Fiqhislam.com - Kelompok hak asasi terbesar bagi Muslim Amerika mengutuk laporan militer AS membeli data pribadi Muslim melalui beberapa aplikasi ponsel yang populer di kalangan komunitas Muslim. Salah satunya adalah aplikasi Muslim Pro.
Kelompok ini mendesak agar umat Muslim menghindari penggunaan aplikasi itu. Council on American-Islamic Relations/Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) menyerukan agar segera dilakukan penyelidikan atas temuan yang dilakukan majalah online Motherboard. Melalui laporan laman Vice Motherboard, militer AS disebut membeli data lokasi dari pengguna aplikasi tersebut.
"Kami menyerukan kepada Kongres melakukan penyelidikan publik menyeluruh yang menargetkan komunitas Muslim di sini dan di luar negeri, termasuk apakah data tersebut digunakan secara ilegal memata-matai Muslim Amerika," kata Direktur Eksekutif CAIR, Nihad Awad dilansir di Al Aaraby, Rabu (18/11).
Awad juga mendorong Muslim Amerika berhenti menggunakan aplikasi tersebut sampai ada kejelasan dan klarifikasi dari perusahaan. Mereka menuntut perusahaan benar-benar menjelaskan dan sepenuhnya menghentikan penggunaan data mereka oleh lembaga pemerintah.
Wakil Direktur CAIR Edward Ahmed Mitchell juga turut buka suara. Menurutnya, selama bertahun-tahun Muslim Amerika telah dimata-matai, diambil profilnya, dan ini bentuk lain dari diskriminasi pemerintah. Sementara, terlalu banyak warga sipil Muslim di luar negeri yang meninggal dalam serangan pesawat tidak berawak dan operasi militer bencana lainnya.
"Semua itu harus diakhiri. Sekarang," ujarnya.
Menurut Motherboard, aplikasi tersebut dibeli dan digunakan oleh Komando Operasi Khusus AS (USSOCOM), sebuah divisi militer yang bertanggung jawab atas kontraterorisme, pemberontakan, dan pengintaian khusus, untuk membantu operasi pasukan khusus di luar negeri. Seorang juru bicara USSOCOM, membenarkan pembelian data dalam aplikasi yang populer di kalangan Muslim itu. Ia menambahkan akses mereka ke perangkat lunak digunakan untuk mendukung persyaratan misi Pasukan Operasi Khusus di luar negeri.
"Kami secara ketat mematuhi prosedur dan kebijakan yang ditetapkan untuk melindungi privasi, kebebasan sipil, hak konstitusional dan hukum warga negara Amerika," kata USSOCOM.
Biasanya, pemerintah AS memerlukan surat perintah untuk mendapatkan data tersebut. Aplikasi Muslim Pro merupakan aplikasi Muslim paling populer. Aplikasi tersebut telah diunduh setidaknya 95 juta kali di 200 negara.
Aplikasi ini menyediakan beragam fitur seperti pengingat waktu sholat dan melihat arah kiblat. Menurut Motherboard, aplikasi Muslim Pro telah menjual data penggunanya ke platform pengumpul data lokasi X-Mode, yang kemudian menjualnya kepada kontraktor pihak ketiga yang kemudian memberikannya kepada militer AS.
Ketua komunitas Muslim Pro, Zahariah Jupary membantah laporan Motherboard. Menurutnya laporan Motherboard tidak benar. "Tidak benar dan tidak benar," kata Jupary dalam pernyataannya kepada Middle East Eye.
Jupary mengatakan aplikasi itu telah memutuskan semua hubungan dengan X-Mode. "Kami segera memutuskan hubungan kami dengan partner data kami, termasuk dengan X-Mode, yang dimulai empat minggu lalu," kata Jupary.
"Kami akan terus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa pengguna kami menjalankan keyakinan mereka dengan pikiran yang tenang, ini menjadi satu-satunya misi Muslim Pro sejak didirikan," ujarnya.
Setelah mengetahui laporan Motherboard, ribuan pengguna platform media sosial mengutuk aplikasi Muslim Pro. Beberapa juga telah menghapus aplikasi tersebut sebagai bentuk protes mereka. [yy/republika]
Artikel Terkait:
Militer AS Beli Data
Militer AS Beli Data Lokasi dari Aplikasi Muslim Pro
Fiqhislam.com - Militer AS dilaporkan membeli data lokasi jutaan Muslim dari seluruh dunia. Media daring Motherboard dari Vice melaporkan data ini diperoleh melalui aplikasi ibadah populer dan aplikasi kencan Muslim.
Situs teknologi ini melaporkan militer AS menggunakan dua metode terpisah untuk mendapatkan data lokasi pengguna, Senin (16/11). Metode pertama diketahui melibatkan produk bernama Locate X.
Dilansir di Middle East Eye, Selasa (17/11), Motherboard menyebut Komando Operasi Khusus AS (USSOCOM), cabang militer yang ditugaskan untuk kontraterorisme, penumpasan pemberontakan, dan pengintaian khusus ini membeli akses ke Locate X. Hal ini dilakukan untuk membantu operasi pasukan khusus di luar negeri.
Metode kedua untuk mendapatkan data melibatkan perusahaan bernama X-Mode. Perusahaan disebut memperoleh data lokasi langsung dari aplikasi, kemudian menjual data tersebut ke kontraktor, dan dengan ekstensi ditujukan ke militer AS.
Laporan tersebut menemukan Muslim Pro, sebuah aplikasi yang menginformasikan waktu sholat harian serta memberi tahu pengguna arah ke Makkah terkait lokasi mereka saat ini, mengirim data penggunanya ke X-Mode. Muslim Pro menyebut dirinya sebagai "Aplikasi Muslim Paling Populer!" yang di dalamnya termasuk bagian dan bacaan audio Alquran.
Menurut Google Play Store, aplikasi ini telah diunduh lebih dari 50 juta kali di seluruh dunia pada perangkat Android. Sementara di platform lain, termasuk Ios, situs Muslim Pro menyebut aplikasinya telah diunduh lebih dari 95 juta pengguna.
Beberapa pengembang aplikasi yang dihubungi Motherboard tidak mengetahui kepada siapa data lokasi pengguna mereka akan dikirimkan nantinya. Sementara itu, hingga berita ini dikeluarkan Muslim Pro masih belum memberikan komentar.
Aplikasi lain yang ditemukan Motherboard mengirim data pengguna ke X-Mode adalah Muslim Mingle. Aplikasi kencan ini telah diunduh pengguna lebih dari 100 ribu kali.
Motherboard mencatat pengguna aplikasi yang banyak terlibat dalam rantai pasokan data adalah kelompok Muslim. Hal ini patut dicatat, mengingat puluhan tahun AS mengumumkan perang di negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Afghanistan, Irak dan Pakistan.
Dalam sebuah pernyataan, Senator Ron Wyden mengatakan X-Mode menjual data lokasi yang diambil dari telepon AS ke pelanggan militer AS. "Dalam panggilan telepon September dengan kantor saya, pengacara untuk broker data X-Mode Social mengonfirmasi perusahaan tersebut menjual data yang dikumpulkan dari telepon di AS ke pelanggan militer AS, melalui kontraktor pertahanan," kata dia.
Ia melanjutkan, mengutip perjanjian non-disclosure, perusahaan tersebut menolak mengidentifikasi kontraktor pertahanan tertentu atau lembaga pemerintah tertentu yang membeli data tersebut. Dalam wawancara dengan CNN pada April, CEO X-Mode Joshua Anton, mengatakan perusahaan melacak 25 juta perangkat di Amerika Serikat setiap bulan.
Sebanyak 40 juta pelacakan dilakukan di tempat lain, termasuk Uni Eropa, Amerika Latin, dan kawasan Asia-Pasifik. Direktur Fakultas di Berkeley Center for Law and Technology, Chris Hoofnagle, mengatakan meskipun aplikasi tersebut menyertakan informasi tentang privasi dalam pengungkapannya, banyak pengguna akan terkejut dengan gagasan data mereka dijual ke militer AS.
"Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah konsumen dari layanan ini akan meramalkan penggunaan ini dan menyetujui jika secara eksplisit data mereka diminta," kata Hoofnagle.
Ia juga menyebut, pengguna yang bukan orang melek teknologi tidak akan menggunakan data militer dalam pikiran mereka. Hal ini juga tidak akan terpikirkan bahkan jika mereka membaca laporan terbuka. [yy/republika]