Khawarij, Kelompok Semangat Ibadah Namun Jadi Pemberontak
Fiqhislam.com - Dikisahkan pada masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, kelompok Khawarij membelot dari barisan Ali dan menolak kebijakan politiknya. Pembelotan itu dikarenakan kelompok tersebut memandang Ali tidak menjalankan kekuasaan sesuai Al Quran dan Haditst Nabi Muhammad SAW.
Tak ayal, berbagai gesekan saat itu mulai terjadi sedemikian rupa. Mengutip buku The Harmony of Humanity oleh Prof Raghib, disebutkan jika kelompok Khawarij sebenarnya adalah kelompok yang semangat dalam ibadah.
Bahkan kelompok itu dianggap sangat ketat dalam pemahaman teks keagamaan, serta pandai dalam mengambil dalil darinya. Hal itu, membuat kelompok tersebut tak segan melawan saudara Muslimin sendiri, melakukan makar dan menjadi ancaman di waktu kemudian.
Dalam Fajr il Islami oleh Ahmad Amin, menjelang wafat, Ali bahkan meninggalkan amanah yang berbunyi, ‘’Jangan perangi kaum Khawarij sepeninggalku. Pihak yang mencari kebenaran tapi keliru tidaklah sama dengan pihak yang menonjolkan kepalsuan dan mempertahankannya’’.
Dalam ungkapan Ali terkait kelompok itu, ia membedakan pihak Khawarij dengan Muawiyah yang memang di hari sebelum dan setelah meninggal, memiliki konflik dengan khalifah Ali dan anak-anaknya.
Jika menilik ke belakang, fitnah dari golongan Khawarij nyatanya telah lama terjadi. Dan memuncak saat pemerintahan Ali.
Tak hanya itu, kelompok tersebut juga nyatanya berperan dalam gagalnya rencana kubu Ali serta Muawiyah yang akan berdamai. Sehingga menimbulkan perang saudara besar yang dikenal sebagai perang Shiffin.
Dalam Biografi Ali bin Abi Thalib oleh Prof Ali Muhamamad, Muawiyah adalah gubernur Syam sejak pemerintahan Umar bin bin Khatab dan Utsman bin Affan.
Pada saat pengangkatan Khalifah Ali, Muawiyah ia harap bisa diganti oleh Abdullah bin Umar, meski ditolak. Tak kecewa, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib tidak memaksakan kehendaknya.
Singkat cerita konflik dan perang semakin berkecamuk. Sehingga menyeret Ali bahkan Aisyah dalam konflik-konflik tersebut. Muawiyah dan penduduk Syam pada saat itu menyadari bahwa kedudukan Ali sebagai penerus pemerintahan Utsman memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Namun, alur cerita perang bermaksud lain dan melanjutkan konflik itu.
Hingga akhirnya, Ali bin Abi Thalib meninggal. Bukan karena perang, melainkan dibunuh ketika wudhu hendak shalat Subuh oleh Abdurrahman bin Muljam, golongan Khawarij.
Golongan Khawarij itu selain membunuh Ali, juga melancarkan upaya aksi pembunuhan ke Muawiyah dan Amr bin Ash yang mendukung Muawiyah. Namun, kedua nama terakhir ini gagal dibunuh. Muawiyah hanya terkena sabeten di pinggangnya sementara Amr bin Ash, orang Khawarij salah membunuh orang.
Eksistensi Khawarij
Khawarij terus menjadi gangguan bagi umat Islam pascakekhalifahan Khulaufaur Rasyidin, yaitu ketika Umayyah dan Abbasiyah menjadi kekhalifahan selama berabad-abad. Mereka tidak pernah datang untuk mengadakan pemberontakan di kota besar, tetapi berkeliaran di seluruh dunia Muslim, melecehkan dan meneror penduduk yang tidak menerima keyakinan mereka.
Di Afrika Utara, mereka berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok barbar. Tak kurang ada 20 sekte Khawarij dan setiap kelompoknya memilih imam dengan caranya sendiri-sendiri. Masing-masing menyatakan diri sebagai komunitas Muslim yang paling benar.
Kaum Khawarij juga dikenal dengan beberapa sebutan. Mereka juga kerap disebut sebagai Al-Haruriyah. Nama itu adalah nisbat pada tempat kumpulnya para pendahulu mereka ketika berpisah dan memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, yakni Harura. [yy/republika]
Fiqhislam.com - Dikisahkan pada masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, kelompok Khawarij membelot dari barisan Ali dan menolak kebijakan politiknya. Pembelotan itu dikarenakan kelompok tersebut memandang Ali tidak menjalankan kekuasaan sesuai Al Quran dan Haditst Nabi Muhammad SAW.
Tak ayal, berbagai gesekan saat itu mulai terjadi sedemikian rupa. Mengutip buku The Harmony of Humanity oleh Prof Raghib, disebutkan jika kelompok Khawarij sebenarnya adalah kelompok yang semangat dalam ibadah.
Bahkan kelompok itu dianggap sangat ketat dalam pemahaman teks keagamaan, serta pandai dalam mengambil dalil darinya. Hal itu, membuat kelompok tersebut tak segan melawan saudara Muslimin sendiri, melakukan makar dan menjadi ancaman di waktu kemudian.
Dalam Fajr il Islami oleh Ahmad Amin, menjelang wafat, Ali bahkan meninggalkan amanah yang berbunyi, ‘’Jangan perangi kaum Khawarij sepeninggalku. Pihak yang mencari kebenaran tapi keliru tidaklah sama dengan pihak yang menonjolkan kepalsuan dan mempertahankannya’’.
Dalam ungkapan Ali terkait kelompok itu, ia membedakan pihak Khawarij dengan Muawiyah yang memang di hari sebelum dan setelah meninggal, memiliki konflik dengan khalifah Ali dan anak-anaknya.
Jika menilik ke belakang, fitnah dari golongan Khawarij nyatanya telah lama terjadi. Dan memuncak saat pemerintahan Ali.
Tak hanya itu, kelompok tersebut juga nyatanya berperan dalam gagalnya rencana kubu Ali serta Muawiyah yang akan berdamai. Sehingga menimbulkan perang saudara besar yang dikenal sebagai perang Shiffin.
Dalam Biografi Ali bin Abi Thalib oleh Prof Ali Muhamamad, Muawiyah adalah gubernur Syam sejak pemerintahan Umar bin bin Khatab dan Utsman bin Affan.
Pada saat pengangkatan Khalifah Ali, Muawiyah ia harap bisa diganti oleh Abdullah bin Umar, meski ditolak. Tak kecewa, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib tidak memaksakan kehendaknya.
Singkat cerita konflik dan perang semakin berkecamuk. Sehingga menyeret Ali bahkan Aisyah dalam konflik-konflik tersebut. Muawiyah dan penduduk Syam pada saat itu menyadari bahwa kedudukan Ali sebagai penerus pemerintahan Utsman memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Namun, alur cerita perang bermaksud lain dan melanjutkan konflik itu.
Hingga akhirnya, Ali bin Abi Thalib meninggal. Bukan karena perang, melainkan dibunuh ketika wudhu hendak shalat Subuh oleh Abdurrahman bin Muljam, golongan Khawarij.
Golongan Khawarij itu selain membunuh Ali, juga melancarkan upaya aksi pembunuhan ke Muawiyah dan Amr bin Ash yang mendukung Muawiyah. Namun, kedua nama terakhir ini gagal dibunuh. Muawiyah hanya terkena sabeten di pinggangnya sementara Amr bin Ash, orang Khawarij salah membunuh orang.
Eksistensi Khawarij
Khawarij terus menjadi gangguan bagi umat Islam pascakekhalifahan Khulaufaur Rasyidin, yaitu ketika Umayyah dan Abbasiyah menjadi kekhalifahan selama berabad-abad. Mereka tidak pernah datang untuk mengadakan pemberontakan di kota besar, tetapi berkeliaran di seluruh dunia Muslim, melecehkan dan meneror penduduk yang tidak menerima keyakinan mereka.
Di Afrika Utara, mereka berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok barbar. Tak kurang ada 20 sekte Khawarij dan setiap kelompoknya memilih imam dengan caranya sendiri-sendiri. Masing-masing menyatakan diri sebagai komunitas Muslim yang paling benar.
Kaum Khawarij juga dikenal dengan beberapa sebutan. Mereka juga kerap disebut sebagai Al-Haruriyah. Nama itu adalah nisbat pada tempat kumpulnya para pendahulu mereka ketika berpisah dan memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, yakni Harura. [yy/republika]
Kiprah Muawiyah Setelah Ali bin Abi Thalib Meninggal
Fiqhislam.com - Semenjak meninggalnya Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan kembali berambisi merebut kekuasaan khalifah. Namun demikian, dalam Al-Husein bin Ali oleh Al-Hamid Al Husaini dijelaskan, menjelang meninggalnya Ali bin Abi Thalib, sahabat bertanya jika pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, Hasan. Mendengar itu, Ali tidak menolaknya, maupun menyarankannya.
Alhasil, Hasan yang pada awalnya menolak, didesak oleh penduduk Kufah dan menerimanya. Ia pada saat itu juga mengetahui ada keinginan perebutan khalifah oleh Muawiyah.
Hingga pada akhirnya, Hasan mengajak Muawiyah bergabung sebagai khalifah. Meskipun, ajakan itu ditolak, karena Muawiyah merasa lebih mengerti dan berpengalaman atas politik.
Singkat cerita, kedua pihak itu juga tak lepas dari konflik. Utamanya, Muawiyah yang ingin menggulingkan Hasan yang telah dibaiat. Sampai dibuatnya keputusan atau perjanjian damai setelah pertempuran terjadi dan merugikan Hasan. Di mana, isinya adalah menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah, kejadian itu dipercaya terjadi pada 40 H.
Setelah menyerahkan kekuasaan khalifah, Hasan datang ke Madinah dan disambut penduduk dengan baik. Hal itu dikarenakan cucu Rasulullah datang kembali ke tempat Islam yang telah berjaya sejak Nabi Muhammad masih hidup. Di Madinah juga, Hasan tidak berkecimpung ke dunia politik, dan memilih fokus untuk beribadah.
Setelah menyerahkan Kekhalifahan itu pula, kedua tokoh, Hasan dan Muawiyah meninggal. Hasan yang saat itu berusia 46 tahun tepatnya pada 28 Safar 50 H, diracun. Beberapa sumber menyebut bahwa penyebab keracunan itu adalah perbuatan istrinya sendiri.
Al-Hamid Al Husaini menyebut jika yang meracuninya adalah Ja’dah binti Al-Asy’ats atas perintah Muawiyah yang menjanjikan hadiah. Namun sumber lain menyebut bahwa Hasan meninggal karena istri lainnya.
Namun, Yazid bin Muawiyah yang dinobatkan sebagai penerus pimpinan juga diketahui membenci keturunan Ali bin Abi Thalib, khususnya Husein, adik Hasan yang saat itu berada di Madinah dan dipaksa pergi.
Tak pelak, hal itu yang menjadikan Yazid dan pasukannya yang berada di Damaskus saat itu, membantai Husein dan pengikutnya di Karbala. Tepatnya pada 10 Oktober 680 M / Muharram 61 H.
Berdasarkan Ensiklopedi Oxford yang membahas Dunia Islam Modern oleh John L, Karbala berasal dari bahasa Aramik, Karbela. Sedangkan dalam literatur keagamaan Syiah, John menyebut, jika Karbala berasal dari dua suku kata, yakni Karb yang berarti duka cita dan bala’ berarti bencana.
Esposito juga menjelaskan, Karbala juga menjadi tempat masyhur di antara Syiah karena pertempuran itu. [yy/republika]