Fiqhislam.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan secara resmi usulan penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah masa pandemi Covid-19. Surat yang dilansir Ahad (20/9) tersebut diteken Ketua Umum KH Said Aqil Siroj serta Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini.
Dalam edaran tersebut, PBNU meminta Komisi Pemilihan Umum, pemerintah, serta DPR menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. "Pelaksanaan pilkada, sungguh pun dengan orotokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya," tertulis dalam surat tersebut.
Sejumlah alasan dijadikan dasar penolakan tersebut. Di antaranya, mobilisasi massa sukar dihindarkan dalam tahapan pilkada. Fase pendaftaran lalu dinilai telah membuktikan hal tersebut. Selain itu, telah muncul juga klaster-klaster penularan terkait pilkada sejauh ini.
PBNU kemudian meminta pihak berwenanang untuk merealokasikan anggaran pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman nasional. Selain itu, PBNU juga menyinggung Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di Cirebon soal perlunya proses pilkada ditinjau ulang mengingat kemudharatan yang diimbulkan.
Kekhawatiran soal potensi penularan Covid-19 melalui pilkada muncul saat proses pendaftaran Pilkada 2020 yang berakhir 6 September lalu. Sebanyak 243 bakal calon kedapatan melanggar protokol kesehatan dan menimbulkan kerumumunan.
Selepas itu, diketahui juga sebanyak 63 orang bakal calon positif Covid-19. Selain itu muncul klaster-klaster penyelenggara pemilu yang menyebabkan sedikitnya 96 penyelenggara pilkada adhoc tertular Covid-19.
Belakangan, Ketua KPU Republik Indonesia Arief Budiman, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi, dan Ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir juga tertular Covid-19. Komisioner KPU Evi Novida Ginting yang sebelumnya ikut terjangkit saat ini telah sembuh.
Pendaftaran kemarin baru satu dari sejumlah tahapan Pilkada 2020 yang berpotensi memunculkan kerumunan. Selanjutnya ada tahap pengundian nomor urut pada 24 September, masa kampanye (26 September-5 Desember), pemungutan dan penghitungan suara (9 Desember), dan pengumunan hasil pilkada pada 9-15 Desember. [yy/republika]
PDIP
PDIP Nilai Penundaan Pilkada Munculkan Ketidakpastian Baru
Fiqhislam.com - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengatakan, bahwa pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak bisa ditunda. Partai berlogo kepala banteng moncong putih ini menilai kalau Pilkada serentak harus diselenggarakan pada tahun ini.
"Penundaan pilkada di tengah pandemi akan menciptakan ketidakpastian baru mengingat kepala daerah akan berakhir pada Februari," kata Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kristiyanto dalam keterangan, Ahad (20/9).
Hasto berpendapat, bahwa setiap pemimpin harus mendapat mandat dari rakyatnya guna menjalankan roda pemerintahan dengan legalitas yang sah meskipun di tengah pandemi. Dia mengatakan, wabah virus Covid-19 saat ini juga belum ada kepastian kapan akan berakhir.
Dia mengatakan, karena itu apabila pilkada ditunda maka kepala daerah harus diisi oleh pelaksana tugas atau Plt. Dia melanjutkan, sementara di dalam masa kritis tidak boleh ada jabatan-jabatan politik yang diisi Plt.
Hasto menegaskan, setiap pemimpin harus memiliki legitimasi dan legalitas kuat dari rakyat. Dia melanjutkan, Pilkada yang dijalankan pada 9 Desember ini akan memberikan kepastian adanya pemimpin yang kuat berdasarkan pilihan rakyat dan mempunyai program pencegahan Covid-19.
Dia mengatakan, calon pemimpin yang melewati tahapan Pilkada pasti menyerap aspirasi rakyat. Dengan kata lain, sambung dia, calon pemimpin itu digembleng dengan proses yang ketat dan diseleksi langsung oleh rakyat sebagai kuasa tertinggi dalam iklim demokrasi.
"Mereka calon pemimpin akan memahami betul seluruh skala prioritas untuk rakyat yang tengah menghadapi pandemi. Justru ketika pilkada itu tidak ditunda, itu akan memberikan arah kepastian bagi rakyat," katanya.
Belakangan, desakan penundan pilkada mengemuka di tengah terus melonjaknya penambahan jumlah kasus baru Covid-19. Salah satu desakan datang dari Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK).
"Saya sarankan (pilkada) ditunda dulu sampai beberapa bulan sampai dengan vaksin ditemukan dan vaksin ditemukan nanti langsung menurun itu (penyebaran virus Corona)," kata JK di Gedung Balai Pertemuan Polda Metro Jaya, Sabtu (19/9). [yy/republika]
Desakan Penundaan Pilkada
Ramai Desakan Penundaan Pilkada, Ini Respons KPU
Fiqhislam.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya ikut buka suara ihwal banyaknya desakan dari masyarakat yang meminta agar Pilkada Serentak 2020 ditunda terlebih dahulu. Penundaan itu menyusul situasi pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum terkendali.
Anggota Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, keputusan penundaan pilkada tidak dapat diambil oleh KPU saja, melainkan harus disetujui bersama pemetintah dan DPR. Opsi penundaan Pilkada 2020 karena Covid-19 pun telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020.
"Kita lihat dari aspek hukum sebetulnya sudah diatur mekanismenya di dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang kemudian diundangkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020. Maka, lembaga yang berwenang mengambil keputusan itu tentu tidak hanya KPU, tetapi KPU, DPR, dan Pemerintah," ungkap Raka saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (20/9/2020).
Dia menjelaskan, sebelum adanya kesepakatan bahwa pilkada ditunda, maka KPU tetap melaksanakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020. PKPU itu berisikan tentang tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan.
"Sikap KPU, sebelum ada perubahan tentang keputusan penundaan, maka KPU tetap melaksanakan PKPU Nomor 5 tahun 2020.Tahapan itu tentu dilaksanakan karena sebagai satu peraturan KPU, maka dia masih berlaku dan mengikat semua pihak," ujarnya.
Terhadap berbagai permasalahan, terutama aspek kesehatan, kata Raka, pihaknya sedang berupaya mencari cara agar koordinasi yang dilakukan semua pihak dapat berjalan secara maksimal dalam menjalankan protokol kesehatan. Menurutnya, hanya ada satu kata kunci dalam gelaran Pilkada 2020 di tengah pandemi, yakni patuhi protokol kesehatan.
"Ini tentu perlu dicarikan jalan keluarnya, terutama bagaimana cara koordinasi menjadi lebih efektif. Semua pihak berkoordinasi dan yang tidak kalah penting adalah komitmen untuk patuh pada protokol kesehatan. Jadi kata kuncinya ada di situ," tandasnya.
"Kepatuhan dan disiplin protokol kesehatan ini menjadi semakin urgen, harus dilaksanakan oleh semua pihak tanpa terkecuali, bukan hanya KPU sebagai penyelenggara saja," lanjutnya.
Dia menegaskan, langkah-langkah yang dijalankan KPU semata-mata hanya mematuhi peraturan hukum yang ada. Menurutnya, tidak ada niatan KPU untuk menambahkan atau bahkan mengurangi urgensi yang sudah diatur dalam kaidah hukum.
"Dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan. Ketika mekanisme hukumnya demikian karena kita negara hukum tentu itu yang menjadi pijakan KPU. Tidak boleh kemudian kami melebihi atau mengurangi apa yang memang menurut hukum sudah diputuskan dan diatur secara demikian," ujarnya. [yy/sindonews]