Fiqhislam.com - Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet kembali menyoroti situasi HAM di Provinsi Xinjiang, China. Menurutnya, laporan tentang adanya pelanggaran HAM di sana tetap bermunculan.
“Laporan ini datang dari berbagai sumber. Tapi konsisten dengan praktik kami yang biasa, tim saya mencoba untuk memvalidasi materi yang kami terima tentang masalah ini,” kata Bachelet pada Rabu (9/12), dikutip laman Yeni Safak.
Menurut dia, saat ini kantornya masih melanjutkan komunikasi dengan Pemerintah China untuk membahas kunjungan ke negara tersebut. Dia berharap proses itu akan menghasilkan akses yang berarti bagi tim PBB.
Saat berbicara di Dewan HAM PBB pada Februari lalu, Bachelet menyerukan akses untuk penyelidikan kondisi HAM di China. “Kami akan berusaha menganalisis secara mendalam situasi HAM di China, termasuk situasi anggota minoritas Uighur,” katanya.
Dia menekankan akan tetap berupaya memperoleh akses untuk melakukan hal itu. “Kami akan terus meminta akses tak terkekang bagi tim terdepan dalam persiapan untuk kunjungan yang diusulkan ini,” ujar Bachelet.
Pada awal Oktober lalu, 39 negara anggota PBB menuntut China membuka akses bagi pengamat independen untuk mengunjungi Provinsi Xinjiang. Hal itu guna menyingkap kebenaran tentang dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di daerah tersebut.
"Kami menyerukan kepada Cina untuk mengizinkan akses langsung, bermakna, dan tidak terbatas ke Xinjiang bagi pengamat independen termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (Michelle Bachelet) dan kantornya, dan pemegang mandat prosedur khusus yang relevan," kata Duta Besar Jerman untuk PBB Christoph Heusgen pada 6 Oktober lalu.
Heusgen mengutip peningkatan jumlah laporan tentang pelanggaran HAM berat serta pembatasan ketat atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Xinjiang. "Pengawasan yang meluas secara tidak proporsional terus menargetkan Uighur dan minoritas lainnya serta lebih banyak laporan bermunculan tentang kerja paksa dan pengendalian kelahiran paksa termasuk sterilisasi," katanya.
Inggris, Amerika Serikat (AS), Swiss, Kanada, Jepang, dan Norwegia termasuk dalam 39 negara yang mendesak China membuka akses ke Xinjiang. Beijing selalu mengkritik negara-negara yang berusaha menyuarakan isu Xinjiang dan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur. Ia kerap menegaskan bahwa itu merupakan urusan dalam negerinya. [yy/republika]
Artikel Terkait:
Diizinkan Belajar Agama
-
Umat Islam di Xinjiang Diizinkan Belajar Agama
Fiqhislam.com - Umat Islam di Daerah Otonomi Xinjiang tidak dilarang belajar ilmu-ilmu agama, baik formal maupun nonformal.
"Saya dulu belajar agama kepada imam. Setelah lulus SMA, saya melanjutkan belajar agama di kampus XII (Institut Agama Islam Xinjiang) di kota kami," kata Tursunbay Meyimham selaku imam Masjid Tursun Tolha di Prefektur Yili, Rabu (9/12) malam.
XII yang berkantor pusat di Kota Urumqi memiliki beberapa cabang, termasuk di Yili. Selain belajar secara formal, dia menjelaskan bahwa ada pula umat Islam di daerahnya yang belajar agama secara daring melalui beberapa aplikasi yang sangat populer di China, seperti WeChat, Weibo, dan Tiktok.
"Semua materi pelajaran sesuai dengan petunjuk dari CIA (Asosiasi Islam China)," ujarnya.
Materi yang dipelajari pun, menurut dia, beragam, seperti membaca dan memahami isi Alquran, Hadits Shahih Bukhari-Muslim, dan ilmu pengetahuan tentang Islam lainnya.
Di kalangan remaja Muslim Xinjiang yang paling disukai adalah belajar qira'ah atau teknik membaca Alquran dengan suara yang indah dan merdu.
Muhtaram Sharip selaku imam Masjid Yanghang, Kota Urumqi, dalam kesempatan tersebut menambahkan bahwa atas bantuan pemerintah pada 2018, pihaknya telah menerbitkan buku-buku agama, termasuk Alquran dan Hadits, dalam beberapa versi bahasa setempat, yakni Uighur, Kazakh, Mongol, dan Salar, agar mudah dipahami kelompok etnis minoritas tersebut.
Umat Islam di Xinjiang tidak hanya Uighur, namun ada etnis-etnis di atas termasuk pula etnis Muslim Hui yang memang berasal dari daratan Tiongkok sendiri.
"Kami semua bisa merasakan kebebasan beribadah dan saling menghormati antaretnis," kata Tursunbay.
Masjid-masjid tua di wilayah paling barat China itu dibongkar untuk diperbaiki dan dimodernisasi agar aman dan nyaman digunakan.
"Masjid kami dibangun pada 150 tahun yang lalu. Pada September tahun ini direnovasi agar lebih modern dan bisa menampung 500 orang," kata Li Fengshen, imam Masjid Xiguan, Urumqi.
Demikian halnya dengan Masjid Jamik Hotan yang dibangun sejak 1848 sudah beberapa kali mengalami pemugaran. Sekarang di masjid sudah ada berbagai fasilitas, termasuk pemanas air dan pengatur suhu ruangan, demikian Abul Hasan Tusunniyaz selaku khotib Masjid Jami Hotan.
Dalam tiga pekan terakhir, Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang sudah tiga kali menggelar jumpa pers virtual terbatas untuk menanggapi berbagai isu yang berkembang.
Jumpa pers pada Rabu (9/12) malam agak berbeda dari biasanya karena turut pula dihadirkan beberapa pemuka agama, masyarakat biasa, dan pejabat pemerintah lokal untuk menjawab langsung pertanyaan dari para awak media.
Tidak hanya testimoni, Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang juga menyuguhkan beberapa video tentang aktivitas umat Islam dalam menjalankan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu dan di berbagai masjid dan kegiatan belajar-mengajar ilmu-ilmu agama. [yy/ihram]