Fiqhislam.com - Pelaku penembakan Masjid di Christchurch, Selandia Baru, Brenton Tarrant, menuai kontroversi baru di masyarakat. Publik silang pendapat tentang apakah video interogasi pelaku oleh lembaga negara mesti disiarkan atau tidak.
Saksi insiden Christchurch, Yama Nabi tak ingin interogasi pelaku muncul lagi. Dia merasa trauma dengan insiden yang menewaskan 51 orang pada 15 Maret di Masjid Al Noor itu.
Yama selamat karena telat tiba di Masjid untuk beribadah. Ia tak termasuk korban dari peluru yang ditembakkan membabi buta. Namun ayahnya, Haji-Daoud Nabi tewas dalam insiden tersebut.
Yama menganggap video interogasi pelaku sebaiknya diberikan hanya pada keluarga dan korban insiden itu. Ia tak ingin video tersebut tersebar karena takut ada yang terinspirasi melakukan hal serupa.
"Kami tak ingin ada kekerasan lagi di negara mana pun entah Anda Hindu, Muslim atau Yahudi. Anda tahu, kami tak ingin hal ini terjadi di mana pun," kata Yama dilansir dari Radio New Zealand .
Di sisi lain, saksi lainnya sekaligus korban selamat Feroze Ditta menganggap video interogasi pantas disiarkan. Sekjen Asosiasi Musim Canterbury itu selamat karena berada di bawah tumpukan korban tewas.
"Akan sangat bagus mengetahui apa yang memotivasinya. Kenapa dan siapa di belakangnya, dari sana kita paham apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana dia melakukannya," ujar Ditta.
Pendapat Ditta didukung oleh anggota komunitas Muslim Christchurch, Tony Green. Menurutnya, tragedi itu perlu dipahami agar tak terulang lagi.
"Ada situasi dimana hidup Selandia Baru menyenangkan dan kejadian ini mestinya tak merusak tatanan masyarakat. Tapi sayangnya kebencian muncul serius disini," keluh Green. [yy/republika]
Polisi Diduga tak Serius Tanggapi Penembakan Christchurch
Polisi Diduga tak Serius Tanggapi Penembakan Christchurch
Fiqhislam.com - Royal Commission Selandia Baru mengungkapkan telah mewawancarai pelaku insiden Christchurch yang membunuh 51 orang di Masjid Al Noor dan Linwood. Sebagian kelompok Muslim meminta wawancara itu diungkap ke publik sebagai laporan akhir.
Pelaku insiden Christchurch diduga sempat memberi pesan ancaman pada masjid sebelum penembakan. Sayangnya, ancaman ini diduga tak ditanggapi serius kepolisian.
Dewan Muslimah Selandia Baru (IWCNZ) menyampaikan pernah melaporkan ancaman seseorang ke polisi pada Februari 2019. Ancamannya berupa ingin membakar Alquran di luar Masjid Hamilton pada 15 Maret.
IWCNZ menelusuri posisi si pria pengancam berada di Christchurch saat itu. Tapi polisi setempat membantah klaim itu. IWCNZ meyakini insiden Christchurch harusnya bisa dicegah jika polisi menindaklanjuti laporan ancaman pada masjid dan kelompok Muslim.
"Kemungkinan terbaiknya mungkin (polisi) tidur saat kerja atau kemungkinan terburuknya memang sengaja menghiraukan laporan kami," kata kepala hubungan pemerintah IWCNZ, Aliya Danzeisen dilansir dari Stuff, Selasa (7/7).
IWCNZ meminta secara resmi pada Royal Commission Selandia Baru agar wawancara pelaku insiden Christchurch terungkap ke publik. Sayangnya, polisi tak mau berkomentar soal itu.
"Jika hal ini bisa terjadi di negara paling terbuka dan transparan di dunia, maka semua komunitas dalam kondisi terancam," ujar Danzeisen.
Danzeisen meyakini insiden Christchurch mestinya bisa dicegah jika polisi bekerja maksimal. Ia kecewa dengan sikap apatis polisi terhadap ancaman ke komunitas Muslim.
"Kami juga memperingati bahaya media sosial yang sudah di luar kendali," ujar Danzeisen. [yy/republika]
Artikel Terkait: