Menuju Fatwa yang Komunikatif
Fiqhislam.com - MUI dapat dikatakan telah menjalankan peran pentingnya dalam ikut membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis, baik dalam aspek keummatan, keagamaan, dan kebangsaan. Peran penting tersebut dapat dirumuskan dalam tagline yang dipopulerkan MUI sendiri; yaitu sebagai pelayan Ummat (khadim al-ummah) sekaligus mitra Pemerintah (shadiq al-hukumah).
Tentu pengakuan seperti ini tidak lantas menghalangi adanya beberapa catatan kritis terhadap peran dan kontribusi MUI yang selama ini telah dilakukan. Dalam artikel sederhana ini akan diidentifikasi satu aspek yang dirasa masih perlu disempurnakan. Dalam observasi Penulis, aspek tersebut adalah format fatwa MUI yang cenderung masih satu arah sehingga tampak kurang komunikatif.
Komunikasi Searah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunikatif bermakna mudah dipahami (dimengerti). Dalam ilmu komunikasi, menurut Deddy Mulyana (Panuju, 2018), satu teks disebut komunikatif jika persepsi yang dihasilkan oleh pembaca terhadap teks tersebut sama dengan yang dimaksud oleh pembuat teks itu sendiri. Ini tidak lantas bahwa pembaca dan pengarang mempunyai kesamaan pandangan dalam isu tertentu. Namun, dalam konteks perbedaan pendapat, sebagai contoh, setidaknya kedua pihak sepakat pada titik argumen yang sedang diperdebatkan sehingga keduanya berbeda pendapat.
Hal inilah yang, menurut penelusuran Penulis, belum sepenuhnya terartikulasikan dalam format fatwa MUI yang ada sekarang ini. Dalam satu artikelnya yang berjudul Menuju Fatwa yang Komunikatif: Analisis Berbasis Maqasid terhadap Fatwa MUI tentang Perkawinan Sejenis (Abdul Aziz, 2022), Penulis sudah mengulas bagaimana fatwa MUI No 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan tampak belum mengakomodir sepenuhnya topik perdebatan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
Di antara yang belum ditampung adalah bahwa fatwa MUI belum menguraikan jawaban terhadap satu pertanyaan para pendukung pernikahan sejenis; bagaimana mungkin pernikahan sejenis dilarang sementara dalam al-Qur’an sendiri tidak ada sama sekali ditemukan redaksi yang demikian jelas melarangnya? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut sesungguhnya ada dalam satu dalil fatwa yang disodorkan. Namun, karena fatwa mencukupkan diri hanya dengan meletakkan begitu saja dalil-dalil yang ada tanpa ada usaha pemertalian antara satu dengan lainnya, maka justru fatwa tersebut tidak mampu berkomunikasi dengan baik – terutama kepada mereka para akademisi.
Format seperti ini tampak jelas dalam fatwa yang lain seperti Fatwa MUI No 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Terutama dalam merespon isu pluralisme agama yang beranggapan bahwa setiap agama yang berbeda-beda sesungguhnya adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai keselamatan, fatwa MUI justru tidak mencantumkan berikut menjelaskan ayat yang menjadi titik sentral perdebatan tentang isu tersebut; al-Baqarah 62 dan al-Ma’idah 69.
Dalam kedua ayat tersebut memang bunyi teks tampak secara literal menyebutkan bahwa umat Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang beriman kepada Allah Swt dan Hari Akhir tidak perlu bersediha karena akan mendapatkan keselamatan di akhirat nanti. Dalam analisis Penulis, bunyi literal inilah yang menjadi titik perdebatan isu pluralisme agama dan, justru karena itu, harus mendapatkan penjelasan dan klarifikasi teoritis dalam fatwa MUI. Namun sayangnya, fatwa MUI tentang pluralisme agama hanya mencukupkan diri dengan meletakkan dalil-dalil begitu saja tanpa ada uraian komprehensif yang menghubungkan secara koheren antara dalil satu dengan lainnya.
Dua contoh fatwa di atas berikut beberapa fatwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya setidaknya menjadi bukti yang cukup bahwa fatwa MUI cenderung masih berkomunikasi satu arah sehingga tidak sepenuhnya komunikatif. Format fatwa seperti inilah yang menurut Penulis perlu ditinjau ulang. Hal ini tidak bermakna fatwa MUI yang ada selama ini belum efektif. Dalam batas tertentu, terutama bagi masyarakat awam, fatwa tersebut sudah cukup efektif. Hanya saja, MUI perlu menangkap fakta bahwa fatwa MUI sekarang ini tidak cukup hanya diarahkan dan dapat diakses oleh masyarakat awam, namun juga para akademisi dan intelektual. Lebih dari itu, dengan berkembangnya digitalisasi dan globalisasi, masyarakat sendiri semakin cerdas dan meningkat daya literasi mereka. Artinya, mereka sekarang tidak cukup hanya berpuas pada buah dari fatwa, namun juga argumen di balik buah tersebut. Pada titik ini, agar lebih komunikatif, artikel sederhana ini merekomendasikan perlunya ada naskah akademik bagi setiap fatwa.
Urgensi Naskah Akademik
Maksud dari urgensi naskah akademik di sini adalah bahwa di samping ada jawaban sederhana yang bersifat praktis, sebuah fatwa juga semestinya dilengkapi jawaban elaboratif yang dimaksudkan menjadi penjelasan teoritis di balik jawaban sederhana tersebut. Hal ini dimaksudkan agar fatwa MUI mampu menjangkau tidak hanya masyarakat awam, namun juga kalangan akademik.
Hal ini sebenarnya sudah pernah diusulkan oleh Penulis sendiri dalam kesempatan International Conference on MUI Fatwa Studies pada 2022 tahun lalu. Namun jawaban sementara MUI adalah, selain alasan penyederhanaan, bahwa kenyataannya fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura hampir serupa dengan fatwa MUI tersebut.
Dalam penelusuran Penulis, argumen tersebut memang mengandung kebenaran, namun tidak berlaku secara keseluruhan. Demikian karena memang fatwa di kedua negara tersebut, ada sebagian disampaikan secara sederhana dan ada juga yang disampaikan secara elaboratif seperti layaknya sebuah naskah akademik. Di antara jenis yang kedua ini adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Jabatan Mufti Johor (2020) tentang Ajaran Meragukan Suhaini Mohammad (Si Hulk). Termasuk juga fatwa tentang Stem Cell Research yang dikeluarkan oleh Majlis Ugama Islam Singapura (Muis | Muis: Office of the Mufti, 2021).
Apapun itu, kebutuhan terhadap naskah akademik sebuah fatwa di era globalisasi sekarang ini menjadi semakin urgen. Ada atau tidaknya preseden di negara tetangga tidak seharusnya menjadi penghalang realisasi ide tersebut. Jika memang dirasa baik, sudah saatnya Komisi Fatwa MUI mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh. Justru jika pada negara tetangga belum diterapkan sepenuhnya, sementara hal tersebut adalah kebutuhan urgen umat Islam dan MUI mampu melakukannya, maka hal tersebut tentu menjadi terobosan luar biasa yang perlu diapresiasi.
Menuju Fatwa yang Komunikatif
Salah satu contoh terbaik bagaimana sebuah surat keputusan – dalam hal ini fatwa juga berada di dalamnya – diolah sedemikian komunikatif adalah apa yang ‘difatwakan’ oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia. Dalam sebuah surat keputusan tentang perkawinan sejenis (Nomor 46/PUU-XIV/2016), sebagai contoh, MK tidak hanya menampilkan bunyi keputusan tentang perkara yang sedang disidangkan. Namun juga argumen di balik redaksi keputusan tersebut. Memang pengadopsian sistem administrasi semacam ini tidak cukup hanya satu atau dua tahun, namun memerlukan proses dan perjalanan yang Panjang. Terlebih lagi perlu diingat bahwa struktur dan karakter keorganisasian MUI dan MK tentu mempunyai beberapa perbedaan substansial. Termasuk juga perlu disebutkan di sini adalah bahwa model surat keputusan MK tersebut tidak sepenuhnya harus diadopsi oleh MUI. Tetap perlu ada penyesuaian dalam beberapa hal yang dirasa cukup substansial.
Namun, yang menjadi titik fokus artikel ini adalah bahwa spirit untuk memberikan penjelasan elaboratif terhadap sebuah keputusan fatwa menjadi semakin urgen di era globaliasi ini di mana masyarakat kian hari bertambah cerdas dan meningkat daya literasinya. Dengan mengakomodasi cara tersebut, maka fatwa MUI diharapkan akan jauh lebih komunikatif karena mampu menjangkau berbagai elemen masyarakat, baik kalangan awam maupun intelektual. Lebih jauh lagi, bahkan dengan cara itu, MUI akan benar-benar merepresentasikan tagline yang dipopulerkannya; berkhidmah kepada masyarakat dengan cara menjadi mitra Pemerintah dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Benar bahwa proyek intelektual seperti ini memang adalah sebuah perjalanan panjang. Namun justru karena panjang itulah, maka harus segera difikiran dan dimulai. [yy/republika]
Muhammad Abdul Aziz
Artikel Terkait: