pustaka.png
basmalah2.png


16 Rabiul-Awwal 1445  |  Minggu 01 Oktober 2023

Persatuan Umat Islam di Mata Sayyid Quthb

Persatuan Umat Islam di Mata Sayyid QuthbFiqhislam.com - "Salah satu pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Quthb dalam mempersatukan umat adalah memberikan perhatian khusus pada penjelasan ciri khas umat Islam, yaitu kesatuan akidah, kesatuan tujuan, kesatuan pendekatan, dan kesatuan visi dalam tugas hidup manusia."

Mengenal Sayyid Quthb
Sayyid Quthb, penulis dan pemikir Islam kontemporer, lulus dari Universitas Darul Ulum, Kairo,[1] bekerja di bidang jurnalistik dan pendidikan. Dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin[2] dan mengetuai departemen dakwah di organisasi tersebut. Penjara sudah menjadi langganannya, dituduh merencanakan kudeta terhadap Gamal Abdel Nasser, dijatuhi hukuman mati, dan dieksekusi pada tahun 1387 H.

Kehidupan intelektual Sayyid Quthb dimulai sebagai penulis dan penyair yang kritis. Dia merupakan salah satu pentolan murid Prof. Abbas Mahmud al-‘Aqqad sekaligus pembela pandangan-pandangannya sebelum berselisih paham dengan sang guru tentang beberapa hal dalam masalah sastra. Setelah itu, Sayyid Quthb mulai menaruh perhatian pada kajian-kajian al-Quran, di mana akarnya telah tertanam sejak kecil di kampung halamannya. Dia menekuni kajian al-Quran dan memfokuskan perhatiannya pada aspek gambaran artistik gaya bahasa (uslûb) al-Quran. Minatnya tersebut menghasilkan dua buku, yaitu al-Tashwîr al-Fanî fî al-Qur'ân dan Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur'ân. Kehadiran dua buku tersebut menandai era baru perjalanan intelektual Sayyid Quthb. Perhatiannya terhadap sastra mulai berkurang dan lebih banyak dicurahkan kepada kajian Islam dengan konsep-konsep kontemporernya. Sejak saat itu, dia mulai memublikasikan berbagai kajian di koran dan majalah. Seluruhnya berkisar seputar horizon intelektual dan budaya Islam.

Sayyid Quthb bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan mengetuai departemen dakwah di organisasi tersebut[3] usai mengalami ujian berat pertama. Ujian itu memberinya kesempatan untuk meningkatkan perhatian terhadap kajian-kajian keislaman dan menulis buku tentangnya. Bukunya yang berjudul Fî Zhilâl al-Quran merupakan karya ilmiah monumental di kelasnya. Buku ini menghadirkan tafsir yang berbeda dengan tafsir-tafsir yang sudah akrab di kalangan ulama dengan berbagai latar belakang perbedaan mazhab mereka. Seperti terbaca dari namanya Di Bawah Naungan Kitab yang Agung, buku ini mengungkapkan pandangan intelektual Sayyid Quthb yang mencerminkan pemahaman cermat terhadap teks al-Quran. Pemahamannya lahir dari keimanan yang mantap terhadap teks al-Quran sebagai satu-satunya manhaj bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini Quthb mengatakan:

Aku hidup di bawah naungan al-Quran menikmati gambaran yang sempurna, lengkap, tinggi, dan bersih tentang alam semesta, tentang tujuan semua eksistensi dan tujuan eksistensi manusia. Kubandingkan dengan konsepsi jahiliah yang dipakai di timur dan barat, di utara dan selatan. Aku pun bertanya, "Mengapa manusia memilih hidup di dalam kubangan busuk, di dataran paling rendah, di dalam kegelapan yang hitam pekat, sementara di sisinya ada tempat penggembalaan yang subur, bukit yang tinggi, dan cahaya yang cemerlang?

Aku hidup di bawah naungan al-Quran kurasakan harmoni yang indah antara gerak manusia yang dikehendaki Allah dan gerak alam semesta yang diciptakan-Nya. Kemudian kulihat kejatuhan yang menimpa manusia lantaran menyimpang dari hukum alam (sunnah kauniyah). Ajaran-ajaran yang rusak dan jahat yang dianut manusia berbenturan dengan fitrah yang diciptakan Allah untuknya. Aku bertanya dalam hati, "Setan laknat manakah yang telah menggiring langkah mereka ke neraka Jahim ini?"

Di bawah naungan al-Quran, aku mendapat pelajaran bahwa di alam semesta ini tidak ada tempat bagi sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau datang tiba-tiba karena kesalahan. "Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." [4] "... dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat." [5]

Segala sesuatu terjadi pasti ada hikmahnya. Akan tetapi, hikmah terdalam dan gaib tidak mampu dijangkau pandangan manusia yang terbatas. "Karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya."[6] "Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [7]

Sebab-sebab yang diketahui manusia kadang-kadang diiringi akibatnya, tapi kadang pula tidak diiringi. Demikian pula, pendahuluan-pendahuluan yang dianggap pasti oleh manusia kadang-kadang menampakkan hasilnya, tapi kadang pula tidak. Hal itu karena bukan sebab dan pendahuluan itu yang mendatangkan akibat dan hasil, melainkan kehendak Allah yang mutlak. Dan Kehendak mutlak Allah pulalah yang melahirkan sebab dan pendahuluan tersebut. "Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru." [8]

Fi Zhilal al-Quran
Buku Fî Zhilâl al-Qur'ân ditulis oleh pengarangnya setelah hidup bersama al-Quran, membacanya dengan khusuk, merenungkannya dengan keimanan yang tulus terhadap Kitab mukjizat yang membawa kebaikan bagi urusan dunia dan akhirat, yang tidak terkontaminasi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, dan memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. Dari interaksi yang intens itulah Sayyid Quthb memahami betul teks al-Quran. Pemahamannya bersumber dari jiwa yang mengimani al-Quran sebagai jalan bagi kehidupan. Tidak saja mengimaninya, tapi dia juga gigih berjuang di jalan tersebut, bertahan menjalani berbagai kesulitan dan penderitaan demi meninggikan kalimat Allah. Dalam hal ini, Sayyid Quthb mengatakan:

Al-Quran tidak akan dipahami secara benar oleh orang yang belum pernah merasakan kerja keras perjuangan dan jihad untuk memulai kehidupan yang benar-benar Islami; belum pernah menahan kepedihan perjuangan yang sulit dan keras, pengorbanan, rasa sakit dan berbagai perasaan pedih yang menyertai kerja keras tersebut di alam nyata dalam memerangi kejahiliahan di segala zaman.

Problem dalam memahami petunjuk dan inspirasi al-Quran bukanlah soal memahami makna kalimat dan ungkapannya, bukan pula tafsir sebagaimana biasa diperbincangkan. Namun masalahnya adalah kesiapan jiwa dengan menghadirkan perasaan, indra dan pengalaman, persis seperti perasaan, indra dan pengalaman yang menyertai turunnya al-Quran dan menyertai kehidupan umat Islam; persis seperti jiwa yang menerima al-Quran di medan jihad: jihad melawan nafsu, jihad melawan manusia, jihad melawan syahwat, dan jihad melawan musuh, yang menuntut kerja keras dan pengorbanan, dipenuhi harap dan cemas, ada masanya kuat dan ada punya masanya lemah, dan harus jatuh bangun, dalam atmosfer kota Makkah yang keras saat memulai dakwah, dalam kondisi umat masih sedikit, lemah, dan terasing di tengah-tengah umat yang kafir, di tengah lingkungan yang terkucil dan terkepung, lapar dan sakit, tertekan, terusir, terembargo, dan terputus dari berbagai sarana kecuali dari Allah. Kemudian jiwa itu menghirup atmosfer Madinah, atmosfer kebangkitan pertama masyarakat muslim di tengah-tengah tipu daya dan kemunafikan, pengorganisasian dan perjuangan; atmosfer Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan perjanjian Hudaibiyah; atmosfer Fathu Makkah, Perang Hunain dan Perang Tabuk; atmosfer pertumbuhan umat Islam, perkembangan sistem kemasyarakatan, dan pergesekan antara perasaan, kepentingan, dan prinsip dalam bingkai pertumbuhan dan perjalanan organisasi.

Dalam atmosfer seperti itulah—yakni seperti saat ayat-ayat al-Quran yang hidup, dinamis, dan realistis diturunkan—kata-kata dan ungkapan al-Quran akan menampakkan petunjuk dan inspirasinya. Dalam atmosfer seperti itulah—yakni seperti saat melakukan upaya-upaya untuk memulai kehidupan Islam yang baru—al-Quran akan membuka kandungannya kepada hati manusia, menampakkan pelbagai rahasianya, menebarkan keharumannya, dan memancarkan petunjuk dan cahayanya.[9]

Sayyid Quthb juga mengatakan:
Target yang ingin dicapai bukan sekadar pengetahuan un sich yang berhubungan dengan pikiran dan dihitung dalam keseimbangan budaya. Target seperti ini jelas tidak akan sebanding dengan perjuangan, kurang berarti dan terlalu kecil. Yang kita inginkan adalah gerakan di balik pengetahuan. Pengetahuan tersebut kita gunakan sebagai kekuatan pendorong untuk merealisasikan petunjuknya di dunia nyata.[10]

Fî Zhilâl al-Qur'ân hadir sebagai mukadimah bagi buku-buku Sayyid Quthb lainnya, bahkan boleh dikatakan hampir menghimpun semua warisan ilmiahnya. Tafsir yang ditulisnya ini meliputi retorika al-Quran, keadilan sosial, karakteristik perspektif Islam, dasar-dasar kepribadian Islam, pertempuran Islam dan kapitalisme, perdamaian dunia dan Islam, dan kajian-kajian lainnya.

Pendekatan Sayyid Quth dalam Mencapai Persatuan
Orang yang membaca buku-buku Sayyid Quthb—terutama buku Fî Zhilâl al-Qur'ân—akan mencatat bahwa pendekatan yang dipakai oleh pemikir ini dalam mencapai persatuan Islam dan pendekatan mazhab fikih dan kalam didasarkan kepada beberapa pilar, antara lain:

Pertama, akidah Islam—yakni akidah tauhid, persatuan, persaudaraan, solidaritas, dan kasih sayang—adalah fondasi kokoh untuk membangkitkan umat dan mewujudkan kemuliaannya. Melindungi akidah ini dari semua faktor yang menyelewengkan dan melemahkannya merupakan cara agar kekuatan akidah Islam yang menjadi panji seluruh kaum beriman senantiasa terpelihara. Oleh karena itu, Sayyid Quthb menolak metode gagal yang dipakai oleh para filsuf dan para teolog diterapkan dalam studi akidah. Menurutnya—dalam hal ini dia benar—metode tersebut hanya akan memecah belah umat dan menjadikan akidah rentan terhadap penyebab penyimpangan dan kerusakan. Maka itu, dia selalu menekankan perlunya mengambil cara al-Quran dalam studi akidah. Cara al-Quran merupakan kombinasi pikiran dan perasaan, karena manusia tidak murni akal, dan tidak pula murni perasaan. Menyapa manusia sesuai dengan fitrah yang diciptakan Allah untuknya merupakan jalan paling tepat untuk menyehatkan iman dan menyelamatkan keyakinan.

Sayyid Quthb menyerukan menolak pendekatan filsafat[11] karena menurutnya pendekatan tersebut asing bagi pemikiran Islam. Menjaga orisinalitas dan kemurnian pemikiran Islam dalam mengkaji akidah menuntut kembali kepada pendekatan al-Quran, sehingga akidah senantiasa hidup dan bersih dari berbagai kotoran. Akidah yang murni membimbing umat menuju kehidupan beribadah yang ikhlas kepada Allah Tuhan semesta alam, kehidupan berpegang yang benar kepada tali Allah, dan kehidupan persaudaraan Islam dengan konsepnya yang menyeluruh. Dengan demikian, umat bakal menjadi semacam bangunan yang kokoh atau seperti satu tubuh yang saling menguatkan satu sama lain.

Kedua, di samping menyerukan mengkaji akidah Islam menurut pendekatan al-Quran dan menghindari intrik para teolog dan para filsuf, Sayyid Quthb juga sangat menginginkan umat mencari informasi dalam sejarah tentang masa-masa gemilang dan tidak boleh mengambil konsep dan hukum yang batil dari masa-masa kelemahan dan keterbelakangan. Namun, umat tidak boleh berhenti di situ. Mengetahui masa-masa dalam sejarah tersebut semata-mata untuk mengambil pelajaran, dalam arti mempelajarinya untuk mengetahui berbagai sebab dan faktor yang menyebabkan umat meninggalkan kemajuan, menanggalkan kepemimpinan, dan menerima kehidupan yang lemah sebagai pengekor. Ini penting supaya umat tidak terjerumus ke dalam lembah kelemahan untuk kedua kali, supaya umat kembali bangkit dan mengembalikan sejarah Timur yang kuat, unggul, dan beradab.

Ketiga, salah satu pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Quthb dalam mempersatukan umat adalah memberikan perhatian khusus pada penjelasan ciri khas umat Islam, yaitu kesatuan akidah, kesatuan tujuan, kesatuan pendekatan, dan kesatuan visi dalam tugas hidup manusia. Penjelasannya menyiratkan resistensi terhadap semua penyebab fragmentasi, perpecahan, dan konflik yang membinasakan umat. Terlebih, penjelasan tersebut akan membentengi umat dan mengingatkannya supaya kembali kepada nilai-nilai yang abadi dan karakteristik yang mulia. Umat tidak boleh berpegang kepada nilai-nilai lain. Umat jangan lagi membuang-buang waktu melirik ke sana ke mari mencari pandangan lain, jangan tertipu oleh metode-metode sesat yang disamarkan oleh setan jin dan manusia. Dengan cara itulah umat menjaga orisinalitas, kekuatan, martabat, dan kemuliaannya.[12]

Sayyid Quthb menjelaskan konsekuensi dari konflik dan pertentangan, seraya menekankan bahwa apabila umat Islam didominasi oleh perdebatan yang tidak baik—yang merupakan perangkap Iblis untuk menggoda mangsanya, yang dikuasai oleh motif-motif kesukuan dan teritorial, yang mengakibatkan anggotanya berkelahi karena alasan sepele dan bertempur dengan lidah dan gigi—adalah mangsa yang empuk bagi para musuhnya. Umat Islam bakal kehilangan semua karakteristik yang menjadikannya sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.

Keempat, pada pertengahan abad ketiga belas Hijriah dunia Islam telah mengalah kepada dominasi asing dan keterbelakangan budaya. Namun dalam kondisi seperti ini Sayyid Quthb tidak terlihat hambatan untuk mewujudkan persatuan universal di dunia Islam. Menurutnya, dunia Islam yang membentang dari Timur hingga ke Barat, dengan letak geografisnya yang berbeda-beda, dengan sumber daya material yang melimpah dari Allah Swt, dan dengan kekohesifan spiritual dan moral—meskipun pandangan politik berbeda-beda—adalah blok yang sangat tepat untuk menghadapi blok politik dan intelektual kontemporer karena memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang tak tertandingi.

Sayyid Quthb sering berbicara tentang blok Islam, dan itu nyata. Blok Islam adalah satu-satunya katup keamanan bagi seluruh umat manusia, karena memiliki pendekatan yang tepat untuk memimpin kehidupan. Blok-blok yang lain, baik dari Timur ataupun Barat, tidak memiliki pendekatan ini. Mereka diatur oleh persepsi material, konflik kelas, dan diskriminasi ras. Karena itu, semua klaim yang dilontarkan oleh para pemimpin dari kedua blok tersebut tidak mengenal kebenaran. Semua klaim itu merupakan semacam kemunafikan politik, ketidakjujuran intelektual, obat penenang bagi orang-orang lemah, sehingga mereka menyerah kepada kehidupan yang hina, rendah, terbelakang, dan bermental budak.

Kegigihan Sayyid Quthb membicarakan tentang blok Islam merupakan salah satu corak pendekatan dan gayanya dalam mewujudkan persatuan. Perhatiannya akan hal ini menghidupkan kembali rasa bangga terhadap Islam dalam jiwa umat Islam, juga membangkitkan makna persaudaraan sejati dan tanggung jawab untuk bekerja sama dalam kebaikan dan kebenaran. Dengan demikian, setiap Muslim—tidak peduli apa pun posisinya—adalah seorang prajurit yang akan membela entitasnya. Dia mengorbankan diri dan hartanya agar blok ini tidak hanya merasa memiliki hubungan spiritual antar sesama umat Islam, tetapi menjadi sebuah kekuatan internasional yang mempunyai pengaruh besar dan peran penting dalam menjaga perdamaian dunia, kekuatan yang dapat menghilangkan semua bentuk ketidakadilan dan penghinaan terhadap martabat manusia.

Kelima, Sayyid Quthb—yang menolak pendekatan para teolog dan para filsuf, termasuk sampah intelektualnya; yang menyeru umat untuk melampaui fase kelemahan dalam sejarah, termasuk konsep dan pandangan yang mengoyak dan menghancurkan kekuatan; yang menekankan pentingnya kepribadian umat Islam dan menjelaskan bahwa kepribadian tersebut berbeda dan menghentak dunia dengan kebenaran, tidak mengenal konflik dan perpecahan, tapi mengenal persatuan dan kekuatan; yang juga menekankan bahwa dunia Islam adalah blok internasional yang memiliki prinsip dan nilai—berupaya memerangi faktor-faktor keputusasaan di hati umat. Malam pasti berganti siang, kesulitan pasti disusul kemudahan, dan kesempitan pasti berujung kelapangan. Oleh Karena itu, di antara pendekatan yang dipakainya adalah membuktikan secara ilmiah bahwa semua sistem buatan manusia yang dicetuskan oleh orang yang tidak paham tentang Islam pasti berujung pada kehancuran. Islamlah satu-satunya yang cocok untuk masa depan. Menurutnya, pertama-tama pemikiran ateisme komunis yang runtuh, kemudian diikuti oleh kapitalisme.

Apa yang dikatakan Sayyid Quthb benar-benar terjadi sekitar seperempat abad setelah kepergiannya. Keruntuhan kapitalisme Barat pun bakal menyusul, hanya tinggal menunggu waktu saja. Ini artinya kebangkrutan semua sistem buatan manusia. Sistem yang dapat menyelamatkan manusia dari kekacauan metode dan teori hanyalah Islam. Hingga itu terjadi, kaum Mukminin harus mengejawantahkan agama ini dalam kehidupan dan hubungan mereka sehari-hari, sehingga orang lain tertarik untuk memeluk Islam. Mereka harus selalu menjadi pelopor di jalan kebenaran dan kebaikan bagai semua orang.

Sayyid Quthb tidak mengenal kata kompromi terhadap kebatilan dalam memperjuangkan agama dan umat. Dia tidak takut dicibir selama dirinya berada dalam kebenaran, hingga menemui ajalnya sebagai syahid karena keberanian dan kekuatan keyakinannya. Orang-orang yang menghina dan membunuhnya berupaya mencegah pikiran dan pandangannya terpublikasikan, tetapi seperti firman Allah, "Adapun buih akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya, tetapi yang bermanfaat bagi manusia akan tetap ada di bumi." [13] Ide-ide Sayyid Quthb tersebar luas ke seluruh dunia Islam, bahkan seluruh dunia. Karya-karyanya diterjemahkan, khususnya Fî Zhilâl al-Qur'ân , ke dalam berbagai bahasa.[14] Mudah-mudahan ide-idenya menemukan jalan hingga menjadi kenyataan "sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata."[15] "Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti." [16].

rimanews.com

Catatan:

[1] Al-Zirikla, al-A‘lam, vol. 3, hal. 147.

[1] Majalah al-‘Arab, 8/159.

[1] Koran ‘Ukâzh, edisi 17 Dzulqa‘dah 1388.

[1] QS. al-Qamar [54]: 49.

[1] QS. al-Furqan [25]: 2.

[1] QS. an-Nisa' [4]: 19.

[1] QS. al-Baqarah [2]: 216.

[1] QS. ath-Thalaq [65]: 1.

[1] Lihat Sayyid Quthb, Khashâ'ish al-Tashawwur al-Islâmî wa Muqaddimâtuh, hal. 5, cetakan kedua.

[1] Ibid., hal. 8

[1] Lihat, Majalah al-Syahab, vol. 24 edisi 10 Jumadil Ula 1394 H.

[1] Lihat mukadimah Khashâ'ish al-Tashawwur al-Islâmî dan mukadimah al-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah.

[1] QS. ar-Ra'd [13]: 17.

[1] Koran Akhbâr al-Yaum, edisi 11/9/65.

[1] QS. al-Anfal [8]: 39.

[1] QS. Yusuf [12]: 21.