Fiqhislam.com - Warga net di Timur Tengah tengah dibuat heboh dan marah terkait beredarnya sebuah manuskrip mushaf Alquran kuno yang ternyata, sekarang berada di salah satu perpustakaan Israel.
Hal itu diketahui setelah Perpustakaan Nasional Israel memperlihatkan, melalui akun media sosial resminya, foto mushaf Alquran kuno nan langka yang berasal dari Maroko.
Kejadian semacam ini, ternyata bukan kali pertama terjadi. Namun, manuskrip mushaf Alquran kuno tersebut, adalah puncak dari gunung es lantaran keberadaannya yang sangat langka. Mushaf tersebut ibarat sebuah pohon yang tak pernah ditemukan di hutan belantara.
Menurut akademisi Maroko, Abdus Shamad Balkabir, pencurian manuskrip Marokoh yang berharga tak bisa lepas dari gerakan Zionis internasional yang ingin menundukkan bangsa dengan berbagai cara.
“Gerakan ini menyerang apapun dan masuk melalui gerbang manapun, tetapi paling utama adalah pemalsuan yang bisa merusak perasaan orang lain, dan mengapa manuskrip tersebut di munculkan di Palestina, ya agar muncul kesan Israel punya hak atas tanah Palestina,” kata dia kepada Aljazeera, beberapa waktu lalu.
Kepala Pemantau Nasional Kebangkitan Penerbitan Maroko, Ahmad Waihaman khawatir, manuskrip Alquran yang dipajang Israel itu adalah manuskrip hasil tulis tangan menggunakan tinta emas oleh penguasa Maroko era Bani Marinid Maroko, Sultan Abu al-Hasan, abad ke-12. Mushaf tersebut disimpan selama beberapa lama di Masjid al-Aqsha dan pernah dikirim sebagai hadiah untuk putra dari Shalahudin al-Ayyubi.
“Masih banyak lagi manuskrip Maroko yang disimpan di Perpustakaan Nasional Israel,” tutur dia. [yy/republika]
Mengenal Kisah Saladin
Mengenal Kisah Saladin
Fiqhislam.com - Saladin adalah putra seorang perwira tinggi militer Kurdi Nur al-Din. Meski dari etnis Kurdi, Saladin sangat dipengaruhi oleh budaya dan bahasa Arab. Ia lahir di Tikrit, Irak, pada 1138.
Nama aslinya Yusuf bin Ayyub, tapi kemudian ia diberi nama tambahan Salah al-Din (pembimbing iman). Saladin berhasil merebut kembali kota suci tiga agama sekaligus meruntuhkan Kerajaan Latin Yerusalem pada 2 Oktober 1187.
Mungkin, dialah satu-satunya orang Kurdi yang dianggap pahlawan oleh orang Arab sampai kini. Yang jelas, dia adalah seorang Muslim yang cukup terkenal di dunia sehingga memiliki nama versi Barat.
Tentara salib dan kemudian seluruh Eropa menyingkat namanya menjadi Saladin, nama yang identik dengan romantisme seperti tertuang dalam puisi dan legenda Barat yang tak terhitung jumlahnya.
Legenda, tentu saja, dibumbui dengan berbagai mitos, cerita yang belum tentu benar, kepercayaan terhadap takhayul dan asmara. Kesemuanya bermunculan setelah kematian Saladin. Sosok asli Saladin pun hampir lenyap.
Untungnya, sejarawan Arab yang hidup pada zamannya dan para penulis sejarah Latin yang tinggal di Tanah Suci berhasil mendokumentasikan gambaran yang lebih realistis.
Tampaknya, Saladin adalah seorang pria ramping dengan tinggi sedang, kulit gelap, rambut gelap, mata gelap, dan memelihara janggot. Saladin juga digambarkan memiliki ekspresi yang sedikit melankolis.
Dia memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa dan menyukai makanan yang sederhana. Dia menyukai buah segar dan serbat, meminum air barley ketika sedang sakit dan menyukai nasi.
Saat tidak sedang berada di lapangan, ia senang menghabiskan malam dengan dikelilingi para cendekiawan, teman-teman, dan penyair. Mereka biasanya membahas teologi dan hukum atau mendengarkan lantunan ayat suci Alquran.
Saladin kerap membawa buku kecil ke manapun ia pergi untuk menulis kutipan dari penulis kesukaannya. Sering kali, ia membaca kutipan tersebut keras-keras untuk mengungkapkan maksud pembicaraannya saat sedang berdialog.
Meskipun Saladin memiliki semua kekayaan Mesir dan Suriah, ia tidak silau. Kekuasaan tidak memiliki daya tarik baginya. Ketika ia menjadi penguasa tertinggi Mesir setelah kematian khalifah Fatimiyah terakhir, misalnya, ia lebih memilih tinggal di sebuah rumah sederhana kecil.
Bandingkan dengan istana khalifah yang luar biasa dengan 4.000 kamar, perpustakaan dengan 120 ribu buku, dan berkantung-kantung permata. Ia tidak segan memberikan sebagian isi istana. [yy/republika]
Saladin, Sang Jenderal yang Unik
Saladin, Sang Jenderal yang Unik
Fiqhislam.com - Saladin adalah seorang jenderal yang unik. Selain bakatnya sebagai komandan, pengatur strategi dan perencana, Saladin mempunyai kesopanan yang tidak perlu diragukan.
Meskipun ia bisa menjadi tidak fleksibel dan bahkan kejam, dia tidak me nyu kai pertumpahan darah. Satu-satunya noda dalam catatannya adalah eksekusi sekitar 300 kesatria dari dua klan militer utama, Templar dan Hospitaler, di Tiberias, beberapa bulan sebelum ia merebut Yerusalem.
Namun, dilihat dari konteks saat itu, eksekusi tersebut bukanlah suatu kejahatan. Bandingkan dengan perbuatan tentara salib ketika pertama kali menduduki Yerusalem pada 1099. Mereka membunuh 70 ribu warga Muslim dan Yahudi, termasuk perempuan dan anak-anak. Ketika Saladin merebut kembali kota itu, tidak ada penodaan tempat-tempat suci. Para peziarah Kristen diizinkan memasuki tempattempat ibadah me reka.
Sang sultan tampaknya merasa tang gung jawab barunya menuntut untuk lebih menahan diri. Beberapa tahun kemudian, saat pengepungan Acre yang terkenal, Raja Inggris Richard the Lion Heart melanggar kesepakatan dan membantai seluruh 3.000 penjaga kota.
Saladin me maafkan kejahatan Richard ini. Selama pertempuran di Jaffa, kuda Richard tewas di hadapannya. Saladin lalu mengiriminya kuda pengganti disertai pesan, “Tidak benar prajurit yang begitu berani harus bertempur tanpa kuda.”
Saladin lebih memilih negosiasi dan diplomasi daripada pertempuran. Perang baginya adalah sarana terakhir yang diperlukan untuk mencapai tujuan setelah usaha lain gagal. Berulang kali ia menemukan dirinya dalam kesulitan karena usahanya mengobarkan perang yang manusiawi. Meskipun di Barat ia digambarkan sebagai lonceng kematian Kristen dan musuh terburuk, ia tampaknya memiliki pendekatan bertingkat terhadap Kristen.
Semangatnya tidak pernah goyah untuk mengusir kaum Franka keluar dari Tanah Suci. Tapi, ketika berhadapan dengan orang Kristen, ia menunjukkan rasa hormat dan bahkan mengagumi keyakinan mereka. Hal ini dapat dilihat pada keputusannya untuk tidak meruntuhkan Gereja Makam Suci (Hoy Sepulchre). Para pendeta diberi keleluasaan untuk menerima peziarah. [yy/republika]