Fiqhislam.com - Kepala sekolah sebuah sekolah dasar di Spandau, Berlin mengatakan kepada media bahwa seorang murid Muslim berusia 11 tahun mengancam akan memenggal kepala gurunya setelah membela pembunuhan terhadap Samuel Paty di Prancis.
Samuel Paty adalah seorang guru sekolah yang dibunuh setelah menunjukkan karikatur yang menghina Nabi Muhammad kepada murid-muridnya pada pelajaran mengenai kebebasan berbicara. Paty dipenggal oleh ekstremis Islamis Chechnya di pinggiran utara Paris pada 16 Oktober.
Karina Jehniche, sang kepala sekolah, memberi tahu Der Tagesspiegel bahwa siswa lainnya kaget ketika mereka mendengar murid itu memberi tahu gurunya: "Saya akan melakukan hal yang sama dengan Anda seperti yang dilakukan anak laki-laki itu kepada guru di Paris."
Murid tersebut sebelumnya juga diduga terlibat dalam insiden lainnya saat sekolah mengadakan momen mengheningkan cipta untuk mengenang Paty. Dia dilaporkan memberi tahun temannya bahwa tidak apa-apa membunuh seseorang yang "menghina Nabi".
Seorang imam yang hadir dilaporkan segera berbicara dengan anak tersebut, dan sekolah mengirimnya pulang setelah percakapan dengan orang tuanya, demikian diwartakan RT.
Berita itu muncul seminggu setelah para pejabat di Prancis mengatakan bahwa anak-anak berusia delapan tahun sedang diselidiki karena membela pembunuhan Paty di upacara peringatan.
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengatakan bahwa 66 penyelidikan telah terbuka terkait dugaan dukungan terorisme setelah pembunuhan Paty.
Kematian Paty telah memicu tindakan keras pemerintah Prancis terhadap ekstremisme Islam, dan Presiden Emmanuel Macron membela penerbitan kartun Nabi Muhammad.
Beberapa negara Muslim, khususnya Turki, telah mengkritik Prancis dan negara-negara Eropa lainnya karena menolak mengecam kartun tersebut, yang mereka yakini merupakan penghinaan. [yy/okezone]
Artikel Terkait:
4 Murid Muslim Ditahan
Detik Menegangkan Saat 4 Murid Muslim Ditahan Polisi Prancis
Fiqhislam.com - Empat anak sekolah dasar diteror dan diinterogasi selama lebih dari 11 jam penahanan oleh polisi Prancis atas tuduhan palsu membenarkan terorisme. Hal ini disampaikan orang tua anak-anak tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency, orang tua dari empat anak yang tinggal di Albertville, tenggara Prancis, mengecam penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan pada Kamis (5/11) lalu. Semua anak berusia 10 tahun, tiga keturunan Turki dan satu keturunan Aljazair.
"Sebelum pukul 07.00 pagi, polisi mengetok (pintu) sedemikian rupa hingga hampir mendobraknya. Sepuluh polisi bermasker membawa senjata besar memasuki rumah," kata sang ayah, Yildirim, dilansir dari laman 5Pillarsuk pada Kamis (12/11).
Polisi membangunkan putri Yildirim yang berusia 10 tahun dan memberi tahu bahwa mereka akan membawanya ke kantor polisi. "Mereka memotret dekorasi dinding, mencoba mencari petunjuk dengan menggeledah seisi rumah," kata dia.
Kemudian saat di kantor polisi, mereka diberikan sejumlah pertanyaan. "Mereka banyak bertanya kepada kami tentang keyakinan agama kami, apakah kami menunaikan shalat, dan lainnya. Mereka menanyai kami berdua, saya dan istri saya, selama dua jam," ucapnya
"Terlepas dari pertanyaan tentang agama kami, mereka menanyakan pendapat kami tentang hubungan tegang antara (Presiden Prancis Emmanuel) Macron dan (Presiden Turki Recep Tayyip) Erdogan," kata sang ayah. Dia menyebut pertanyaan itu tidak sopan dan provokatif.
"Seperti yang mereka lakukan di pagi hari, mereka jelas ingin meneror kami dengan keributan dan kekerasan yang berlebihan. Saya tidak mengerti, 10 petugas polisi bersenjata lengkap, mencoba, tampaknya, mendobrak pintu kami, datang dan menjemput putri saya yang berusia 10 tahun, yang masih tertidur," lanjut dia.
Menurut sang ayah, penahanan kemungkinan berkaitan dengan diskusi kelas tentang kartun Nabi Muhammad, dan pembunuhan bulan lalu terhadap seorang guru yang mempertunjukkan kartun tersebut di kelas.
Putrinya kemungkinan mengatakan sesuatu tentang pembunuhan itu. Namun menurut sang ayah, dia baru berusia 10 tahun dan dia tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu.
"Ini bukanlah hal-hal yang kami bicarakan di rumah. Semua orang tahu keluarga kami setelah 20 tahun tinggal di sini. Sekolah sangat mengenal kami, kami memiliki beberapa anak yang bersekolah di sekolah yang sama. Jika ada kekhawatiran tentang radikalisasi dengan kami, semua orang akan tahu," ucapnya.
Gadis berusia 10 tahun yang ditahan polisi selama 11 jam, menyebutkan pernyataan kepada Anadolu Agency ketika gurunya menanyakan pendapatnya tentang pembunuhan guru tersebut.
"Saya mengatakan kepadanya bahwa saya menyesal dia meninggal tetapi tidak akan terjadi apa-apa jika dia tidak melakukannya, menunjukkan kartunnya," kata dia. "Guru saya baru saja menanggapi. 'Oke, saya mengerti,' dan hanya itu," ucapnya.
Saat ditahan lama oleh polisi, anak perempuan tersebut mengaku ketakutan. Dia mengatakan pengalaman itu membuatnya begitu terguncang.
"Saya sangat takut. Ini pertama kalinya hal seperti ini terjadi pada saya. Polisi bertanya apakah saya pergi ke masjid, dan saya memberi tahu mereka bahwa saya pergi ke sana pada hari Sabtu dan Ahad," kata dia.
Sementara itu, Polisi Albertville menyatakan, mereka tidak dapat memberikan informasi tentang penahanan keempat anak tersebut. [yy/republika]