pustaka.png
basmalah2.png


16 Rabiul-Awwal 1445  |  Minggu 01 Oktober 2023

Seni, Pemersatu Dunia Islam

Seni, Pemersatu Dunia IslamFiqhislam.com - Beratus tahun lamanya Barat bergulat menggapai kestabilan, sementara Islam yang muncul dengan penuh dinamisme berhasil membangun peradaban kokoh hanya dalam jangka sekitar satu abad.

Di tahun 630 pasukan Muhammad, nabi keyakinan baru itu, mencapai kemenangan gemilang, merebut Makkah, justru tanpa pertempuran. Dengan singkat mereka menguasai seluruh Jazirah Arabia, dan hanya dalam jangka 30 tahun berikutnya mereka sudah menaklukkan Persia, Mesopotamia, dan Mesir. Pada 750, Islam telah merebak dari Spanyol dan Afrika utara di sebelah barat sampai ke perbatasan Cina di timur.

Islam membawa keterpaduan merangkum hampir separo dunia yang dikenal orang. Dan seperti ditulis Nathaniel Harris dalam Picture History of World Art, seni yang dilahirkannya pun hakikatnya menggambarkan keterpaduan itu, kendati gaya-gaya setempat tetap hidup di dalamnya walau Dunia Islam terpecah menjadi negeri kecil-kecil dan tidak jarang pula saling bermusuhan.

Seni Islam adalah seni yang berwujud pola-pola saling berjalin berkelidan dengan warna warni cemerlang, menciptakan hiasan-hiasan pelapis permukaan gilang gemilang: permukaan dari batu berukir atau berpahat, lantai pualam yang berwarna-warni atau dilukis, kerajinan tembikar berhiaskan lukisan indah, karya logam denga pola-pola rumit, serta permadani dan tekstil yang kaya akan motif. Akan kita temukan di mana-mana kekayaan pola yang tercipta dari bentuk-bentuk geometrik dan bentuk-bentuk hidup. Para seniman Muslim membuat desain, bukan sekadar menggambar benda-benda atau peristiwa-peristiwa saja, seperti mereka itu terpesona akan ketidakterbatasan, bukan dunia materi atau semata-mata penggambaran saat-saat yang sudah berlalu.

''Antinaturalisme'' Islam membuat orang salah mengira, seolah-olah para seniman muslim dilarang menampilkan benda-benda hidup. Melihat kenyataannya, mereka dapat dan kerap melakukannya -- walau tak pernah dilakukan di masjid, sebab dikhawatirkan pelukisan benda riil itu akan menggoda para penganutnya ke arah penyembahan berhala. Rangsangan kepada pola-pola ternyata menukik lebih dalam dari sekadar larangan-larangan: sang seniman menggunakan citra-citra, yang hampir selalu dicipta menjadi gaya-gaya dan mereka menggarapnya sedemikian mewujudkan dekorasi permukaan yang melarut segalanya, sehingga tidak tampak sama sekali rujukannya kepada realitas.

Dari tradisi Yunani-Romawi, seniman tadi mengambil model dari alam, seperti sulur-sulur, dedaunan, dan gulungan-gulungan, lalu mengubah semua itu menjadi pola-pola arabesque yang berjalin satu dengan yang lain. Ia menggunakan pola garis-garis untuk membentuk anasir abstrak seperti bintang-bintang dan poligon. Bahkan ia mencipta pola-pola dari tulisan Arab, dengan begitu menjadikan kaligrafi huruf-huruf Alquran hiasan yang indah-indah. Pola, bukan struktur, akan menerpa pandangan saat orang berada di Masjid Cordoba. Dalam sebuah gereja abad pertengahan, lengkungan-lengkungan sangat jelas nampak perannya sebagai penopang; di masjid ini, lengkung gandana, penopang ramping dan dua warnanya menekankan hubungan antara lengkungan dan lengkungan, bukannya antara lengkungan dan atap. Batu bata yang berwarna juga akan memaksa mata memandang ke sepanjang ruangan, yang tampak tak terbatas di bawah lengkungan yang kian mengecil.

Tradisi Musik dalam Islam

Sejak dulu, masyarakat Arab menghargai kemampuan bahasa seseorang, karena kemampuan itu akan menunjukkan kualitas bicara orang tersebut. Penghargaan yang tinggi pada kemampuan inilah yang kemudian menyebabkan berkembangnya seni dan literatur di dunia Arab. Jadi, sebelum Islam, puisi dan musik memang telah berkembang sejak lama di dalam tradisi Arab.

Terbukti pada masa pra Islam, orang-orang Arab kerap menghabiskan waktu untuk mendengarkan puisi dan musik. Keduanya, puisi dan musik, memang sangat berhubungan. Komposisi puisi tak akan berjalan dengan baik tanpa pola musikal dalam setiap baitnya. Sedangkan musik atau lagu merupakan bentuk bebas dari puisi. Musik pun kemudian berkembang pula pada masa Islam, yang tentunya disesuaikan dengan aturan Islam.

Dalam catatan sejarah, khususnya, Kitab Al-Aghani yang ditulis sekitar abad kesepuluh, oleh Al-Isfahani (897-967), dinyatakan bahwa selama penyebaran Islam di wilayah Arabia, Persia, Turki, dan India musik berkembang pesat. Kemudian terbawa sampai masa-masa awal kekhalifahan Islam dan mencapai puncaknya pada masa kekhalifahan Abbasiyah.

Selama tahun-tahun pertama kekhalifahan Muslim, telah bermunculan musisi-musisi Islam ternama, di antaranya adalah Sa'ib Khathir (683), Tuwais (710), dan Ibn Mijjah (705-714). Kaum Muslim juga menerjemahkan sejumlah karya musik dari musisi Yunani, khususnya, pada saat masa kekhalifahan Al-Ma'mun yang merupakan bagian dari proyek Bait Al-Hikma. Proyek ini merupakan upaya untuk menerjemahkan karya-karya ilmuwan luar, khususnya Yunani.

Penerjemahaman itu dilakukan atas karya-karya Aristoxenos, Aristoteles, Euclid, Ptolemy, dan Nikomachos. Lalu karya musik tersebut diperbaharui dan disesuaikan dengan aturan Islam agar tak bersifat sekuler dan menyerupai praktik-praktik dalam penyembahan berhala. Perkembangan yang terjadi pada masa Abbasiyah juga merupakan warisan pemikiran dari cendekiawan-cendekiawan Muslim terdahulu.

Sebelum masa kekhalifahan Abbasiyah, musik dianggap sebagai cabang dari filsafat dan matematika. Tak heran jika kemudian Al Kindi, filosfof dan ahli matematika ternama, memiliki pengatahuan yang luas pula tentang musik. Makanya ia dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan dasar teori musik. Ia membicarakan tentang konotasi kosmologikal musik.

Al Kindi juga dikenal sebagai orang yang pertama kali merealisasikan apa yang kemudian disebut sebagai terapi musik. Ini terbukti dengan upaya Al Kindi menggunakan terapi musik untuk menyembuhkan penyakit. Dalam bidang musik, ia meninggalkan 15 karyanya. Namun dari ke-15 karya itu, hanya 5 karyanya tentang musik yang masih ada. Kata 'musik' -- diambil dari kata musiq -- juga pertama kali dikenalkan olehnya dengan menjadikannya judul salah satu kitabnya.

Apa yang dilakukan oleh Al Kindi, kemudian diikuti pula oleh penerusnya, yaitu Al Farabi (870-950). Ia yang hidup di istana Saif al-Dawla Al- Hamdani di Aleppo, juga dikenal sebagai orang yang mencintai puisi dan musik yang membuatnya mengembangkan kemampuan musikal dan meletakkan dasar-dasar teori musik.

Definisinya tentang kekuatan musik menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang musik. Ia menyatakan bahwa suara binatang mengekspresikan emosi mereka baik dalam kegembiraan maupun kesedihan. Sedangkan suara manusia mengungkapkan perasaan yang lebih beragam. Dengan suara yang mengekspresikan keberagaman itulah membuat orang lain merasa kasihan maupun simpati.

Tak heran jika kemudian Al Farabi mampu membuat orang tertawa, menangis, atau tertidur ketika ia memainkan musik. Ia pun ditengarai sebagai penemu alat musik rebab dan qanun. Seperti pendahulunya, Al-Farabi juga menulis lima buku, salah satu karyanya yang berjudul Kitabu al-Musiqa to al-Kabir merupakan karya fenomenal tentang teori musik dalam Islam.

Dalam bukunya ini, ia memperkenalkan berbagai sistem pitch. Pengaruh karya Al Farabi berlangssung hingga abad keenam belas. Kitab Al-Musiqi karyanya kemudian diterjemahkan oleh Ibn Aqnin (1160-1226) ke dalam bahasa Ibrani sedangkan terjemahan dalam bahasa Latin diberi judul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.

Selain kedua filosof yang juga ahli musik di atas, kita pun tak dapat mengabaikan keberadaan Ibn Sina, sang dokter, yang juga menelurkan karya yang memiliki banyak bagian yang menjelaskan tentang musik di antaranya adalah al-Shifi dan al-Najat. Ada pula kelompok kajian yang disebut dengan Ikhwan Al-Safaa', dengan pendekatan mistikal dan sufistiknya mereka telah membawa musik ke dalam dimensinya yang baru.

Mereka menjadikan musik sebagai media kontemplasi yang membantu baik tubuh maupun jiwa agar selalu mengingat akan eksistensi dan kebesaran Allah. Pandangan ini lebih lanjut dikembangkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali yang menyatakan bahwa musik dapat membantu seseorang meningkatkan perasaan religiusnya dan mengalami pengalaman mistik. Ia menerangkan hal ihwal musik di dalam karya-karyanya.

Di antaranya dalam buku Ihya Ulum Al-Din dan Kitabul Adab al-Sami al-Uae'dh, yang menjelaskan tentang penggunaan musik dan lagu dalam kehidupan spiritual. Ada pula sufi terkenal bernama Jalaludin Rumi yang menyatakan bahwa musik merupakan sarana untuk mencapai penyatuan mistik dengan Tuhan. Ia bahkan memadukan musik dengan tari untuk mencapai pengalaman spiritual. (republika.co.id)