Qais bin Sa'ad bin Ubadah, Sang Ajudan yang Dermawan

Fiqhislam.com - Sejak belia, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan akhlak. Ia merupakan putra pemimpin Suku Khazraj di Yastrib (Madinah), Sa'ad bin `Ubadah. Qais menjadi Muslim ketika masih anak-anak. Waktu itu ayahnya memperkenalkannya kehadapan Rasulullah SAW.
Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi Muhammad SAW cukup terkesan dengan Qais. Sejak saat itu, kedekatan Qais dengan Rasulullah terbina baik. Salah seorang sahabat, Anas bin Malik, pernah mengungkapkan, Kedudukan Qais bin Sa'ad bin `Ubadah di sisi Nabi tidak ubahnya seperti seorang ajudan.
Baik sebelum maupun setelah masuk Islam, Qais terkenal sebagai pribadi yang dermawan tetapi juga berakal panjang. Hal inilah yang membuat kebanyakan masyarakat Madinah gentar terhadapnya.
Setelah keimanan menetap dalam hatinya, Qais mengubah kepiawaiannya dalam mengakali orang-orang dengan kejujuran.
Ia memang termasuk orang yang peka dalam berbahasa diplomatis, sehingga lawan bicaranya dapat saja menuruti kemauan Qais. Pernah suatu ketika Qais berkata kepada kawan-kawannya, Kalaulah bukan lantaran Islam, sudah aku buat tipu muslihat yang tak akan dapat ditandingi sekalian bangsa Arab.
Baginya, Islam merupakan jalan menuju rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, Qais lebih konsisten mengamalkan sifat kedermawanan, sebagaimana didikan dari keluarga besarnya.
Secara turun-temurun, Ibnu `Ubadah termasuk keluarga yang ringan hati dalam membantu masyarakat Madinah. Bahkan, Rasulullah pernah berkata, Kedermawanan merupakan tabiat anggota keluarga ini (bani `Uba dah).
Sebagai contoh, di muka rumah keluarga Sa'ad bin `Ubadah kerap ada beberapa penjaga.
Mereka memantau dari tempat yang tinggi untuk kemudian menyerukan kepada beberapa musafir yang kebetulan lewat. Tujuannya mengajak para pelintas itu ikut makan bersama keluarga Sa'ad.
Ujaran yang cukup masyhur di kalangan Anshar, Barang siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir kedalam benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah! Dulaim bin Haritsah merupakan kakek buyut Qais bin Sa'ad. Demikian seperti dikutip dari buku Yang Merangkak ke Surga.
Perubahan yang cukup drastis dari pribadi Qais bin Sa'ad bin `Ubadah membuat orang-orang Madinah makin respek terhadapnya. Meskipun begitu, perawakan Qais betul-betul lebih muda, bahkan ke timbang kawan-kawan sebayanya.
Misalnya, Qais berwajah licin alias tidak memiliki janggut. Akan tetapi, penampilan bukanlah soal bagi pribadi yang terkenal konsisten berbuat baik terhadap kaumnya. Walaupun berusia muda, kaum Anshar memandang Qais sebagai seorang pemimpin.
Pada suatu hari, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah bersedia memberikan pinjaman kepada seorang kawannya yang sedang terlilit kesulitan. Beberapa lama berselang, kawannya ini mendapatkan kemudahan rezeki sehingga bisa membayar utangnya itu. Namun, Qais dengan halus me nolaknya, Kami tidak hendak menerima kembali apa-apa yang telah diberikan, katanya.
Mental juang Selain sifat pemurah dan kecerdasannya, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah terkenal bermental juang yang tinggi. Sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, tidak ada satu pun medan jihad yang di dalamnya Qais absen. Bila lisannya piawai dalam berdiplomasi, langkah kaki dan ayunan pedang Qais juga tak kenal ragu dalam menghantam musuh-musuh Allah. Ia selalu bersedia menerima setiap tugas dengan hati yang lapang.

Fiqhislam.com - Sejak belia, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan akhlak. Ia merupakan putra pemimpin Suku Khazraj di Yastrib (Madinah), Sa'ad bin `Ubadah. Qais menjadi Muslim ketika masih anak-anak. Waktu itu ayahnya memperkenalkannya kehadapan Rasulullah SAW.
Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi Muhammad SAW cukup terkesan dengan Qais. Sejak saat itu, kedekatan Qais dengan Rasulullah terbina baik. Salah seorang sahabat, Anas bin Malik, pernah mengungkapkan, Kedudukan Qais bin Sa'ad bin `Ubadah di sisi Nabi tidak ubahnya seperti seorang ajudan.
Baik sebelum maupun setelah masuk Islam, Qais terkenal sebagai pribadi yang dermawan tetapi juga berakal panjang. Hal inilah yang membuat kebanyakan masyarakat Madinah gentar terhadapnya.
Setelah keimanan menetap dalam hatinya, Qais mengubah kepiawaiannya dalam mengakali orang-orang dengan kejujuran.
Ia memang termasuk orang yang peka dalam berbahasa diplomatis, sehingga lawan bicaranya dapat saja menuruti kemauan Qais. Pernah suatu ketika Qais berkata kepada kawan-kawannya, Kalaulah bukan lantaran Islam, sudah aku buat tipu muslihat yang tak akan dapat ditandingi sekalian bangsa Arab.
Baginya, Islam merupakan jalan menuju rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, Qais lebih konsisten mengamalkan sifat kedermawanan, sebagaimana didikan dari keluarga besarnya.
Secara turun-temurun, Ibnu `Ubadah termasuk keluarga yang ringan hati dalam membantu masyarakat Madinah. Bahkan, Rasulullah pernah berkata, Kedermawanan merupakan tabiat anggota keluarga ini (bani `Uba dah).
Sebagai contoh, di muka rumah keluarga Sa'ad bin `Ubadah kerap ada beberapa penjaga.
Mereka memantau dari tempat yang tinggi untuk kemudian menyerukan kepada beberapa musafir yang kebetulan lewat. Tujuannya mengajak para pelintas itu ikut makan bersama keluarga Sa'ad.
Ujaran yang cukup masyhur di kalangan Anshar, Barang siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir kedalam benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah! Dulaim bin Haritsah merupakan kakek buyut Qais bin Sa'ad. Demikian seperti dikutip dari buku Yang Merangkak ke Surga.
Perubahan yang cukup drastis dari pribadi Qais bin Sa'ad bin `Ubadah membuat orang-orang Madinah makin respek terhadapnya. Meskipun begitu, perawakan Qais betul-betul lebih muda, bahkan ke timbang kawan-kawan sebayanya.
Misalnya, Qais berwajah licin alias tidak memiliki janggut. Akan tetapi, penampilan bukanlah soal bagi pribadi yang terkenal konsisten berbuat baik terhadap kaumnya. Walaupun berusia muda, kaum Anshar memandang Qais sebagai seorang pemimpin.
Pada suatu hari, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah bersedia memberikan pinjaman kepada seorang kawannya yang sedang terlilit kesulitan. Beberapa lama berselang, kawannya ini mendapatkan kemudahan rezeki sehingga bisa membayar utangnya itu. Namun, Qais dengan halus me nolaknya, Kami tidak hendak menerima kembali apa-apa yang telah diberikan, katanya.
Mental juang Selain sifat pemurah dan kecerdasannya, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah terkenal bermental juang yang tinggi. Sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, tidak ada satu pun medan jihad yang di dalamnya Qais absen. Bila lisannya piawai dalam berdiplomasi, langkah kaki dan ayunan pedang Qais juga tak kenal ragu dalam menghantam musuh-musuh Allah. Ia selalu bersedia menerima setiap tugas dengan hati yang lapang.
Kesalehan dan Ketakwaan Qais bin Sa'ad

Namun, sejarah mencatat namanya, terutama dalam medan Pertempuran Shiffin, yang merupakan perang saudara pertama di antara sesama Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dalam peperangan ini, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah memihak kepada Ali bin Abi Thalib yang berkontra terhadap Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Awalnya, Qais sempat berupaya merancang upaya konspirasi untuk menjebak orang-orang pendukung Mu'awiyah. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat salah satu firman Allah di dalam Alquran yang memperingatkan bahwa dampak tipu daya jahat akan berpulang ke pelakunya sendiri.
Oleh karena itu, Qais pun mengurungkan niatnya. Kemudian, ia beristighfar kepada Alllah.
Demi Allah, seandainya Mu'awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena kesalehan dan ketakwaan kita, seru Qais kepada pasukannya.
Adapun keberpihakannya kepada kubu Ali bin Abi Thalib bukanlah fanatisme buta. Sebab, sebelumnya Qais bin Sa'ad bin `Ubadah telah menyelidiki sendiri siapa yang sesungguhnya meneguhkan kebenaran. Keberanian yang benar lahir dari pribadi yang jujur dan mendukung kebenaran secara tulus, bukan lantaran keuntungan materiel atau ke kuasaan.
Sebelum pecah Pertempuran Shiffin, Qais mendapatkan amanah sebagai gubernur Mesir.
Ia diangkat oleh Khalifah `Ali bin Abi Thalib. Namun, sejak lama Mu'awiyah mengincar perluasan kekuasaannya ke Mesir.
Terpilihnya Qais menjadi gubernur Mesir membuat Mu'awiyah dan para pendukungnya cemas. Tidak kurang dari Mu'awiyah sendiri yang merencanakan tipu daya demi memusuhi Ali bin Abi Thalib dan mendegradasi kepemimpinannya di mata kaum Muslim.
Sampailah ketika Ali bin Abi Thalib memanggil pulang Qais dari Mesir. Selang beberapa waktu, akhirnya Qais sendiri menyatakan dukungan terbukanya kepada Khalifah Ali. Padahal, Mu'awiyah telah berupaya keras membujuk Qais agar menyeberang dari kubu Ali.
Sebabnya antara lain, Qais tidak merasa Khalifah Ali memecatnya dari jabatan gubernur di Mesir. Jabatan hanyalah amanah yang bersifat sementara. Di sini kita tahu bahwa Qais tidak berambisi pada kekuasaan pribadi, melainkan profesionalisme.
Qais bin Sa'ad Lebih Memilih Jalan Damai

Qais bin Sa'ad bin `Ubadah mengalami masa setelah Khalifah Ali gugur dan putranya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dibaiat menjadi pemimpin. Qais memandang cucu Rasulullah itu sebagai sosok yang mampu memimpin umat. Akan tetapi, bahaya sudah di ambang mata.
Pihak-pihak yang membenci Hasan sudah menggelorakan pelbagai fitnah sehingga menyulut konflik terbuka. Bagaimanapun, Qais tetap teguh di pihak Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Qais lantas memimpin pasukan yang terdiri atas lima ribu prajurit untuk melawan pasukan Mu'awiyah. Dalam pada itu, Hasan meminta para pendukungnya berhenti mengangkat senjata dan mulai berunding dengan kubu Mu'awiyah. Lantas, baiat dilangsungkan terhadap Mu'awiyah.
Di sinilah Qais mulai merenungkan lagi kepelikan konflik internal antarumat Islam itu. Ia tahu dan meyakini betul bahwa Hasan bin Ali bin Abi Thalib berada dalam pihak yang benar. Oleh karena itu, Qais berpidato di hadapan ribuan pasukannya.
Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut terlebih dahulu! Tapi, jika kalian memilih perdamaian, aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu.
Ternyata, mayoritas pasukannya memilih jalan perdamaian serta menghendaki keamanan dari Mu'awiyah yang baru saja dibaiat. Untuk itu, Qais menyepakatinya.
Beberapa tahun kemudian, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah menemui masa akhir kehidupannya. Ia wafat pada tahun 59 Hi- jriyah di Madinah. Namanya akan selalu dikenang sebagai pribadi yang pemberani, jujur, dan penuh kedermawanan. [yy/republika]