Fiqhislam.com - Sebuah buletin pekanan Amerika responsiblestatecraft.org menganalisis pemerintahan kabinet Presiden Jokowi usai mengalami perombakan.
Menurut analisa mereka perombakan kabinet Presiden Joko Widodo baru-baru ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat mengambil sikap yang lebih kritis terhadap China dan memperkuat dukungan pemerintah terhadap upaya Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di dunia, untuk mereformasi Islam dan memposisikan negara di Asia Tenggara sebagai pemain kunci dalam sebuah persaingan dengan Timur Tengah.
Jokowi mengisyaratkan langkah kebijakan potensial dengan penunjukan duta besar untuk Amerika Serikat Muhammad Lutfi sebagai Menteri Perdagangan dan pejabat Nahdlatul Ulama terkemuka Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama.
Penunjukan Lutfi terjadi dua bulan setelah kunjungan Mike Pompeo ke Jakarta pada Oktober atas undangan Nahdlatul Ulama di mana Menteri Luar Negeri memperluas akses Indonesia ke pengaturan tarif preferensial dan membuka pintu untuk perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat.
Pompeo menekankan dalam pembicaraan dengan Jokowi dan dalam pidatonya di konferensi NU perlunya untuk menantang klaim teritorial China di Laut China Selatan serta tindakan keras terhadap Muslim Turki di provinsi barat laut Republik Rakyat China dari Xinjiang.
Indonesia, negara demokrasi mayoritas Muslim terbesar di dunia sebelumnya mengekstradisi tiga orang Uighur ke China , kelompok etnis Turki yang dominan di Xinjiang, hanya beberapa hari sebelum kedatangan Pompeo.
Penunjukan Gus Yaqut sapaan akrabnya penting tidak hanya karena latar belakang NU yang menonjol, tetapi juga mengingat fakta bahwa dia adalah salah satu pemimpin sayap gerakan paling berpengaruh yang telah mengambil posisi keras dalam penindasan China terhadap orang Uighur.
Indonesia sampai saat ini berusaha mengambil langkah tegas dalam meningkatkan ketegangan antara Amerika Serikat dan China, termasuk penolakannya untuk berbicara tentang penderitaan orang Uighur. Indonesia selanjutnya berusaha menyeimbangkan penolakan klaim maritim China di perairan Indonesia dengan keinginan untuk menarik investasi China.
Seorang ulama dan pemimpin Gerakan Pemuda (GP) Ansor NU Gus Yaqut bersama KH Yahya Cholil Staquf, Katib Aam Syuriah NU, telah menjadi penggerak dalam mempromosikan konsep gerakan Islam yang humanis berdasarkan prinsip-prinsip toleransi, pluralisme, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Promosi konsep NU yang didukung pemerintah telah menempatkannya dalam persaingan langsung dengan upaya besar oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Turki, dan Iran untuk mengumpulkan kekuatan religius dengan menyebarkan interpretasi tentang keyakinan.
Ini adalah interpretasi bahwa dalam kasus Arab Saudi dan UEA menyatakan kepatuhan terhadap toleransi dan dialog antaragama, tetapi menuntut kepatuhan mutlak kepada penguasa. Turki dan Iran mendorong tafsir keimanan yang menganut unsur politik Islam serta pemerintahan yang otoriter.
Dalam salah satu pernyataan awalnya sebagai menteri, Gus Yaqut tampaknya menantang sayap NU yang lebih tradisional dengan menyatakan dalam sambutannya saat berkunjung ke sebuah gereja Protestan bahwa dia akan melindungi hak-hak Syiah dan Ahmadiyah, dua minoritas yang ada di sana, membela di tengah kekhawatiran meningkatnya intoleransi di Indonesia.
Tokoh senior di NU terus memandang Syiah, yang hanya 1,2 persen dari populasi Indonesia, sebagai salah satu ancaman domestik utama bagi keamanan nasional Indonesia dan roda kelima Iran. Demikian pula, banyak orang di NU menolak Ahmadiyah yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim karena sekte tersebut menolak untuk mengakui Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
“Saya tidak ingin anggota Syiah dan Ahmadiyah mengungsi dari rumah mereka karena keyakinan mereka. Mereka adalah warga negara (yang haknya) harus dilindungi. Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog yang lebih intensif untuk menjembatani perbedaan, ”kata Gus Yaqut, merujuk pada serangan terhadap minoritas.
Gus Yaqut bersama lima juta anggota GP Anshor telah memainkan peran kunci dalam menghadapi kelompok militan Islam, seperti Hizbut Tahrir dan Front Pembela Islam (FPI).
Pejabat GP Ansor bangga telah merekayasa situasi yang pada 2017 mengarah pada pelarangan Hizbut Tahrir, sebuah gerakan global kontroversial yang menyerukan pemulihan Kekhalifahan.
Pemerintah bulan lalu melarang FPI. Larangan itu datang beberapa pekan pemimpinnya Habib Rizieq kembali ke Indonesia dari pengasingan diri di Arab Saudi. Habib Rizieq ditangkap karena diduga melanggar aturan Covid-19.
Pelarangan Hizbut Tahrir dan FPI berdasarkan keputusan presiden yang memungkinkan pemerintah untuk melewati prosedur hukum dan mempercepat pelarangan kelompok yang dianggap sebagai ancaman keamanan.
Wakil Menteri Kehakiman Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa FPI dilarang karena sekitar 30 anggota kelompok tersebut telah dihukum atas tuduhan terorisme dan karena kelompok tersebut menentang ideologi negara Indonesia, Pancasila, yang menekankan persatuan dan keragaman.
Pelarangan FPI menyusul pemilihan KH Miftachul Akhyar, sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berpengaruh untuk menggantikan Ma'ruf Amin, Wakil Presiden Jokowi yang di masa lalu mengambil sikap keras terhadap minoritas dan mendukung posisi Muslim Sunni Ortodoks. Kiai Akhyar adalah Rais Aam di PBNU saat ini. [yy/Ratna Ajeng Tejomukti/republika]
Artikel Terkait: