pustaka.png
basmalah2.png


17 Rabiul-Awwal 1445  |  Senin 02 Oktober 2023

Mujahidah: Khaulah binti Azur, Pejuang Pemberani

Mujahidah: Khaulah binti Azur, Pejuang Pemberani

Fiqhislam.com - Di bawah naungan Islam, harkat perempuan dihormati dan ditinggikan. Perempuan diberi keleluasaan berkiprah tanpa melupakan kodratnya.

Hal ini mendorong bermunculannya tokoh-tokoh Muslimah yang andil menegakkan Islam. Mereka berilmu, berakhlak mulia, taat beribadah, fasih membaca Alquran, bahkan turun ke medan perang membantu perjuangan kaum Muslimin.

Di medan perang, para mujahidah sebagai tim kesehatan yang bertugas mengobati para pejuang yang terluka. Ada juga yang bekerja di dapur menyediakan makanan, memberi minum para pejuang.

Dan, ternyata peran pejuang Muslimah ini tidak hanya di balik layar. Beberapa mujahidah angkat senjata dan berani melawan para musuh.

Seperti perang yang dipimpin Khalid bin Walid melawan pasukan Romawi. Tiba-tiba muncul seorang pejuang menunggang kuda ke tengah peperangan. Sosoknya sulit dikenali karena mengenakan pakaian jubah tertutup berwarna gelap.

Dan yang terlihat hanya garis mata nya yang tajam. Dari atas kuda, sosok pejuang itu dengan tangkas menyabetkan pedangnya ke arah musuh. Sekali sabetan tiga tentara Romawi tewas di tangannya.

Kehadiran pejuang misterius ini membangkitkan semangat tentara Islam yang nyaris dipukul mundur Romawi. Satu per satu musuh berhasil ditaklukkan Khaulah binti Azur, si sosok misterius yang mengenakan cadar.

Di saat yang sama, pasukan Muslim penasaran, siapakah sosok di balik cadar tersebut? Khalid bin Walid yang memimpin tentara Islam pun tidak mengenalinya.

Untuk menjawab rasa penasarannya, di tengah medan perang, kuda Khalid diikuti pejuang yang lain diarahkan mendekati posisi Khaulah. “Demi Allah yang telah melindungi seorang pejuang yang berani membela agama-Nya dan menentang kaum musyrik. Tolong buka wajahmu!” teriak Khalid.

Khaulah belum mau menjawab pertanyaan pimpinan perang karena masih banyak musuh yang harus dihadapinya. Khalid mengejar, lalu mengulangi pertanyaannya.

Khaulah pun menjawab, “Aku Khaulah binti Azur. Aku melihat kakakku, Dhirara, tertangkap. Aku datang untuk menolongnya, membebaskan kakakku yang berperang di jalan Allah.”

Para pejuang Islam terkejut mengetahui pejuang misterius itu ternyata seorang perempuan.

Kehadiran Khaulah di medan perang andil memenangkan perjuangan tentara Islam. Tapi, bagaimana nasib kakaknya karena sampai akhir peperangan keberadannya belum diketahui.

Teka-teki itu pun terjawab setelah Romawi mengajak damai. Dhirara ditawan di Homs, karena telah membunuh anak raja dan banyak tentara Romawi.

Khaulah tidak mau tinggal diam. Ia memohon kepada pimpinan perang untuk bergabung membebaskan kakaknya. Khaulah pun kembali berlaga di medan perang dengan jubah serba tertutup. Gema takbir dan keyakinan kuat akan pertolongan Allah berhasil menyelamat kan Dhirara.

‘Si Pedang Allah’

Jika gelar ‘Pedang Allah’ di kalangan pria disematkan untuk Khalid Ibnu Walid, di kubu perempuan julukan itu ditujukan pada Khaulah. Namanya tercatat sebagai mujahidah yang berani melawan musuh-musuh Islam.

Didukung fisiknya yang mumpuni, tubuh Khaulah tinggi, tegap, dan sangat gesit. Keberanian Khaulah bukan tiba-tiba, melainkan sejak kecil sudah belajar berkuda, menombak, dan berpedang.

Sang kakak, Dhirara bin Azur, adalah tempat ia belajar seni ber perang. Dhirara yang juga pasukan tentara Islam sering kali menceritakan kepada adiknya bagaimana kemenangan Islam di setiap medan perang. Dari pengalaman kakaknya tersebut, keinginannya berperang semakin kuat.

Selain berani di medan perang, Khaulah dikenal memiliki strategi jitu menghadapi musuh. Ini terbukti saat ia bersama sejumlah Muslimah menjadi tawanan Perang Sahura. Ketika itu, Khaulah bergabung sebagai tim kesehatan dan logistik. Sialnya, para mujahidah ini ditangkap tentara Romawi. Mereka dikurung berhari-hari di bawah pengawalan ketat pasukan musuh.

Walaupun tanpa senjata di tangan, Khaulah memberontak. Ia menyusun strategi agar bisa menyelamatkan diri bersama teman-temannya. Langkah awal yang dilakukan Khaulah ialah memotivasi mereka agar mau bebas sebelum dilecehkan para tentara musuh.

“Wahai para pejuang Allah, apakah kalian rela menjadi tukang pijit tentara Romawi? Apakah saudara semua mau menjadi hamba orang-orang kafir yang nyata-nyata dilaknat Allah?"

"Relakah saudara semua dihina, dilecehkan bangsa Romawi? Di mana harga diri kalian sebagai Muslimah?” sindir Khaulah membangkitkan semangat para mujahidah.

Para mujahidah pun sepakat dengan apa yang dilontarkan Khaulah. “Demi Allah sebagai Muslimah, kami mempunyai harga diri. Tapi, apa yang bisa kita lakukan tanpa senjata, tentara siap menyerang kalau kita memberi perlawanan,” kata seseorang.

Khaulah tidak kehilangan akal. Walaupun bukan senjata sesungguhnya, Khaulah mengajak para mujahidah memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya, seperti tiang-tiang dan tali kemah.

Hal yang penting, para mujahidin yakin pertolongan Allah pasti datang untuk melepaskan para pejuang Muslimah dari tentara Romawi. “Ingatlah, syahid lebih baik bagi kita daripada dihinakan kaum kafir!” tegas Khaulah.

Setelah menyusun strategi dan menentukan waktu yang tepat, Khaulah memimpin ‘pasukannya’. Sebelum bergerak Khaulah berpesan, “Wahai saudara-saudari, jangan sekali-kali gentar dan takut. Kita semua harus bersatu dalam perjuangan ini. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, ucapkan takbir!”

Khaulah dibantu Ifra binti Ghaffar, Umi binti Utbah, Salmah binti Zari, Ran’ah binti Amalun, dan Salmah binti Nu’man memukul pengawal dengan tiang hingga tewas. Satu tombak kini dalam genggaman Khaulah.

Sementara itu, mujahidah lain menyerang para pengawal yang berkeliaran di sekitar penjara. Rupanya para pengawal tidak siap menghadapi serangan para mujahidah yang membuat mereka lari tunggang langgang. Khaulah berhasil memimpin penyerangan dan membebaskan semua tawanan.

republika.co.id