Ensiklopedi Hukum Islam: Ghaib
Fiqhislam.com - Secara etimologis, ghaib berasal dari kata gaba yang berarti hilang/tidak kelihatan, antonim dari kata hadara yang berarti hadir dalam penglihatan mata.
Secara umum, ghaib diartikan oleh para ahli bahasa sebagai segala sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata di kepala manusia, baik sesuatu itu dapat digambarkan dalam hati atau tidak.
Termasuk ke dalam pengertian ini ghaib dalam konteks ilmu kalam, seperti malaikat, surga, neraka, dan alam-alam ghaib lainnya; dan dalam konteks hukum Islam, seperti jual beli barang yang ghaib (tidak tampak), shalat jenazah ghaib, dan lain-lain.
Dalam terminologi hukum Islam, istilah ghaib diartikan sebagai seseorang atau sesuatu yang maujud (ada) secara fisik, tetapi tidak berada di tempat tindak hukum dilaksanakan sehingga tidak dapat dilihat oleh mata orang yang hadir.
Misalnya, seseorang yang berakad tidak hadir dalam suatu upacara akad yang seharusnya dihadirinya atau barang yang diperjualbelikan tidak ada di tempat upacara akad jual beli.
Pengertian ghaib dalam konteks hukum Islam lebih bersifat fisik, sehingga penekanannya adalah penglihatan mata kepala manusia.
Segala sesuatu yang tidak terlihat langsung oleh mata pada suatu ketika atau tempat, maka pada saat dan dari tempat itu ia disebut ghaib, meskipun sesungguhnya ia dapat berkomunikasi dengan yang hadir melalui sarana komunikasi tertentu (misalnya, telepon).
Dalam hal ini, ghaib menjadi antonim dari kata syahadah yang berarti kelihatan langsung dengan mata.
Kaitannya dengan Bidang Hukum
Persoalan ghaib banyak dibicarakan oleh fukaha di masa lalu. Persoalan ini dapat dilihat dalam berbagai bidang, sebagai berikut:
1. Bidang ibadah, diantara contoh persoalan ghaib yang terdapat pada bidang ibadah ialah shalat jenazah yang ghaib. Umpamanya seseorang meninggal dunia di tempat lain sehingga jenazahnya tidak dapat dilihat oleh kaum kerabatnya.
Jika kaum kerabat itu ingin menyalatkan jenazahnya, maka boleh dilakukan dengan shalat ghaib. Pelaksanaannya tidak berbeda dengan shalat jenazah yang hadir, hanya saja perbedaannya terletak pada niatnya, yaitu mengerjakan shalat jenazah ghaib si jenazah empat kali takbir.
Dasar pensyariatan shalat ghaib ini ialah hadis dari Abu Hurairah yang artinya, “Bahwasanya Nabi SAW menyiarkan berita kematian Raja Najasi pada hari kematiannya itu, kemudian beliau bersama mereka pergi ke mushola, sampai di sana mereka berbaris dan takbir empat kali.” (HR. Muttafaq Alaih).
2. Bidang muamalah. Masalah ghaib dalam bidang muamalah meliputi hal-hal seperti jual beli barang yang ghaib dari majelis akad.
Dalam memandang persoalan ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi misalnya, mengatakan bahwa jual beli barang yang ghaib tanpa melihat dan tidak pula ada penjelasan tentang sifat-sifatnya dari penjual adalah sah.
Akan tetapi, pembeli setelah melihat barangnya boleh khiar (memilih melangsungkan akad jual beli atau membatalkan). Khiar seperti ini disebut khiar ar-ru’yah. Demikian juga seandainya sifat barang yang dijelaskan oleh pembeli ternyata tidak sesuai dengan sifat yang disepakati, maka pembeli boleh khiar.
Menurut Mazhab Hanafi, pensyariatan khiar adalah untuk menghindari adanya unsur penipuan dalam jual beli yang diakibatkan oleh ketidaktahuan pembeli. Dasar syariat khiar ini ialah hadis Nabi SAW, "Siapa yang membeli sesuatu barang yang tidak dapat dilihatnya secara langsung maka ia memiliki hak khiar setelah melihat barang itu.” (HR. Daruqutni).
Menurut ulama Mazhab Maliki, boleh mengadakan jual beli barang yang ghaib, dengan syarat penjual lebih dahulu menjelaskan sifat-sifat barang tersebut dan sifat itu diyakini tidak akan berubah sampai akad atau serah terima barang berlangsung.
Jika barang yang dipeijualbelikan itu sesuai dengan sifat yang dijelaskan, maka akad itu dipandang sah, karena penjelasan mengenai sifat-sifatnya itu dipandang sebagai ganti melihat langsung. Jika berbeda dengan sifat-sifat yang ditentukan sebelumnya, maka pembeli boleh khiar.
Menurut Mazhab Maliki, menjual barang yang ghaib tanpa menjelaskan sifat, jenis, dan macamnya boleh dengan dua syarat.
1) Kepada pembeli diberikan hak khiar setelah ia melihat barang yang diperjualbelikan itu.
2) Pembeli tidak menyerahkan uangnya lebih dahulu pada penjual sebelum barang itu diperiksa dan sesuai dengan sifat-sifat yang dikemukakan.
Menurut ulama Mazhab Maliki, jual beli seperti ini disebut jual beli dalam rencana. Ulama Mazhab Syafi'i berpendapat, jual beli barang yang ghaib itu tidak sah selama kedua orang yang berakad tidak melihat langsung barang yang diperjualbelikan.
Alasannya, karena jual beli semacam itu tidak terlepas dari unsur garar (tipuan akibat ketidaktahuan) yang dilarang Nabi SAW dalam hadisnya, "Rasulullah SAW melarang jual beli sara.” (HR. Muslim).
Ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa jual beli barang yang ghaib tanpa menjelaskan sifat-sifatnya lebih dahulu tidak sah, dengan alasan adanya unsur garar yang dilarang Nabi SAW itu. Tetapi jika kepada pembeli dijelaskan sifat-sifatnya secara terperinci seperti yang berlaku pada jual beli salam (pesanan), maka jual belinya sah.
Imam Ahmad bin Hanbal sendiri mengatakan tidak sah, karena menurutnya, penjelasan tentang sifat suatu barang belum tentu dapat menjamin mutu barang tersebut. [yy/republika]
Sumber: Ensiklopedi Hukum Islam