Fiqhislam.com - Rajah Sulaiman, juga Sulaiman III (1558–1575), adalah Rajah (raja) atau penguasa terpenting Kerajaan Maynila, sebuah kerajaan pengikut Moro pra-Hispanik dari Kesultanan Brunei di muara Sungai Pasig di tempat yang sekarang disebut Manila, Filipina. Dia juga mewarisi pemerintahan Tondo dan Namayan di dekatnya, menjadi penguasa pertama yang memegang ketiga alam dalam persatuan pribadi.
Dia adalah penguasa pribumi kedua dari belakang kerajaan, karena negara (bersama dengan Luzon dan sebagian besar Nusantara), secara bertahap diserap ke dalam Kekaisaran Spanyol dimulai pada akhir abad ke-16. Putra tertuanya, Bunao Dula, dimahkotai sebagai Lakan (penguasa tertinggi) ketika Sulaiman I terlalu sakit untuk berfungsi sebagai raja.
Sulaiman I adalah cucu dari Abdul Bolkiah dari Kesultanan Brunei dan putra dari Sulaiman Bolkiah. Sulaiman l tidak menggunakan nama keluarga Bolkiah melainkan menggunakan gelar resmi Rajah Soliman Dula l, untuk menandai era baru aristokrasi Manila yang bersatu.
Sulaiman III melawan pasukan Spanyol, dan dengan demikian, bersama dengan Rajah Matanda dan Lakan Dula, adalah salah satu dari tiga raja yang membela dan berperan besar dalam penaklukan Spanyol di Pelabuhan Manila dan delta Sungai Pasig pada awal tahun 1570-an.
Dalam dokumen Spanyol mencatat bahwa orang-orang Sulaiman memanggilnya Raja Mura atau Raja Muda (dari bahasa Sanskerta raja). Orang Spanyol menyebut nama ini sebagai "Raja Muda", merujuk pada fakta bahwa ia adalah keponakan dan pewaris Raja Matanda. Orang Spanyol juga memanggilnya Raja Solimano el Mow.
Menurut silsilah yang dikemukakan oleh Mariano A. Henson pada tahun 1955, dan ditegaskan oleh Majul pada tahun 1973. Sulaiman adalah Raja Manila ke-14 sejak didirikan sebagai kerajaan muslim pada tahun 1258 oleh Rajah Ahmad ketika dia mengalahkan Majapahit Suzerain Raja Avirjirkaya.
Penaklukan Spanyol atas Manila (1570–1571)
Rajah Sulaiman ada di sana ketika invasi Legazpi terjadi. Pendahulunya menegaskan bila keturunan dari Alexander Agung, Lakanduli, yang pendahulunya adalah Kanduli, yang pendahulunya adalah Rajah Nicoy yang memerintah wilayah Muslim di Manila sebelum invasi Spanyol. Dipercaya bahwa islam akan menyebar ke seluruh Filipina tetapi untuk invasi Spanyol sejak Luzon dan Visayas melihat kedatangan Islam.
Penaklukan Spanyol diperangi oleh Rajah Lakandula, Rajah Matanda, dan keponakan mereka Rajah Sulaiman. Sultan Brunei memiliki hubungan kekeluargaan dengan bangsawan asal Kalimantan yang memerintah Manila. Manila diubah oleh Muslim dari Kalimantan.
Perang oleh orang Kristen melawan Islam di Nusantara yang diakhiri dengan pertempuran 1913 Bud Bagsak antara Sulu dan Amerika dimulai pada tahun 1571. Kala itu Martin de Goiti dan Miguel Lopez de Legaspi dan tentara bawahan mereka dari Visayans, tentara Amerika Latin dan Spanyol menyerang Kerajaan Manila Rajah Sulaiman Muslim dan menaklukkannya.
Menjadi bagian dari pelabuhan perdagangan kuno dan sekutu tradisionalnya, Spanyol mengalami serangan militer yang spektakuler dan dahsyat di tangan Muslim Moro dari etnis Sama, Iranun, Maguindanaon dan Suluk setelah penaklukan mereka di Manila. Ini menandakan dimulainya konflik berbasis kedaulatan yang sudah tua di Nusantara.
Para bangsawan dan bangsawan Brunei mengubah para bangsawan Manila menjadi Islam dan menjalin hubungan akrab melalui pernikahan, itulah sebabnya Rajah Sulaiman adalah seorang Muslim yang dikenal ketika Spanyol tiba.
Julkipli M. Wadi menulis biografi Rajah Sulaiman, Spanyol dan transformasi Islam Manila. Miguel López de Legazpi, Juan de Salcedo, dan Martín de Goiti memimpin invasi oleh Spanyol melawan Rajah Lakandula, Rajah Matanda dan penguasa Muslim terakhir Maynila, Rjaha Sulayman III.
Jose N. Svilla kemudian menggubah biografi Rajah Suulayman dalam bahasa Tagalog. Sebuah monumen yang didedikasikan untuk Rajah Sulaiman didirikan oleh penduduknya untuk mengenang perlawanan dan kesyahidannya melawan Spanyol. Tondo diperintah oleh Lakandula dan Manila diperintah oleh Sulaiman keduanya Muslim karena Luzon, Visayas, Mindanao dan Sulu semuanya mengalami dakwah Islam. Muslim sudah ada di seluruh pulau Filipina selama masuknya Spanyol.
Daerah ini dulunya merupakan kerajaan India pra-kolonial Sri Vijaya dan pada saat kedatangan mereka sudah bergeser menjadi Kerajaan Majapahit. Penjelajah Spanyol Miguel López de Legazpi, mencari tempat yang cocok untuk mendirikan ibukotanya setelah pindah dari Cebu ke Panay karena klaim Portugis atas Archipeago. Mereka mengirim Martín de Goiti dan Juan de Salcedo dalam ekspedisi ke utara ke Luzon setelah mendengar tentang seorang makmur kerajaan di sana.
Goiti berlabuh di Cavite dan membangun otoritasnya dengan mengirimkan "pesan persahabatan" ke negara-negara bagian di sekitar Sungai Pasig. Sulaiman, yang telah diberi kewenangan atas permukiman ini oleh Rajah Matanda yang sudah tua, bersedia menerima "persahabatan" dari Spanyol.
Namun, Sulaiman kemudian menolak untuk menyerahkan kedaulatannya, dan tidak punya pilihan selain berperang melawan tuntutan para pendatang baru Eropa tersebut. Akibatnya, Goíti dan pasukannya menyerbu kerajaan pada bulan Juni 1570, menjarah dan membakarnya
Jejak Sulaiman di Manila
Memang kini Filipina bukan negara dengan penduduk Islam mayoritas. Namun, mengutip indonesia.go.id, kebesaran umat dan kebesaran Islam di sana jejaknya ada lewat bangunan Intramorus Walle City yang dibangun oleh Raja Sulaiman.
Dalam bahasa latin, intramorus berarti dinding. Dinding yang dibangun pada abad ke-16 di atas lahan seluas 64 hektare ini merupakan cikal bakal Kota Manila. Bangunan yang semula berada di timur Kota Manila ini difungsikan sebagai pusat pemerintahan Spanyol dan diperuntukkan sebagai benteng pertahanan. Di sekitar dinding raksasa ini, terdapat pula beberapa bangunan bersejarah, salah satunya Fort Santiago.
Tidak hanya bangunan Intramorus Walle City jejak Islam di Filipina juga kita temui pada Masjid Syekh Karim al-Makdum, masjid tertua di Filipina. Masjid yang berdiri pada 1380 M ini dibangun oleh Syekh Karim al-Makdum, saudagar Arab yang datang dan berdakwah di daerah tersebut.
Masjid ini merupakan pusat penyebaran Islam pertama di tanah Filipina. Beberapa tiangnya yang asli, masih tegak berdiri, berada di dalam bangunan masjid. Pusat Arkeologi Nasional menobatkan situs ini sebagai warisan bersejarah. Sedangkan, oleh Museum Nasional Filipina, masjid ini dicatat sebagai kekayaan budaya berupa benda.
Dan terakhir jejak Islam di Filipina bisa kita temui di Distrik Quiapo. Quiapo merupakan kota lama dan tempat permukiman Islam di Manila. Di daerah tersebut sudah banyak berdiri gedung-gedung pencakar langit. Di sinilah tempat pusat transaksi ekonomi cara Islam.
Kota ini menjadi salah satu pusat perdangangan bangsa Filipina saat itu. Dan uniknya, sistem transaksi yang digunakan sejak awal adalah sistem Islam. Sistem ini pun masih dipraktikkan oleh sebagian pedagang di kawasan tersebut sampai sekarang.
Serta sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya di masa lalu, figur Raja Sulaeman diabadikan menjadi sebuah patung yang terletak di Rizal Park, Manila. [yy/ihram]
Artikel Terkait:
Manila
-
Islam di Manila
Fiqhislam.com - Sejarah Muslim di Filipina, khususnya di Manila, sudah ada sejak masa sebelum Perang Dunia II. Sempat menghilang saat kolonisasi Spanyol, Muslim di manila muncul kembali saat terjadi kolonisasi Amerika Serikat, khususnya wilayah Moro.
Pasca-Perang Dunia II, tepatnya awal 1950-an, juga menjadi momentum munculnya para pedagang Muslim di Manila seiring berkembangnya kota ini. Saat itu, terjadi pergerakan masyarakat desa ke kota untuk mengadu nasib. Di antara orang-orang yang merantau ke perkotaan itu ada lah para pedagang Muslim yang berasal dari Provinsi Lanao. Di Manila, sebagian besar dari mereka menetap di kawasan sekitar Pelabuhan Tondo.
Para pedagang Muslim ini hidup berdampingan secara damai dengan warga setempat yang menganut ajaran Kristiani. Mereka berdagang barang antik, mutiara, logam mulia, juga pakaian. Karena belum ada masjid, para pedagang Muslim merasa kurang betah untuk tinggal berlamalama di Manila. Karena itu, mereka biasanya tinggal di Manila selama beberapa waktu, lalu pulang kampung untuk menjenguk keluarganya.
Data statistik nasional 2001 disebutkan, 60 ribu kaum migran Muslim dari Mindanao tinggal di Manila. Di ibu kota Filipina ini, mereka membentuk komunitas yang tersebar di bebe rapa wilayah. Muslim yang berasal dari beragam etnik dengan bahasa yang berbeda-beda pula ini kemudian saling mengintegrasikan keanggotaan mereka dalam komunitas. Masjid menjadi simbol persatuan bagi komunitas ini. Masjid juga menjadi pusat kegiatan keislaman mereka.
Keberadaan masjid di Manila, seperti diterangkan dalam laman ryukoku.ac. id, berawal pada 1949 ketika Dewan Perwakilan Ombra Amilbangsa dan beberapa tokoh Muslim berinisiatif membentuk sebuah Asosiasi Muslim Filipina (Muslim Association of the Philippines). Ini merupakan organisasi untuk mempersatukan umat islam di Filipina.
‘Prestasi’ awal organisasi ini adalah berdirinya Islamic Center di Distrik San Miguel, Manila. Resmi beroperasi pada 1964, Islamic Center ini dibangun melalui perjuangan panjang dan berliku. Mulai dari sulitnya mendapatkan lahan, pinjaman uang, sampai didera masalah bangkrutnya bank.
Berdirinya Pusat Islam di San Miguel ini menjadi pemacu dibangunnya beberapa masjid di Manila. Pada satu masa, yakni pengujung dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an, terjadi booming pembangunan masjid di Manila. Saat itu, seiring kian ber tambahnya jumlah Muslim di Manila akibat konflik berkepanjangan di Mindanao, masjid-masjid pun ber munculan. Geliat Islam di Filipina pada masa itu didorong pula oleh hadir nya para penggiat dakwah dari Pakistan yang tergabung dalam Jamaah Tabligh.
Menjamurnya masjid agaknya membuat gerah Pemerintah Filipina. Untuk mengerem laju pertumbuhan masjid, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan tentang syarat pembangunan sebuah masjid. Di antara syarat itu adalah masjid harus memiliki jamaah yang secara rutin shalat berjamaah lima waktu minimal lima orang.
Syarat lainnya, jumlah jamaah saat shalat Jumat minimal 40 orang. Masjid ini pun harus terdaftar secara resmi, baik di pemerintahan lokal maupun pusat. Pada 2002, di Manila terdapat 32 masjid yang terdaftar sedangkan masjid yang tidak terdaftar lebih dari 80 buah. [yy/ihram]