Hukum Menunda-nunda Membayar Hutang
Fiqhislam.com - Membicarakan hutang sudah hal yang umum di lakukan manusia, kebutuhan yang semakin banyak tetapi kita tidak mampu memenuhi karena kekurangan finansial membuat kita untuk berhutang.
Di antara kita, ketika berhutang terkadang menundanunda untuk membayar nya. Atau ketika di tagih susah sekali untuk membayar. Padahal membayar hutang suatu hal yang wajib bagi kita.
Barangsiapa mampu membayar hutang maka diharamkan baginya menunda-nunda hutang yang wajib dia lunasi jika sudah jatuh tempo. Hal itu didasarkan pada apa yg diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda:
"Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah sesuatu kezaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan (hutangnya dipindahkan) kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya"
Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hutang, maka hendaklah dia segera membayar hak orang-orang yang wajib dia tunaikan. Dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut sebelum maut menjemputnya dengan tiba-tiba, sementara dia masih tergantung pada hutangnya.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya:
Ada seorang Yamani yg memiliki sebuah toko di dekat rumah saya. Dan saya biasa mengambil barang darinya dengan cara berhutang yang selalu saya lunasi kemudian. Tetapi, saya masih punya hutang padanya 40 riyal. Dan orang itu kemudian pindah dan saya tidak mengetahui sama sekali alamatnya sekarang, dan tdk juga mengenal kerabatnya, lalu apa yang harus saya perbuat dengan 40 riyal ini?
Kemudian beliau menjawab:
Uang sejumlah 40 riyal itu masih menjadi hutang bagi anda. Sebenarnya, orang-orang Yaman sering bepergian ke Kerajaan Saudi Arabia dan kembali lagi ke negeri mereka. Sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk dapat menjumpai pemiliki toko tersebut.
Dan jika anda sudah berputus asa dari upaya menemuinya atau mengetahui tempat tinggalnya, maka anda boleh menyedekahkan uang tersebut atas nama dirinya. Kemudian jika tiba-tiba orang itu datang, maka beritahukan perihal yang sebenarnya kepadanya. Jika dia rida dengan apa yang anda lakukan maka tidak ada masalah, dan jika dia tidak rida maka anda harus membayarkan uang tersebut. Dan pahala sedekah itu akan menjadi milik anda.
Keadaan Orang Meninggal yang Masih Memiliki Utang
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham." (HR. Ibnu Majah ). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab "Peringatan keras mengenai hutang."
Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.
Dalam riwayat yang lain Dari Salamah bin Al Akwa radhiyallahu anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, "Apakah dia memiliki hutang?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Tidak ada." Lalu beliau mengatakan, "Apakah dia meninggalkan sesuatu?". Lantas mereka (para sahabat) menjawab, "Tidak." Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah salatkanlah dia!" Lalu beliau bertanya, "Apakah dia memiliki hutang?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Iya." Lalu beliau mengatakan, "Apakah dia meninggalkan sesuatu?" Lantas mereka (para sahabat) menjawab, "Ada, sebanyak 3 dinar." Lalu beliau menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, "Salatkanlah dia!" Beliau bertanya, "Apakah dia meningalkan sesuatu?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Tidak ada." Lalu beliau bertanya, "Apakah dia memiliki hutang?" Mereka menjawab, "Ada tiga dinar." Beliau berkata, "Salatkanlah sahabat kalian ini." Lantas Abu Qotadah berkata, "Wahai Rasulullah, salatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya." Kemudian beliau pun menyolatinya." (HR. Bukhari no. 2289)
Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya dulu jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang." (HR. Bukhari no. 2393). Wallahu alam.
yy/inilah
Artikel Terkait: