Fiqhislam.com - Presiden Rusia, Vladimir Putin, meminta kepada Azerbaijan untuk tetap merawar tempat suci miliki umat Kristen di beberapa bagian Nagorno-Karabakh. Permintaan tersebut, menurut Istana Kremlin, disampaikan langsung kepada Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev pada Sabtu (14/11).
Nagorno-Karabakh yang diperoleh Azerbaijan berdasarkan perjanjian gencatan senjata pada Selasa (10/11) akan mulai diserahkan dari kekuasan etnis Armenia. Rusia menjadi perantara yang mengamankan kemajuan teritorial Azerbaijan yang menjadi pertempur melawan pasukan etnis Armenia selama enam minggu terakhir.
Putin mengatakan kepada Aliyev bahwa ada gereja dan biara Kristen di daerah kantong, yang secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan tetapi dihuni oleh etnis Armenia. "Dalam hal ini, dia (Putin) menggarisbawahi pentingnya mengamankan keselamatan dan kehidupan gereja yang normal dari tempat-tempat suci ini," kata Kremlin.
Kremilin melaporkan, Aliyev mengatakan begitulah Azerbaijan akan bertindak. Permintaan ini muncul karena agama utama di Azerbaijan adalah Islam sedangkan Armenia penganut mayoritas Kristen.
Putin, Aliyev dan Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan, juga membahas aspek praktis dari gencatan senjata. Tidak jelas pembicaran kepala negara itu dilakukan secara bersamaan atau Putin menelepon Aliyev dan kemudian menelepon Pashinyan.
Sejak awal 1990-an, etnis Armenia telah memegang kendali militer atas seluruh Nagorno-Karabakh dan sebagian besar wilayah Azeri di sekitarnya. Mereka sekarang telah kehilangan sebagian besar daerah kantong itu sendiri serta wilayah sekitarnya. [yy/republika]
Artikel Terkait:
Pemimpin Oposisi Armenia Rencanakan Pembunuhan
Pemimpin Oposisi Armenia Ditangkap karena Rencanakan Pembunuhan PM Pashinyan
Fiqhislam.com - Pemimpin oposisi Armenia, Artur Vanetsyan, ditangkap atas tuduhan merencanakan pembunuhan Perdana Menteri Nikol Pashinyan.
Armenia mengalami kekacauan politik setelah Pashinyan meneken perjanjian damai dengan Azerbaijan terkait konflik di Nagorno-Karabakh yang ditengahi Rusia. Perjanjian damai itu dinilai merugikan Armenia.
Pengacara Vanetsyan, Lusine Sahakyan dan Ervand Varosyan, seperti dikutip dari AFP, Minggu (15/11/2020), mengatakan, klien mereka ditangkap pada Sabtu (14/11/2020) setelah dipanggil ke markas besar pasukan keamanan Armenia. Vanetsyan menjabat ketua Partai Tanah Air.
Mereka menyebut penahanan itu sebagai penganiayaan serta menyangkal tuduhan hendak membunuh Pashinyan.
Pashinyan menghadapi demonstrasi besar-besaran penuh kekerasan serta kritik keras dari oposisi sejak menandatangani perjanjian damai dengan Azerbaijan untuk mengakhiri pertempuran di Nagorny Karabakh. Pertempuran itu berlangsung sebulan lebih dan menewaskan lebih dari 2.000 tentara separatis Armenia yang menguasai Nagorno-Karabakh.
Separatis Armenia menghadapi kerugian besar dalam pertempuran dengan Azerbaijan karena tertinggal jauh dalam persenjataan dan jumlah pasukan.
Mereka menyerahkan sebagian besar wilayah Nagorno-Karabakh ke Azerbaijan. Sebenarnya, secara hukum internasional Azerbaijan merupakan pemilik sah Nagorno-Karabakh.
Vanetsyan yang juga mantan direktur dinas keamanan Armenia ditahan bersama tokoh oposisi senior lainnya saat unjuk rasa anti-pemerintah. Dia menyebut perdana menteri sebagai pengkhianat.
Badan keamanan Armenia mengumumkan penangkapan Vanetsyan pada Sabtu malam, selain dituduh merencanakan pembunuhan, juga kepemilikan senjata dalam jumlah besar.
"(Vanetsyan) Menyiapkan upaya pembunuhan terhadap seorang tokoh publik dan ingin merebut kekuasaan," bunyi pernyataan. [yy/inews]