Hukum Shalawat atas Nabi Saw
Hukum membaca shalawat atas nabi menurut para ulama ada sepuluh pendapat, yaitu :
- Ibnu Jarir ath Thobari berpendapat bahwa shalawat adalah mustahabbat (sunnah) dan beliau menganggap bahwa hal ini adalah ijma para ulama.
- Ibnu al Qishor dan ulama lainnya berpendapat sebaliknya bahwa ijma’ ulama mewajibkan secara umum tanpa pembatasan, akan tetapi minimal diperbolehkan adalah satu kali.
- Abu Bakar ar Rozi dari kalangan ulama madzhab Hanafi, ibnu Hazm dan yang lainnya berpendapat diwajibkan disetiap shalat atau yang lainnya sebagaimana kalimat tauhid. Al Qurthubi, seorang mufassir, berpendapat bahwa tidak ada perselisihan akan wajibnya sekali seumur hidup dan ia juga diwajibkan disetiap sunah muakkadah, pendapat ini telah diungkapkan sebelumnya oleh Ibnu Athiyah.
- Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa shalawat diwajibkan saat duduk diakhir shalat antara bacaan tasyahud dan salam.
- Pendapat Syafi’i dan Ishaq bin Rohwaih adalah diwajibkannya pada saat tasyahud.
- Abu Ja’far al Baqir berpendapat bahwa shalawat diwajibkan didalam sholat tanpa ada pengkhususan.
- Abu Bakar bin Bukair dari kalangan madhzab Maliki berpendapat wajib memperbanyaknya tanpa ada pembatasan dengan jumlah tertentu.
- At Thohawi dan para ulama dari madzhab Hanafi, al Halimi dan sekelompok ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa shalawat itu diwajibkan ketika disebutkan nama Nabi saw. Ibnul Arobi dari kalangan madzhab Maliki berpendapat bahwa ini adalah suatu kehati-hatian, demikian pula dikatakan az Zamakhsyari.
- Az Zamakhsyari berpendapat bahwa shalawat diwajibkan sekali disetiap majlis walaupun penyebutannya terjadi berulang-ulang.
- Beliau juga berpendapat bahwa shalawat wajib disetiap doa.(Fathul Bari juz XI hal 170 – 171)
Jadi tidak ada perselisihan dikalangan para ulama akan disyariatkannya membaca shalawat atas Nabi saw, firman Allah swt, ”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)
Shalawat dari Allah adalah rahmat, sedang dari para malaikat adalah istighfar dan dari orang-orang beriman adalah doa. Jadi kaum mukminin diminta untuk mendoakan Nabi saw agar senantiasa bertambah keagungan dan kemuliannya saw.
Banyak pahala yang Allah sediakan bagi orang-orang yang senantiasa bershalawat atas Nabi saw sebagaimana sabdanya saw, ”Siapa yang bershalawat atasku satu kali shalawat maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim). “Manusia yang paling utama pada hari kiamat adalah oang yang paling banyak bershalawat.” (HR. Tirmidzi). “Orang yang bakhil adalah orang yang disebutkan namaku dihadapannya namun dia tidak bershalawat atasku.” (HR. Tirmidzi, dia mengatakan,’Hasan Shohih’)
Shalawat Badar
Shalawat Badar yang sangat masyhur dikalangan kaum muslimin di Indonesia bahkan hingga negeri-negeri tetangga berisi tentang tawassul dengan nama Allah swt, Nabi dan para mujahidin ahli badar.
Untuk mengingatkan kita tentang shalawat ini, berikut penggalan beberapa baitnya :
Sholatullaoh Salaamulloh ‘ala Thoha Rosulillah
Sholatullaoh Salaamulloh ‘ala Yaasiin Habiibillah
Tawassalnaa bi bismillah wabil Haadi Rosulillah
Wa kulli mujahidin lillah bi ahlil badri yaa Allah.
Artinya :
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi Thaha utusan Allah
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi Yasin utusan Allah
Kami berwasilah dengan berkah ‘bismillah’. Dan dengan Nabi yang memberikan petunjuk lagi utusan Allah
Dan juga seluruh mujahidin di jalan Allah dan juga dengan para sehabat ahli badar yaa Allah.
Tawassul adalah mengambil sesuatu untuk dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah swt.
Firman Allah swt, ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah : 35)
Didalam Shalawat Badar paling tidak mencakup tiga macam tawassul :
-
Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah.
Para ulama bersepakat boleh bertawassul dengan Nama dan Sifat Allah swt sebagaimana sebuah doa saat meruqyah orang sakit,”Ya Robb kami yang ada di langit, sungguh suci nama-Mu, urusan-Mu di langit dan bumi. Sebagaimana rahmat-Mu di langit jadikanlah rahmat di bumi. Ampunilah kami atas penyakit dan kesalahan kami. Engkau Robb orang-orang yang baik. Turunkanlah satu rahmat dari rahmat-rahmat-Mu. Kesembuhan dari kesembuhan-Mu dari penyakit ini, maka orang itu pun sembuh.” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya).
Didalam hadits ini terdapat tawassul kepada Allah azza wa jalla dengan memuji-Nya melalui Rububiyah dan Ilahiyah-Nya serta pensucian nama dan keagungan-Nya diatas makhluk-Nya juga perkara-Nya baik yang syar’i maupun qodari. (Syarhul Aqidah al Wasithiyah juz I hal 226, Maktabah Syamilah) -
Tawassul dengan Nabi saw dan orang-orang sholeh termasuk para mujahidin ahli Badar.
Syrikh DR. Yusuf al Qaradhawi tentang permasalahan tawassul mengatakan bahwa permasalahan tawassul dengan Rasul saw, para nabi malaikat dan orang-orang sholeh dari hamba-hamba Allah adalah perkara-perkara yang diperselisihkan para ulama. Perselisihan terjadi dalam teknis berdoa dan hal ini tidaklah masuk didalam permasalahan aqidah.
Dan barangsiapa yang membaca buku-buku dari berbagai madzhab baik Hanafi, Maliki, Syafi’i bahkan Hambali maka ia akan mendapatkan dengan jelas bahwa banyak dari ulama yang membolehkan tawassul dengan Rasul saw, orang-orang shaleh dari hamba-hamba Allah. Diantara mereka ada yang memakruhkan dan ada juga yang melarangnya.
Dan setiap kelompok dari mereka memiliki berbagai dalil atau syubuhatnya—minimal—dalam mendukung pendapat mereka. Dan orang-orang yang tidak sependapat kemudian melakukan penentangan terhadap mereka sebagaimana umumnya terjadi di berbagai permasalahan khilafiyah.
Terdapat satu dalil yang kuat bagi mereka yang mengatakan tawassul, yaitu hadits Utsman bin Hunaif yang telah dishohihkan oleh Syeikh al Albani, hadits ini mengingkari tawassul.
Bunyi hadits tersebut adalah diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang shohih dari Utsman bin Hunaif bahwasanya telah datang seorang laki-laki buta kepada Nabi saw dan berkata, ”Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.’ Beliau saw bersabda,’Jika engkau mau, maka aku akan berdoa untukmu dan jika engkau mau aku akhirkan doa itu maka itu baik untukmu—didalam sebuah riwayat disebutkan : dan jika kamu bersabar maka itu baik untukmu—orang itu berkata, ’Berdoalah kepada-Nya. Rasul pun menyuruhnya berwudhu maka dia pun memperbaiki wudhunya, melaksanakan sholat dua raka’at dan berdoa dengan doa ini, ’Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, aku menghadapkan kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad Nabi yang penyanyang, Wahai Muhammad sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku dengan (perantara) engkau kepada Tuhan-ku terhadap kebutuhanku maka penuhilah kebutuhanku, Ya Allah terimalah syafa’atnya untukku. Dia berkata,’orang itu pun melakukannya.’ Kemudian dia pun sembuh.”
Dikarenakan tema tawassul ini adalah permasalahan fiqih bukan aqidah maka aku (Yusuf al Qaradhawi) akan berbicara tentangnya dari buku-buku fiqih dari berbagai madzhab fiqih terhadap perbedaan hukum-hukumnya lalu masuk ke lingkup eksiklopedi fiqih dikarenakan hal ini juga masuk didalam peramasalahan-permasalahan furu’ amaliyah yang merupakan lingkup riset fiqih.
Banyak pula orang-orang yang tidak terikat dengan madzhabnya dengan mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan, diantara mereka Imam asy Syaukani—seorang ulama salaf—didalam kitabnya “Tuhfatudz Zakirin” syarh “al Hishnul Hashin” . Ada juga selainnya dari kalangan para ulama terdahulu dan belakangan, diantaranya ada yang membolehkan tawassul dengan Nabi saja dan tidak memperbolehkan tawassul dengan selainnya dari para Nabi, orang-orang shaleh sebagaimana pendapat Imam Izzuddin bin Abdussalam.
Aku sendiri (Yusuf al Qaradhawi) cenderung kepada pendapat yang mendukung tidak diperbolehkannya tawassul dengan diri Nabi saw dan orang-orang shaleh. Aku membangun pendapatku diatas pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hal ini didalam beberapa perkara berikut :
- Bahwa dalil-dalil yang melarang—yaitu melarang tawassul dengan diri Nabi dan diri orang-orang shaleh—lebih kuat dalam timbangan ilmiyah. Khususnya bahwa pintu Allah swt terbuka bagi setiap makhluk-Nya, tidak ada penghalang dan penjaganya sebagaimana pintu para raja dan penguasa bahkan Allah membukakan pintu-pintu rahmat-Nya bagi orang-orang yang berbuat maksiat dan menisbahkan mereka kepada dzat-Nya, firman-Nya swt, ”Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar : 53)
- Bahwasanya pembolehan tawassul membuka jalan untuk berdoa kepada selain Allah swt dan meminta pertolongan kepadanya. Banyak orang telah mencampur-adukan antara dua perkara itu, maka menutup jalan bagi orang-orang awam lebih diutamakan.
- Bahwasanya manhaj yang aku ambil dan pakai didalam pengajaran, da’wah dan fatwa yaitu apabila kita bisa menyembah Allah swt dengan perkara yang disepakati atasnya maka tidak ada celah untuk kita masuk kedalam perkara-perkara yang diperselisihkan. Berdasarkan hal ini maka aku tidak mendahulukan beribadah dengan shalat tasbih dikarenakan adanya shalat-shalat lainnya yang disepakati atasnya yang mutawatir dari Rasulullah saw tentang beribadah dengannya.
Akan tetapi aku tidak mengatakan berdosa kepada orang yang mengerjakannya dan orang yang berijtihad dengan membolehkan tawassul atau membolehkan beribadah dengan shalat tasbih dan yang sejenisnya. Aku tidak mengingkari hal itu kecuali dari aspek arahan kepada yang paling kuat dan utama karena tidak ada pengingkaran didalam permasalahan-permasalahan khilafiyah sebagaimana telah diketahui.
Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, walaupun beliau mengingkari tawassul dengan diri namun dia tidak keras dalam pengingkarannya hingga sampai mengkafirkan atau menyatakannya berdosa sebagaimana dilakukan sebagian orang yang menganggap mereka berafiliasi dengan madzhabnya. Beliau mengatakan didalam “Fatawanya” setelah menyebutkan perbedaan tentang masalah ini : “tidak seorang pun yang mengatakan, ’Sesungguhnya siapa yang mengatakan dengan pendapat pertama telah kufur. Tidak ada dasar untuk mengkafirkannya.
Sesungguhnya permasalahan ini masih misteri, tidak ada dalil-dalil yang jelas dan nyata. Sesungguhnya kekufuran terjadi karena mengingkari perkara-perkara yang diketahui prinsip didalam agama atau hukum-hukum yang mutawatir dan disepakati atau yang seperti itu…
Bahkan orang yang mengkafirkan seperti dalam permasalahan ini berhak mendapatkan sangsi dan peringatan keras sepertihalnya orang-orang yang mendustakan agama, terlebih lagi Nabi saw mengatakan, ”Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya,’Wahai kafir maka (kekufuran itu) kembali kepada salah seorang dari keduanya.” (Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam 1/106) dan hadits riwayat Muttafaq Alaih dari Ibnu Umar ra.
Banyak orang yang mengatakan, ”Sesungguhnya hadits diatas adalah dalil dibolehkannya tawassul didalam berdoa dengan kehormatan Nabi saw atau selainnya dari orang-orang shaleh karena didalam hadits itu Nabi saw mengajarkan orang buta itu untuk bertawassul dengannya didalam doanya yang kemudian dilakukan oleh orang buta itu sehingga kembalilah penglihatannya."
Adapun Syeikh al Albani mengatakan, ”Adapun kami melihat bahwa hadits ini bukanlah dalil untuk mereka terhadap tawassul yang diperselisihkan didalamnya, yaitu tawassul dengan diri, akan tetapi tawassul orang buta ini hanya didalam doanya.” (islamonline.net)
Wallahu A’lam
Memahami Tawassul
Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya.
Tentu saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam agama Islam.
Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar.
Untuk itulah disini kita akan membahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar kita. Kita diperbolehkan melakukan tawassul yang syar’i karena ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu’alaihi wa sallam.
Namun jelas kita juga dilarang dari melakukann berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi syirik yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridha-Nya namun ternyata sebaliknya, murka Allah-lah baginya. Waliyyadzubillah.
Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
Pengertian Tawassul
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir).
Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)
Mengenai ayat diatas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).”
Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang di ridhoi-Nya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
***
Tawassul Sunnah
Pertama: Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Allah Ta’ala berfirman,
“Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)
Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
Keempat: Bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali).”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Kelima: Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)
Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)
***
Tawassul Bid’ah
Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari: 1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
***
Tawassul Syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Maraji’:
Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam.
Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Shahihi, Muhammad bin Jamil Zainu.
Buletin At-Tauhid, Jogjakarta.