Fiqhislam.com - Sebanyak 500 ribu Muslim Cham di Kamboja dibunuh di era Khmer Merah pada 1970-an. Namun, benarkah pembunuhan Muslim Cham termasuk genosida?
Muslim Cham, yang umumnya Muslim Syiah, tewas selama era mengerikan Khmer Merah pada 1975-1979. Diperkirakan ada 500 ribu Muslim Cham menjadi korban dari 1,7 juta total korban selama periode itu. Ada yang dieksekusi, kelaparan, dan meninggal karena penyakit.
Dalam beberapa bulan terakhir, seperti dilansir Aljazirah, Kamis (19/11), pengadilan PBB telah mengadakan dengar kesaksian atas dakwaan genosida kepada pemimpin ideologis Khmer Merah, Nuon Chea, serta mantan kepala negara Khieu Samphan. Pengadilan menyatakan, dua pria tersebut bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan memvonis mereka penjara sumur hidup pada Agustus 2014 lalu.
Namun, Nuon Chea yang dikenal dengan julukan "Saudara Nomor 2" dan Khieu Samphan mengajukan banding atas perkara ini. Pengadilan lanjutan pekan ini digelar untuk memutuskan banding Nuon Chea yang meminta pengadilan membatalkan putusan. Sementara, Khieu Samphan menuntut hukumannya dibatalkan dan ia dibebaskan.
Salah seorang saksi yang memberatkan keduanya adalah Sates No (57 tahun). Para tentara Khmer, menurut Sates, pernah mengikat 300 perempuan.
"(Para prajurit) menanyakan apakah kami Khmer atau Cham? Jika ada yang menjawab Cham, mereka akan diambil dan semua yang mengaku Cham dikawal dan menghilang," ujar Sates yang mengaku masih terbayang-bayang pemndangan mayat-mayat yang mengambang di sungai.
Selama ini, dokumen yang digunakan jaksa untuk dakwaan adalah perintah yang dikeluarkan pemerintah Khmer Merah pada 1979. Saat itu, Cham dinyatakan bukan lagi bagian dari etnis di Kampuchean (Kamboja) sebab tanah tersebut telah menjadi milik Khmer.
"Oleh karena itu, bangsa Cham, bahasa, adat istiadat, dan keyakinan agama harus segera dihapuskan. Mereka yang gagal mematuhi perintah ini akan mendapat konsekuensi atas segala tindakan yang bertentangan dengan Angkar (komando tinggi Khmer Merah)," ujar surat perintah.
Namun, lanjutan pengadilan mengenai perkara Khmer Merahpada pekan ini mendapat kritikan dari kelompok pemantau hukum. Asian International Justice Initiative, the East-West Center, dan WSD Handa Center for Human Rights and International Justice di Stanford University mempertanyakan pertimbangan hukum di balik kasus ini. Mereka menilai pengadilan PBB gagal menjamin aspek paling dasar dari sidang pidana, yaitu barang bukti yang diajukan secara sistematis.
Laporan ini disambut baik pengacara Nuon Chea, Victor Koppe. Ia percaya, tuduhan genosida dilayangkan semata karena adanya tekanan kuat ke pengadilan untuk mengeluarkan dakwaan tersebut.
Namun, Koppe berpendapat bahwa genosida tak terjadi. Pembunuhan Cham, menurutnya, hanya berlangsung di tingkat lokal setelah munculnya pemberontak Cham di dua desa di Kamboja Timur pada September dan Oktober 1975. Kedua pemberontakan tersebut, menurut Koppe, berhasil dipadamkan tentara Khmer Merah.
Kepala proyek Sejarah Lisan Cham Farina So menilai, rezim Khmer Merah tampaknya memang berniat menghilangkan Cham.
"Tentu saja, Cham bukan satu-satunya kelompok yang menderita selama rezim, tapi motif terhadap mereka tampak cukup berbeda," ujar Farina So.
Menurutnya, meski Khmer Merah melarang praktik keagamaan secara umum, rezim secara khusus melarang penggunaan dialek Cham, menghancurkan masjid, dan membunuh mufti besar yang merupakan pemimpin komunitas Muslim Kamboja. Ini menunjukkan bahwa Khmer memperlakukan Cham sebagai musuh mereka.
Jadi, benarkah pembunuhan itu layak digolongkan genosida? Kita mungkin harus menanti proses peradilan banding yang berlangsung pekan ini. [yy/republika]