Kebangkitan Islam Melalui Generasi Baru
Fiqhislam.com - Tahun 1969, menyusul kekalahan Arab dalam Perang Tahun 1967, Dr. Yusuf Qaradhawi menulis satu buku berjudul: ”Dars an-Nukbah ats-Tsaniyah: Limadza Inhazamnaa wa Kaifa Nantashir.” (Diterbitkan di Indonesia tahun 1988 oleh Pustaka Bandung dengan judul: ”Mengapa Kita Kalah di Palestina?). Dalam bukunya, al-Qaradhawi menegaskan: ”Satu hal yang amat saya tegaskan di sini adalah keharusan kita untuk kembali kepada Islam. Islam yang benar. Islam yang menyeluruh yang mengembalikan diri kita – sebagaimana yang dulu pernah terjadi – menjadi sebaik-baik ummat ang pernah dihadirkan untuk seluruh ummat manusia. Tanpa kembali kepada Islam, maka nasib yang akan kita alami, sungguh amat mengerikan, dan masa depan pun akan demikian gelap gulitanya.”
Fakta sejarah menunjukkan kekuatan Yahudi Istrael bukan hal mistis. Yahudi telah bekerja keras untuk mencapai posisi sekarang. Tokoh Zionis Theodore Herzl adalah seorang “penulis skenario”, “sutradara”, sekaligus “aktor utama” Gerakan Zionis modern yang berujung kepada terbentuknya negara Israel pada 14 Mei 1948. Kegigihan Herzl dalam usaha mendirikan negara Yahudi perlu dicatat. Meskipun ditentang mayoritas Yahudi ketika itu, ia tetap berjuang mewujudkan sebuah negara Yahudi dalam tempo 50 tahun setelah Kongres Zionis I, 1897. Dan itu terbukti 50 tahun 3 bulan kemudian, berdirilah negara Yahudi Israel. Ingat kata-kata Sayyidina Ali r.a.: “Al-Haqqu bilaa nizhaamin yaghlibuhul baathilu binizhaamin.” Karena itu, untuk mengalahkan Yahudi, kaum Muslim harus bekerja lebih keras dari apa yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi.
Jika muslim kalah dalam soal Palestina, kata Mahathir Mohammad, maka mereka harus melakukan introspeksi. “We cannot fight them through brawn alone. We must also use our brains (kita tidak dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan fisik semata. Kita juga harus menggunakan akal kita),” kata Mahathir. Lobi-lobi Zionis di Kongres AS bisanya juga diliput secara terbuka oleh media massa AS dan Israel. Bahkan, hubungan khusus antara New Christian Right (NCR) di AS dengan Yahudi sayap kanan (Israeli Right Wing) juga merupakan hal yang terbuka dan sering terespose media massa. Fakta dan data tentang Yahudi ini perlu dipahami benar oleh kaum Muslim.
Soal kejahatan Zionis Yahudi, juga amat sangat gamblang. Setiap hari, dunia disuguhi tontonan kejahatan Israel di Palestina. Kini, dokumen-dokumen Yahudi yang mengungkap kerjasama Zionis-Nazi banyak diungkap. Dalam bukunya, Zionist Relations with Nazi Germany (1979), Faris Glubb, seorang sastrawan dan sejarawan Inggris mencatat, jika soal hubungan Nazi-Zionis belum menjadi perhatian dunia, ini adalah akibat suksesnya propaganda Zionis. Tahun 1955, dalam KTT Asia-Afrika di Bandung, Zionis sudah dicap sebagai “the last chapter in the book of old colonialism, and the one of the blackest and darkest chapter in human history”.
Karena bukan mitos itulah, maka Mahathir ingin menegaskan, bahwa Yahudi bukan tidak bisa dikalahkan: “It is surely time that we pause and think. If We had paused to think, than We could have devised a plan, a strategy that can win us final victory.” Jadi, kata Mahathir, sekarang saatnya kita berpikir dengan serius dan merancang strategi untuk dapat mengalahkan Yahudi dan meraih kemenangan.
Bagaimana cara bangkit?
Beberapa waktu lalu buku Hakadza Zhahara Jīlu Shalahuddin wa Hakadza ’Ādat al-Quds karya Dr. Majid Irsan al-Kilani diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Judulnya: “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina.” Buku ini menarik, terutama dari sudut pandang proses kebangkitan sebuah peradaban. Penerjemah buku ini, Ust Asep Sobari Lc, alumnus Universitas Islam Madinah, menceritakan, bahwa dosen pembimbing mereka, Dr. Ghazi bin Ghazi al-Muthairi, adalah yang mengenalkan dan meminta mereka membaca buku ini.
Buku ini menceritakan bagaimana kaum Muslimin mampu bangkit dari keterpurukan selama sekitar 50 tahun. Bagaimana umat Islam mampu merebut kembali Jerusalem, setelah selama 88 tahun (dari tahun 1099-1187), Kota Suci itu dikuasai oleh pasukan Salib. Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zanki, ayah Nur al-Din Zanki. Dua tahun sesudah itu, Zanki wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187.
Tahun 1095 Perang Salib dimulai. Tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Meskipun memiliki negara dan pemimpin (khalifah), umat Islam berada dalam kondisi yang sangat terpuruk. Sekitar 88 tahun kemudian tampillah pahlawan Islam terkenal, Shalahuddin al-Ayyubi, yang berhasil membebaskan kembali al-Aqsha dari kekuasaan pasukan Salib, pada tahun 1187. Buku ini memaparkan data-data, bahwa Shalahudin bukanlah pemain tunggal yang ”turun dari langit”. Tetapi, dia adalah produk sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat. Dua ulama besar yang disebut berjasa besar dalam menyiapkan generasi baru itu adalah Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani.
Menurut Dr. Majid Irsan al-Kilani, dalam melakukan upaya perubahan umat yang mendasar, al-Ghazali lebih menfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah, al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh. Menurut al-Ghazali, masalah yang paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum Muslim yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak menolak perubahan pada aspek politik dan militer. Terdapat catatan sejarah, bahwa al-Ghazali pernah berusaha menemui Ytusuf bin Tasyfin, sultan kerajaan al-Murabithun di Maroko, ketika mendengar tentang keadilannya. Al-Ghazali ingin mengajaknya untuk membangkitkan dunia Islam kembali. Tetapi, sesampainya di Iskandariyah, al-Ghazali mendengar kematiannya, sehingga dia mengurungkan perjalanannya ke Maroko. Hanya saja, lebih dari itu, tetapi yang ditekankan oleh al-Ghazali adalah perubahan yang lebih mendasar, yaitu perubahan pemikiran, akhlak, dan perubahan diri manusia itu sendiri. Untuk itu, al-Ghazali melakukan perubahan dimulai dari dirinya sendiri dahulu, kemudian baru mengubah orang lain.
Kata penulis buku ini: ”Al-Ghazali lebih menfokuskan usahanya untuk membersihkan masyarakat muslim dari berbagai penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan pentingnya mempersiapkan kaum Muslim agar mampu mengemban risalah Islam kembali sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok bumi dan pilar-pilar iman dan kedamaian dapat tegak dengan kokoh.
Melalui kitab-kitab yang ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara mendalam, al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenai pertama dari umat adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Oleh sebab itu, kitabnya yang terkenal dia beri nama Ihya’ Ulumuddin. Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dalam bentuk ’qital’ dengan baik. Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menekankan pentingnya masalah ilmu dan akhlak. Ia membuka Kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi” dan sangat menekankan pentingnya aktivitas ’amar ma’ruf nahi munkar’.
Aktivitas “amal ma’ruf dan nahi munkar”, kata al-Ghazali, adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar’ hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa. Begitu juga umat secara keseluruhan.
Allah SWT berfirman, yang artinya: “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79). Jadi, karena tidak melarang tindakan munkar diantara mereka, maka kaum Bani Israel itu dikutuk oleh Allah. Rasulullah saw juga memperingatkan: “Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan diantara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).
Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar. Tentu, tahap kebangkitan dan pembenahan jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah dan amal yang salah pula.
Inilah sebenarnya suatu strategi kebudayaan atau strategi peradaban dalam membangun satu generasi baru yang tangguh. Bangkitnya kaum Muslim dari keterpurukan ketika Perang Salib bukan kebangkitan seorang Shalahuddin, tetapi kebangkitan satu ”generasi Shalahuddin”; satu generasi yang tanggung secara aqidah, mencintai ilmu, kuat ibadah, dan zuhud. Generasi inilah yang mampu membuat sejarah baru, membalikkan keadaan, dari generasi yang lemah dan kalah menjadi generasi yang kuat dan disegani.
Dari hasil kajiannya terhadap gerakan kebangkitan umat di era Perang Salib, Dr. al-Kilani menyimpulkan, bahwa yang pertama kali harus dilakukan adalah perubahan dalam diri manusia itu sendiri. ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi yang ada pada satu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS ar-Ra’d:11). Nabi saw juga menyatakan: ”Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh. Namun, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, itu adalah qalb.” (HR Muslim). Era kejayaan dan kekuatan sepanjang sejarah Islam tercipta ketika terjadi kombinasi dua unsur, yaitu unsur keikhlasan dalam niat dan kemauan serta unsur ketepatan dalam pemikiran dan perbuatan.
Jika strategi ini direfleksikan dalam perjuangan umat Islam Indonesia, maka sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan introspeksi terhadap kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka, terutama para elite dan lembaga-lembaga perjuangannya. Sikap kritis terhadap pemikiran-pemikiran asing yang merusak tetap perlu dilakukan, sebagaimana juga dilakukan oleh al-Ghazali. Tetapi, introspeksi dan koreksi internal jauh lebih penting dilakukan, sehingga ’kondisi layak terbelakang dan kalah’ (al-qabiliyyah lit-takhalluf wa al-hazimah) bisa dihilangkan.
Kita bisa melakukan evaluasi internal, apakah para elite dan lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah menerapkan profesionalitas dalam pendidikan mereka? Apakah tradisi ilmu dalam Islam sudah berkembang di kalangan para profesor, dosen-dosen, dan guru-guru bidang keislaman? Apakah konsep ilmu dalam Islam sudah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam? Apakah para pelajar mencari ilmu untuk mencari dunia atau untuk beribadah kepada Allah? Apakah budaya kerja keras dan sikap ’zuhud’ terhadap dunia sudah diterapkan para elite umat? Apakah ashabiyah (fanatisme kelompok) masih mewarnai aktivitas umat? Pada tataran keilmuan, bisa diteliti, apakah sudah tersedia buku-buku yang mengajarkan Islam secara benar dan bermutu tinggi pada setiap bidang keilmuan
Semua ini membutuhkan kerja yang berkualitas, kerja keras, kesabaran, ketekunan, kerjasama berbagai potensi umat, dan waktu yang panjang. Karena itu, disamping berbicara tentang bagaimana membangun masa depan Indonesia yang ideal, yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi kondisi internal umat Islam dan lembaga-lembaga pendidikan dan dakwahnya, agar menjadi sosok-sosok dan lembaga yang bisa diteladani oleh umat manusia. Dari Perguruan Tinggi Islam diharapkan akan lahir sarjana-sarjana yang dapat menjadi kader umat, yang mencintai ilmu, tekun ibadah, profesional, dan zuhud (tidak gila dunia).
Jadi, dalam rangka membangun satu bangsa mandiri, bangsa besar di masa yang akan datang, tugas umat Islam bukan hanya menunggu datangnya pemimpin yang akan mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat Islam dituntut untuk bekerja keras dalam upaya membangun satu generasi baru yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas ’Salahuddin al-Ayyubi’. Dan ini tidak mungkin terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia – terutama lembaga-lembaga dakwah dan pendidikannya – amat sangat serius untuk membenahi konsep ilmu dan para ulama atau cendekiawannya. Dari sinilah diharapkan lahir satu generasi baru yang tangguh (khaira ummah): berilmu tinggi dan beraklak mulia, yang mampu membuat sejarah baru yang gemilang. Secara khusus, ciri generasi yang menang disebutkan dalam al-Quran Surat al-Maidah:54.
Penutup
“Abu Umayyah al-Sya`bani menuturkan, “Aku menemui Abu Tsa`labah al-Khusyani dan bertanya, ‘Bagaimana engkau memahami ayat ini?’. Abu Tsa`labah balik bertanya, ‘Ayat yang mana?’. Aku menjawab, ‘Firman Allah SWT, [Hai orang-orang yang beriman, uruslah dirimu sendiri; tiadalah orang yang sesat itu akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk]. (Al-Ma’idah: 105)’. Abu Tsa`labah menjawab, ‘Demi Allah, aku telah menanyakannya kepada orang yang paling mengerti, yaitu Rasulullah saw. Beliau menjawab, ‘Hendaklah kalian tetap saling memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran (al-amr bi al-ma`ruf wa al-nahy `an al-munkar) hingga apabila engkau melihat syuhh (egoisme) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan tiap orang pandai bangga dengan pendapatnya sendiri, (dalam riwayat Baihaqi dan Ibn Majah ada tambahan: “dan engkau mendapati persoalan terlalu sulit diatasi (wa ra’aita amran la yadani laka)”, maka saat itu hendaklah engkau sibuk dengan diri sendiri dan tinggalkan (kecenderungan) kebanyakan orang. Sesungguhnya di hadapan kalian ada masa-masa dimana bertahan dengan kesabaran ibarat sedang menggenggam bara. Orang yang berbuat pada masa-masa itu mendapat pahala yang setara dengan pahala lima puluh orang di antara kalian’.” (Abu Isa al-Tirmidzi: “Hadits ini hasan gharib”).
Menurut Dr. Irsan al-Kilani, hadits ini memberikan petunjuk, jika kondisi masyarakat sudah terlalu parah dan sulit diperbaiki, maka seseorang perlu melakukan gerakan prioritas al-insihab wal ’audah (proses menarik diri untuk kembali). Jadi, dia tidak lari dari persoalan masyarakat, melainkan justru ingin melakukan perubahan mendasar terhadap masyarakatnya. Melalui gerakan ini, dia melepaskan diri dari kecenderungan publik dan melakukan pembenahan internal untuk bersiap-siap melakukan gerakan lain yang strategis di masa depan. Dalam proses ini, dia harus melakukan evalusasi serius dan pembenahan terhadap pemikiran, kondisi jiwa dan perilakunya. Sebab, perjuangan membutuhkan pemikiran yang benar (sahih), amal ibadah yang sungguh-sungguh, dan keikhlasan yang tinggi. Perjuangan tidak akan membawa hasil jika masih dirasuki sifat hubbud-dunya, riya’, dengki, dan berbagai penyakit hati lainnya.
Inilah yang dulu dilakukan oleh al-Ghazali dan para ulama lain sezamannya, seperti Ibrahim bin al-Muthahhir asy-Syabak al-Jurjani, Abul Qasim Ismail bin Abdul Malik al-Hakimi, dan sebagainya. Usaha mereka terfokus pada usaha untuk (1) melahirkan generasi baru ulama dan elite pemimpin yang mau berbuat dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah belah (tidak bersikap fanatisme golongan) dan (2) mengatasi penyakit-penyakit yang menggerogoti umat dari dalam. Kita berharap, sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, umat Islam mau belajar dari sejarah.
Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor