pustaka.png
basmalah2.png.orig


15 Dzulqa'dah 1444  |  Minggu 04 Juni 2023

Awal Mula Dakwah Islam di Bosnia-Herzegovina

Awal Mula Dakwah Islam di Bosnia-Herzegovina

Fiqhislam.com - Saat ini, Bosnia-Herzegovina memiliki populasi Muslim yang cukup signifikan, baik dalam konteks Semenanjung Balkan maupun Benua Eropa pada umumnya.

Riset Houssain Kettani yang terbit pada International Journal of Environmental Science and Development (2010) menunjukkan data. Sebesar 43,8 persen dari total penduduk negara tersebut (3.781.274 jiwa) adalah kaum Muslimin pada 2010. Persentase itu diprediksi stabil hingga tahun 2020 mendatang.

Bosnia-Herzegovina memiliki sejarah yang panjang dengan Islam. Sebelum tiba pada uraian itu, perlu diketahui bagaimana posisi Bosnia dalam peta geopolitik Kristen pada abad pertengahan--yakni sebelum kedatangan penguasa Muslim.

Menurut Schuman dalam Nations in Transition: Bosnia and Herzegovina (2004), sejak tahun 1180 wilayah tersebut dipimpin Raja (Ban) Kulin. Sebagai penguasa lokal, dia menolak kekuasaan Romawi Barat (Katolik) dan Romawi Timur (Kristen Ortodoks). Ban Kulin lebih mendukung Bogomilisme hingga akhir kekuasaannya pada 1204.

Baik Katolik maupun Kristen Ortodoks memandang sekte tersebut sebagai aliran sesat. Tidak mengherankan bila Paus Gregory IX berulang kali mengimbau penyerbuan atas Bosnia ketika Perang Salib meletus periode 1235-1241.

Barulah pada 1322, Bosnia di bawah pimpinan Ban Kotromanic menjalin aliansi dengan penguasa Katolik yang terdekat, Hongaria. Namun, aliansi ini tidak mampu maksimal dalam menghadapi perluasan wilayah Dinasti Turki Utsmaniyah.

Pada 28 Juni 1389, pasukan Muslim berhasil menaklukkan Raja Serbia, Lazar. Dia seorang Kristen Ortodoks yang lahir di Kosovo.

Setelah penaklukan itu, posisi Bosnia kian lemah dari sisi internal. Apalagi, dengan kemunculan Stephen Vukcik, yang mendeklarasikan pemisahan Herzegovina pada 1448.

Tiga tahun kemudian, Vrhbosna (kini Sarajevo) dapat dikuasai Turki Utsmaniyah. Barulah pada 1465 dan 1481, wangsa Muslim itu berhasil menaklukkan berturut-turut Bosnia dan Herzegovina.

Schuman dalam Nations in Transition: Bosnia and Herzegovina (2004) menjelaskan, para sultan Utsmaniyah menerapkan kebijakan yang toleran. Turki melindungi hak-hak orang non-Muslim di wilayah taklukan, sehingga seluruh rakyat yang majemuk dapat hidup secara wajar.

Gelombang perpindahan agama diakui terjadi. Para sejarawan menduga adanya pelbagai motif penduduk setempat untuk menjadi Muslim.

Di antaranya adalah, mereka ingin mempertahankan hak-hak istimewa. Artinya, mereka menghendaki status quo di level sosial tetap ada, sekalipun penguasa politiknya berganti. Kecenderungan ini menguat terutama bagi kaum pengikut Bogomilisme.

Mereka memandang, menjadi seagama dengan penguasa setempat akan lebih menguntungkan. Selain itu, sejak awal memang orang-orang Bogomilisme sudah berjarak dengan pusat dunia Katolik dan Kristen Ortodoks. Itulah sebabnya mereka cenderung menerima Islam.

Motif lainnya berkaitan dengan pemberlakuan sistem devsirme. Sistem itu mewajibkan setiap laki-laki dewasa untuk mengabdi kepada pemerintahan Utsmaniyah. Aturan itu berlaku, baik di lingkup sipil maupun militer. Dugaannya, orang-orang Bosnia yang mengikuti devsirme lantas beralih iman menjadi Islam.

Bagaimanapun, para sultan Utsmaniyah lebih mementingkan meritokrasi ketimbang kesamaan identitas agama. Sebagai contoh, ada seorang Kristen Ortodoks yang bernama Sokolovic.

Dia terpilih untuk dikirim ke ibu kota Kesultanan Utsmaniyah, Istanbul, demi melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Sokolovic kemudian menjadi seorang Muslim. Bahkan, dia pada akhirnya meraih posisi wazir utama.

Schuman menyebut, secara garis besar, agama Kristen masih dipeluk kalangan petani, sedangkan kelas menengah dan kelas atas Bosnia-Herzegovina condong pada Islam.

Dalam kekuasaan Turki Utsmaniyah, Kota Vrhbosna (kini Sarajevo) menjadi pusat politik, pendidikan, dan budaya masyarakat. Puluhan masjid dan ratusan sekolah umum dibangun.

Dalam kekuasaan Turki Utsmaniyah, Kota Vrhbosna (kini Sarajevo) menjadi pusat politik, pendidikan, dan budaya masyarakat. Puluhan masjid dan ratusan sekolah umum dibangun.

Menjelang pertengahan tahun 1500-an, Vrhbosna sudah dilengkapi tata kota yang baik, dengan sistem irigasi, fasilitas kesehatan publik, dan berbagai destinasi wisata. Di masa inilah, kota tersebut berubah namanya menjadi Sarajevo. Nama itu diambil dari bahasa Turki, saraj (‘istana’) dan ovas (‘tanah terbuka’). Barangkali, hal itu berkait dengan banyaknya istana dengan area terbuka di sekitarnya di sana.

Memasuki era 1700-an, kendali Istanbul atas Bosnia-Herzegovina mulai menyusut. Hal itu seiring dengan menurunnya simpati warga setempat, bahkan termasuk kaum Muslim Bosnia.

Mereka memandang rezim Utsmaniyah mengabaikan kepentingan umum setempat. Memang, hingga dasawarsa 1800-an Bosnia-Herzegovina cenderung tertinggal bila dibandingkan dengan tetangganya: Kroasia yang dikuasai Wangsa Hapsburg dan Serbia yang telah independen.

Sementara mayoritas rakyat Bosnia-Herzegovina hidup dalam kemiskinan. Ketimpangan antara si kaya dan si papa kian melebar. Sebagai informasi, seantero Eropa saat itu mulai terpacu Revolusi Industri. Semenanjung Balkan, khususnya Bosnia, belum begitu tersentuh oleh fenomena itu.

Bosnia-Herzegovina menjadi rentan campur tangan asing. Pada 1875, kelompok petani Kristen di Herzegovina memberontak terhadap para tuan-tanah Muslim.

Namun, pasukan Utsmaniyah dapat memadamkan pemberontakan itu, yang belakangan diketahui atas dukungan Serbia. Sementara itu, kesultanan tersebut mesti menghadapi tantangan eksternal. Aliansi Serbia dan Montenegro mengumumkan perang terhadap Utsmaniyah pada 1876. Satu tahun kemudian, Rusia melakukan hal yang sama.

Namun, langkah Rusia ini menimbulkan kecurigaan dari imperium Eropa daratan. Usai perang Rusia-Turki pada 1878, kongres digelar di Berlin, Jerman. Hadirin terdiri atas wakil-wakil imperium besar Eropa, seperti Rusia, Inggris Raya, Prancis, Austria-Hongaria, Italia, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah.

Mereka menyepakati pembagian kekuasaan di Semenanjung Balkan. Bosnia-Herzegovina saat itu berada di bawah hegemoni Austria-Hongaria, meskipun secara legal termasuk Utsmaniyah.

Sekelompok umat Islam Bosnia kemudian memberontak terhadap keputusan ini, tetapi cepat dipatahkan kekuatan militer Austria-Hongaria.

Tiga puluh tahun sudah berlalu sejak Kongres Berlin 1878. Pertemuan itu dihadiri wakil-wakil imperium besar Eropa, seperti Rusia, Inggris Raya, Prancis, Austria-Hongaria, Italia, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah.

Kini, Austria-Hongaria resmi mencaplok Bosnia-Herzegovina. Awalnya, langkah ini dianggap menyalahi hasil kongres tersebut. Namun, Dinasti Utsmaniyah tidak berkutik. Imperium katolik tersebut kemudian memberikan sejumlah besar uang kepada Utsmaniyah sebagai kompensasi.

Kecaman datang dari etnis Serbia. Mereka menolak aneksasi yang dilakukan Austria-Hongaria itu karena dinilai akan membahayakan kaum Kristen Ortodoks setempat. Tampak ada kontestasi antara negeri Katolik dan Kristen.

Pada 1912, Serbia beraliansi dengan Montenegro, Bulgaria, dan Yunani. Gabungan kekuatan ini berhasil merebut sebagian besar wilayah Utsmaniyah di Semenanjung Balkan.

Inilah awal dari prahara Perang Dunia I. Di Serbia muncul kelompok ekstremis Tangan Hitam (Black Hand), yang dipimpin komandan militer Serbia, Dragutin Dimitrijevic. Kelompok ini meyakini, Bosnia-Herzegovina harus dimiliki rezim Kristen Ortodoks, bukan Austria-Hongaria.

Pada 28 Juni 1914, putra mahkota Austria-Hongaria Francis Ferdinand dan rombongan berkunjung ke Sarajevo. Dimitrijevic lantas mengutus seorang pemuda 19 tahun, Gavrilo Princip, untuk menjalankan misi pembunuhan terhadap Francis.

Dengan pistol dari sakunya, Princip menghilangkan nyawa sang pangeran Austria-Hongaria beserta istrinya, Sophie, yang sedang menumpangi kendaraan mereka. Itulah awal mula prahara Perang Dunia I.

Perang besar itu baru berakhir pada 11 November 1918, dengan menyerahnya elemen kunci Blok Sentral, yakni Jerman. Turki Utsmaniyah termasuk Blok Sentral, sehingga menanggung konsekuensi kekalahan.

Kekuasaan kesultanan di Semenanjung Balkan pun merosot drastis. Hanya berselang satu bulan kemudian, kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia (selanjutnya disebut Yugoslavia) terbentuk dengan tujuan menyatukan bangsa-bangsa Slavia. Wilayah Bosnia-Herzegovina termasuk di dalamnya.

Awalnya, umat Islam Bosnia-Herzegovina tidak begitu mempersoalkan rezim Raja Yugoslavia Alexander. Sikap dingin juga dirasakan dari kalangan petani.

Namun, kerusuhan sosial mulai pecah di Bosnia, sehingga membahayakan diri kolektif mereka. Tentara Yugoslavia dianggap kurang cepat tanggap bila ditugaskan melindungi kaum Muslim.

Bukan hanya kaum Muslim setempat. Kelompok-kelompok lainnya di Bosnia-Herzegovina juga enggan bersatu di bawah bendera yang sama: kerajaan Yugoslavia. Mereka cenderung pada afiliasi politik masing-masing.

Kaum Muslim Bosnia mendirikan Organisasi Muslim Yugoslav (YMO). Pemimpinnya bernama Mehmed Spaho.

Kelompok Kroasia-Bosnia mendukung Partai Petani Kroasia dan Partai Komunis Yugoslavia. Adapun dukungan kelompok Serbia-Bosnia terbagi dua, yakni untuk Partai Radikal Serbia dan Partai Demokratik Serbia.

Kerajaan Yugoslavia dengan susah payah meneguhkan stabilitas. Pada 1921, konstitusi yang baru dicetuskan, meskipun melalui banyak prokontra.

Sementara itu, kelompok komunis merencanakan pembunuhan terhadap raja Yugoslavia, tetapi hanya dapat menewaskan seorang menteri. Tindakan ini menyebabkan pelarangan eksistensi Partai Komunis Yugoslavia.

Dominasi tuan tanah Muslim cenderung dibatasi. Posisi kelompok Kristen yang bertahun-tahun lamanya petani bayaran hendak dipulihkan. Kerajaan membayarkan sejumlah uang kepada tuan tanah Muslim sebagai kompensasi lahan mereka yang dibagi-bagi.

Bagaimanapun, hampir semua pihak tidak puas. Kelompok Kristen merasa lahan yang diterimanya tidak cukup. Kelompok tuan tanah Muslim pun merasa tidak mendapatkan ganti rugi yang adil.

Menjelang akhir 1920-an, situasi mencapai titik kulminasi. Krisis legislasi di parlemen terjadi berulang kali.

Pada 6 Januari 1929, Raja Alexander menghapus undang-undang dasar dan mengklaim diri sebagai pemimpin absolut. Meskipun dua tahun kemudian mencabut status ini, sang raja tetap dibenci banyak kalangan.

Pada Oktober 1934, dia dibunuh saat sedang berkunjung ke Marseilles, Prancis, oleh kelompok nasionalis-ekstrem Kroasia, Ustasa, yang diketahui dekat dengan Hitler. [yy/republika]