nabi SAW justru melarang perbuatan berjalan tergesa-gesa ke masjid. ".. Apabila kamu mendatangi tempat shalat, maka berjalanlah dan langkahkanlah kakimu dengan tenang. Apa saja bagian shalat yang kamu jumpai, kerjakanlah dan apa yang terlewatkan olehmu, sempurnakanlah."
Menurut Imam Syafi'i dalam al-Umm, waktu shalat Jumat adalah antara tergelincirnya matahari (zawal) sampai akhir waktu shalat Zuhur. Imam Syafi'i menjelaskan, kumandang azan akan menjatuhkan hukum wajib bagi siapapun yang wajib melaksanakan shalat Jumat untuk meninggalkan perniagaan. Menurut Imam Syafi'i, azan tersebut adalah azan yang dikumandangkan setelah tergelincirnya matahari dan setelah imam duduk di mimbar.
Apabila muazin mengumandangkan azan sebelum imam duduk di mimbar setelah matahari tergelincir, azan tersebut tidak menjatuhkan larangan perniagaan. Contohnya, ketika azan yang dikumandangkan saat imam sudah duduk di mimbar. Dalam hal ini, Imam Syafi'i merujuk pada azan satu kali yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Apabila ada dua orang yang tidak diwajibkan shalat Jumat ke pada mereka lalu mereka melakukan transaksi jual beli pada waktu dilarangnya perniagaan pada Jumat, Imam Syafi'i tidak menyatakan bahwa jual beli itu makruh. Sebab, kedua pihak tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jumat. Menurut Imam Sya fi'i, Allah SWT melarang melakukan perniagaan untuk orang yang memang melaksanakan shalat Jumat.
Apabila jual beli terjadi antara satu orang yang tidak wajib melaksanakan shalat Jumat dan orang yang wajib melaksanakannya, Imam Syafi'i menyatakan hal tersebut berhukum makruh. Menurut Imam Syafi'i, semestinya pihak yang tidak wajib melakukan shalat Jumat membantu orang yang wajib melaksanakan shalat Jumat untuk meninggalkan itu. Meski demikian, Imam Syafi'i tidak menyatakan bahwa perniagaan tersebut merupakan jual beli yang rusak (fasakh).
Meski ada larangan untuk berniaga pada shalat Jumat, Imam Syafi'i tidak melarang dan memakruhkan jual beli pada hari Jumat sebelum matahari tergelincir atau setelah shalat Jumat selesai. Imam Syafi'i pun menjelaskan, larangan untuk berniaga pada shalat Jumat agar orang segera mendatangi tempat shalat Jumat. Bukan disebabkan perniagaannya yang diharamkan.
"Bukankah Anda tahu bahwa jika ada seseorang yang teringat bahwa dia belum melakukan shalat tertentu, dan pada saat itu hanya tersisa waktu yang sekadar cukup baginya untuk melakukan shalat itu, tetapi kemudian dia melakukan jual beli di waktu yang sempit itu; maka dia sudah bermaksiat dengan kesibukannya berjual beli sehingga tidak sempat melaksanakan shalat sampai habis waktunya." Wallahu a'lam. [yy/republika]
Artikel Terkait: