Fiqhislam.com - Polda Metro Jaya tidak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) terkait rencana aksi apel siaga Persaudaraan Alumni (PA) 212, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) ulama dan organisasi kemasyarakatan lainnya di Lapangan Ahmad Yani, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu, 5 Juli 2020.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar (Kombes) Pol Yusri Yunus mengatakan, pihaknya tidak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), namun polisi tetap akan menerjunkan personel untuk melakukan pengamanan.
Polisi juga akan menyiapkan skenario pengalihan arus yang akan diberlakukan secara situasional atau saat terjadi kepadatan kendaraan.
"Kalau kita pemberitahuan, pemberitahuannya sudah ada, tapi kita tidak mengeluarkan STTP, tapi kita siapkan pengamanan," ujarnya dikutip iNews.id Jakarta, Sabtu (4/7/2020).
Menurutnya, petugas tingkat polres yang akan terlibat dalam pengamanan karena peserta aksi hanya menggelar apel siaga. Selain itu juga tidak ada agenda keliling atau "long march.
Yusri juga meminta agar peserta aksi mengikuti aturan menyampaikan pendapat di muka umum dan protokol kesehatan yang ditetapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Mengingat, saat ini masih dalam masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi.
"Sekarang kan masih PSBB, protokol kesehatan wajib mereka ikuti, tidak ada ramai-ramai, bakar-bakar misalkan, pasti kita tangkap kalau begitu," ujarnya.
Yusri berharap tidak ada terjadi kembali aksi pembakaran atribut atau bendera salah satu partai politik. "Kita harap seperti itu karena itu cuma apel, mereka bukan demo. Hanya apel siaga. Itu kan apel siaga aja, kita pengamanan aja,"pungkasnya. [yy/okezone]
Usul PDIP Ganti Nama RUU HIP Ditolak PA 212
Usul PDIP Ganti Nama RUU HIP Ditolak PA 212
Fiqhislam.com - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pembahasannya kini ditunda di DPR, karena menuai polemik. PDIP mengusulkan nama RUU HIP, yang merupakan inisiatif DPR, menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Usulan perubahan nama tersebut secara tegas ditolak oleh PA 212.
"Tuntutan kita tetap sama batalkan dan cabut RUU HIP bukan diganti atau ditunda. Urusannya bukan nama tapi isinya. Kami juga menuntut agar inisiator RUU HIP segera diproses secara hukum," kata Ketua PA 212 Slamet Ma'arif kepada wartawan, Senin (29/6/2020).
Hal senada disampaikan GNPF Ulama. Sekjen GNPF Ulama Edy Mulyadi, yang juga koordinator aksi tolak RUU HIP pada 24 Juni 2020 lalu, menegaskan hal ini bukan perkara nama.
"Itu mau diganti nama apapun nggak soal, karena tetap kita tolak. Ini bukan soal nama yang diganti-ganti. Waktu itu kan bilang, oke deh ini Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 kita masukin deh, oke deh pasal trisila, ekasila kita cabut deh. Nggak ada urusan. Pokoknya kita tolak total karena itu adalah wadah-wadah komunisnya banyak di pasal-pasal lain," tutur Edy.
Edy mengatakan, tak perlu ada UU lain yang mengatur perihal Pancasila. Menurutnya, Pancasila cukup diatur dalam UUD 1945 saja.
"Nggak perlu juga ada UU seperti itu. Pancasila itu cukup di Pembukaan UUD 45. Nggak usah dibikin-bikin begitu lagi. Itu kalau kamu perhatikan UU itu mau menjadi konstitusi sendiri, mengatur macam-macam. Nggak boleh, semua kembali aja dasarnya pada UUD 45," kata Edy.
Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menyatakan sejak awal PDI Perjuangan hanya menginginkan hadirnya suatu undang-undang yang berfungsi sebagai payung hukum yang dapat mengatur wewenang, tugas, dan fungsi BPIP dalam melakukan pembinaan ideologi bangsa. Karena itu, Basarah mengusulkan RUU HIP diubah nama dan dilakukan penyesuaian terhadap sejumlah hal.
"Oleh karena itu, kami juga menginginkan agar nama RUU HIP dikembalikan sesuai nomenklatur awal dengan nama RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU-PIP) dan materi muatan hukumnya hanya mengatur tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan tentang pembinaan ideologi Pancasila serta tidak membuat pasal-pasal yang menafsir falsafah sila-sila Pancasila menjadi norma hukum undang-undang," kata Basarah dalam keterangannya seperti dikutip Jumat (26/6).
"Sebab, Pancasila sebagai sebuah norma dasar (grundnorm) yang mengandung nilai-nilai falsafah dasar negara bersifat meta-legal dan tidak dapat diturunkan derajat hukumnya menjadi norma hukum, apalagi mengatur legalitas Pancasila dalam sebuah hierarki norma hukum apa pun, karena sebagai sumber dari segala sumber pembentukan hukum, tidak mungkin legalitas Pancasila dilegalisir oleh sebuah peraturan perundang-undangan apa pun," tambahnya. [yy/news.detik]
Buntut RUU HIP, Apel Siaga Ganyang Komunis Digelar
Buntut RUU HIP, Apel Siaga Ganyang Komunis Digelar
Fiqhislam.com - Sejumlah kelompok terus mempersoalkan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP yang telah didrop pembahasannya oleh pemerintah dan DPR.
Mereka, mengatasnamakan Aliansi Nasional Anti-Komunis (Anak NKRI), akan menggelar 'Apel Siaga Ganyang Komunis' besok, Minggu, 5 Juli 2020.
"Apel ini bentuk kesiapsiagaan penuh para laskar, jawara, dan brigade menjadi pasukan terdepan dalam mengganyang komunis di NKRI ini," kata Ketua Media Center Persaudaraan Alumni atau PA 212 Novel Bamukmin melalui pesan singkat hari ini, Sabtu, 4 Juli 2020.
Dia menyatakan apel siaga ini buntut dari RUU HIP. Ia mengkalim RUU HIP mencabut Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang larangan ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
"Serta ingin mengganti Pancasila dengan trisila dan ekasila."
Novel Bamukmin menuturkan acara akan digelar di Lapangan Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pukul 13.00-16.00 WIB.
Dalam poster yang beredar disebutkan acara Apel Siaga Ganyang Komunis akan diisi dengan tausiah dan doa.
Menurut Novel Bamukmin, 5 ribu-10 ribu massa akan ambil bagian. Mereka datang dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Dalam demonstrasi serupa di depan Gedung DPR pada Rabu, 26 Jui 2020, massa membakar bendera PDIP dan "bendera PKI."
PDIP telah melaporkan pembakaran bendera tersebut ke kantor-kantor polres di DKI Jakarta dan ke Polda Metro Jaya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. telah menegaskan bahwa tak ada satu pun lembaga di Indonesia yang dapat mencabut Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966. [yy/tempo]
Artikel Terkait: