pustaka.png
basmalah2.png


19 Rabiul-Awwal 1445  |  Rabu 04 Oktober 2023

Praktek Perdukunan Semakin Menggejala

Praktek Perdukunan Semakin MenggejalaFiqhislam.com - Masyarakat semakin permisif dengan gejala-gejala perdukunan. Banyak cara untuk bisa meraih sukses dan terkenal. Namun, tak sedikit di antara mereka yang ingin mencapai impian harus menempuh jalan pintas.

Menyambangi 'orang pintar' atau dukun hingga melakukan pesugihan seakan menjadi sikap permisif yang dilakukan oleh sebagian orang yang berpikir instan.

Perseteruan Adi Bing Slamet dan Eyang Subur setidaknya telah menyiratkan kepada publik bahwa 'jalan pintas' untuk meraih sukses dan terkenal sungguh benar adanya. Adi pun sempat berkonsultasi ke Polda Metro Jaya dan melayangkan surat kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait perilaku Eyang Subur.

Walau dituduh demikian, pihak Eyang Subur menampik. Perang pernyataan di media pun mengemuka dengan berbagai bantahan dari murid Eyang Subur. Intinya, para murid itu menegaskan semua klaim sepihak dari Adi tidak benar.

Terkait hal tersebut, sejumlah aktivis mahasiswa Muslim menilai, kondisi yang ada sekarang ini merupakan cerminan dari masyarakat sakit.

''Di sana logika dan akal sehat sudah tidak lagi berjalan. Bagaimana mungkin untuk menjadi terkenal, sukses, punya jabatan, harus menggunakan paranormal. Ini sebuah indikasi atau cerminan dari masyarakat yang sakit,'' kata Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Muhammad Ilyas.

Alumnus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta ini mengatakan, meminta pendapat kepada orang bijak dan berpengetahuan tidak ada yang salah. Namun, ketika sudah meminta hal lain, seperti melapangkan kesuksesan atau harta, merupakan  sesuatu yang sangat keliru.

Ilyas menyatakan, cara semacam ini sebenarnya sudah cukup menggejala di panggung politik Tanah Air. Tak sedikit pejabat publik di negeri ini yang meminta bantuan paranormal. "Bahkan, jika dipadankan dengan perilaku korupsi yang marak di negeri ini, kategorinya sudah sama. Yakni, sama-sama merusak,'' ujarnya.

Lantas, solusi apa yang dapat diberikan kaum muda terhadap gejala semacam ini? Ilyas menegaskan, revolusi sosial dengan melakukan perubahan sikap dan perilaku menjadi hal paling mendasar yang harus ditempuh. ''Budaya bekerja keras juga harus mulai ditumbuhkan di kalangan kaum muda untuk bisa mengikis sikap-sikap semacam itu,'' ungkapnya.

Sementara itu, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Subairi Muzaki mengatakan, kondisi yang terjadi di negeri ini merupakan cerminan telah terkikisnya nilai kebaikan di tengah sistem sosial bermasyarakat. Ia tak sepakat jika masyarakat dianggap sedang sakit.

''Rasanya tidak fair juga. Karena situasi yang terjadi ini tak lepas dari tidak adanya keteladanan dari para pemimpin di negeri ini. Akhirnya, yang terjadi adalah krisis nilai,'' katanya menjelaskan.

Subairi sudah kerap mendengar bagaimana para petinggi negeri ini harus menggunakan jasa dukun untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia menyebut di antaranya mantan presiden Soeharto yang cukup dikenal dengan beragam sikap klenik.

Padahal, kata dia, para pendahulu negeri ini ketika membangun bangsa sangat mengedepankan nilai dan etos kerja yang tinggi.

Ia juga mengatakan, rusaknya tata nilai yang terjadi di masyarakat tak lepas juga dari semakin lemahnya peran tokoh maupun organisasi masyarakat (ormas) agama untuk memainkan peran mendidik. ''Akhirnya, seperti yang terjadi sekarang. Kita sudah begitu permisif terhadap hal-hal semacam ini,'' katanya.

Kurangnya pemahaman keislaman

Pemahaman keislaman di tengah masyarakat Indonesia masih sangat minim. Lalu, secara sosiologi historis, Indonesia memiliki keeratan dengan berbagai hal yang bersifat klenik.

''Hal itulah yang kemudian membuat banyak orang di Indonesia, termasuk di dalamnya dari kelompok kelas menengah, yang mengambil jalan pintas dengan mendatangi dukun atau orang pintar,'' kata motivator dan penulis buku Islam, Muhsinin Fauzi.

Mengenai hal klenik yang erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, Muhsinin menjelaskan, hal itu tecermin dari tumbuhnya keyakinan dinamisme dan animisme dari para leluhur. Pada saat yang sama, pemahaman keislaman juga masih belum maksimal.

Hal tersebut tecermin dari pelajaran agama di sekolah-sekolah formal yang sangat terbatas. Dari tingkat sekolah dasar hingga atas, Muhsinin mengatakan, waktu yang diberikan tak sampai satu jam per pekan. Begitu juga saat di perguruan tinggi yang hanya memberikan beban tiga SKS selama empat tahun.

''Itu artinya, kesempatan untuk mendalami agama di masyarakat kita masih sangat sempit. Kalau di luar tidak menambah, praktis mereka tidak punya tambahan ilmu tentang agama. Sehingga, tidak heran jika kemudian banyak orang yang terjebak dengan mendatangi paranormal dan sejenisnya,'' kata pria yang juga aktif mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) ini.

Selain kedua faktor tadi, Muhsinin juga melihat serbuan pemahaman materialistis juga menjadi penyebab lain. Sekarang ini, tren pemberhalaan terhadap benda semakin tinggi. Hal itu telah merasuk hampir ke seluruh lini kehidupan masyarakat Indonesia. ''Kalau kita melihat sekarang, semuanya selalu berujung pada benda dan duit. Inilah yang membahayakannya.''

Untuk mengeliminasi hal tersebut, ia melihat perlu adanya keterlibatan banyak pihak. Masyarakat dan ulama perlu aktif berperan. Namun sayangnya, kata dia, dakwah sekarang ini masih terjebak pada proses penyampaian saja.

''Masih belum menuju kedalaman ilmu. Kalau kedalaman ilmu itu sudah dicapai, maka tahap berikutnya bagaimana mengubahnya menjadi perilaku. Inilah kerja keras kita semua,'' ujarnya.

Muhsinin menjelaskan, untuk hal semacam ini perlu dua metode dakwah yang dilakukan. Dakwah tersebut dapat dilakukan secara kultural dan struktural. Untuk kultural, bagaimana mengubahnya menjadi perilaku.

Sedangkan untuk dakwah struktural dilakukan melalui produk perundang-undangan. ''Dengan adanya sinergi dua hal ini, insya Allah bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasi hal ini,'' katanya.

yy/republika.co.id