Ketika Jujur Itu (Tidak) Hebat
Fiqhislam.com - Indonesia negara urutan ke 107 dari 175 negara berdasarkan CPI (corruption Perseption Indeks) yang dikeluarkan oleh Transparancy International Indonesia (TII). Data tersebut menunjukkan bahwa persoalan korupsi masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini.
Korupsi telah mengurat dan mengakar bahkan melintasi dimensi Politik, sosial dan ekonomi. Mungkin, ini menjadi sebab korupsi begitu kuat bertahan dan kebal terhadap upaya pemberantasan, baik yang dilakukan oleh negara, NGO maupun gerakan masyarakat pegiat anti korupsi.
Dimensi politik misalnya, para calon wakil rakyat begitu royal mengeluarkan biaya yang besar untuk membangun citra positif di mata publik, sedangakan mereka menganggap enteng soal integritas dan kapabilitas. Kita lihat hari ini, dengan modal yang banyak, para perampok, maling, psikopat, penjahat kelamin pun masih merasa pantas maju bertarung di medan pilkada.
Melalui media yang dibayar selangit, psikopat pun disulap bak ustad lengkap dengan sorban dan gelar haji. Setali tiga uang, sikap permisif dan pragmatisme masyarakat sangat mudah menggadaikan aspirasinya meski dengan selembar uang kertas bergambar sukarno hatta. Tak heran, ketika para kandidat benar-benar menjabat, watak aslinya pun muncul dan maling tetaplah maling.
Pada dimensi Sosial, paradigma materialistik akut yang menjangkiti sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan harta dan jabatan sebagai simbol kesuksesan dan kemuliaan. Inilah yang mendorong para pemilik kekuasaan menyelewengkan wewenangnya demi menumpuk kekayaan dan mempertahankan kekuasaannya.
Para pencari jabatan saling sikut dan menyuap untuk mendapat posisi yang lebih baik, mencari jalan pintas dan malas bekerja keras. Di tataran masyarakat pun banyak yang tak mau repot dalam urusan birokrasi lantas suka menyuap, tak taat aturan, tapi tak mau menerima konsekuensi. Perilaku koruptif, pragmatis ditambah dengan permisif masyarakat berpadu dengan mentalitas korup para birokrat dan pejabat, menjadikan budaya korupsi semakin menancap tajam ditubuh ibu pertiwi yang bernama Indonesia.
Berdasarkan data dari KPK, 350 triliyun dana APBN menguap setiap tahunnya. Jumlah yang besar untuk bisa membangun ribuan sekolah, ratusan kilometer jalan, ratusan rumah sakit, dan ribuan jembatan. Sayangnya, dana sebesar itu dirampok segelintir anak bangsa yang tak bertanggung jawab.
Lantas, apa yang bisa kita dilakukan ? Apakah ikut bersikap permisif pragmatis, atau mengambil sikap melawan arus atau menciptakan arus sendiri ? Semua kembali pada pilihan masing-masing. Ketika korupsi telah menjadi budaya, maka kita harus kembali kepada budaya itu berasal, yaitu individu dan keluarga.
Sebagai bagian unit struktural terkecil dari bangsa Indonesia, keluarga merupakan muara dari perubahan paradigma. Misalnya, jika keluarga berupaya menempatkan jujur sebagai kebiasaan, maka secara perlahan budaya korupsi akan beringsut habis.
Jujur, menjadi kata kunci dari sikap anti-korupsi. Kata yang sering didengungkan ini, akan jadi slogan tak bermakna, jika tidak konsisten diteladani oleh anggota keluarga, pak RT, camat, Bupati hingga pak Presiden. Hari ini jujur menjadi (tidak) hebat karena tiap orang masih terjangkiti sikap koruptif meski dari hal-hal yang kecil.
Jika keluarga telah sadar mendidik anggotanya berlaku jujur, maka tiap peluang korupsi tidak akan dikejar, apalagi disebar.
Kelak, dengan budaya jujur, akan muncul budaya sang maling dan penjahat kelamin merasa malu dan tak pantas maju menjadi wakil rakyat dan pemimpin. Gantinya, orang-orang baik yang berkompetensilah yang ikut bertarung mewarnai tiap sudut posisi pemimpin negeri ini. [yy/islampos]