Keturunan Nabi, Orang Arab: Penyebaran Islam di Indonesia
Fiqhislam.com - Keturunan Nabi Muhammad SAW (dalam bahasa sederhana di Indonesia dikenal dengan sebutan Sayid atau Habib) ternyata sampai ke Indonesia. Jejak mereka terlacak pada persebaran keturunan Arab di negeri ini. Mereka berbaur dengan masyarakat, menjadi tokoh elite politik (raja), pedagang, hingga ulama.
Namun, seperti apa sosok mereka memang sampai kini belum terlalu jelas benar, Yang pasti jaringan keturunan Arab kini sudah membentang sangat luas. Istilah terkininya sudah melingkupi seantero dunia terbentang dari samudra Atlantik, samudra Hindia, hangga samudera Pasifik.
Selain itu, khusus untuk Indonesia kajian mengenai penyebaran mereka di Indonesia belum ada kajian komprehensif. Bahkan, keberadaan mereka di tanah Nusantara sebelum tahun 1859 tak diketahui secara pasti. Sampai era itu tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di Hindia Belanda yang menjadi jajahan Belanda. Ini karena di dalam catatan statistik resmi pemerintah kolonial, keberadaan perantau Arab dirancukan dengan orang Bengali dan pendatang lain yang beragama Islam.
Yang pasti terindikasi pesatnya kedatangan orang Arab di Nusantara mulai jelas, tercatat, dan besar ketika terjadi perubahan situasi yang mulai 1870. Hal ini seiring dengan perkembangan pesat teknologi perkapalan sehingga perpindahan orang dari Timur Tengah (di antaranya dari wilayah Hadramut) menjadi lebih mudah. Maka, pada tahun-tahun itulah awal dari masa yang sepenuhnya baru bagi koloni-koloni Arab yang ada di Indonesia.
Jadi, sebelum diterbitkannya data statistik resmi tersebut, mengenai jumlah orang Arab di Nusantara, khususnya di Jawa, hanya diperoleh dari keterangan kira-kira yang berasal dari cerita orangtua dan tradisi setempat.
"Hasil penelitian saya mengenai hal itu menunjukkan bahwa orang Arab Handramaut mulai datang secara massal ke nusantara pada tahun-tahun terakhir abad XVIII. Perhatian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka memilih pergi ke Palembang dan Pontianak,’' tulis LWC van den Berg, penulis buku klasik yang berjudul, Orang Arab di Nusantara.
Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820 dan koloni-koloni mereka di bagian timur Nusantara pada 1870. Data statistik pada tahun itu, tercatat jumlah populasi orang Arab dan keturunannya sudah mencapai 10.888 orang. Di Batavia, misalnya, ada 952 orang, Cirebon 816 orang, Tegal 204 orang, Cirebon 816 orang, Pekalongan 608 orang, Semarang 358 orang, dan Surabaya (mencakup Keresidenan Surabayam Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, Sidayu) mencapai 1626 orang. Lalu, Yogyakarta 77 orang, Surakarta 42 orang, Madura 979 orang, Kedu (Magelang) 47 orang, Cilacap 7 orang, Purwokerto 3 orang, dan Purbalingga 4 orang.
Menurut Berg, dari tabel statistik yang terbit pada 1885, saat itu di Pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Di Madura hanya satu, yaitu di Sumenep. Setiap koloni punya ciri khasnya tersendiri.
Koloni di Batavia sudah merupakan koloni terbesar di nusantara, jika dimasukkan anggotanya yang lahir di Arab. Namun, baru pada 1884 koloni ini menjadi begitu besar sehingga pemerintah Belanda mengharuskan adanya kepala koloni.
Sebelumnya, orang Arab berada dalam koloni-koloni kecil menetap di wilayah pribumi, terutama di wilayah yang ditinggali orang-orang Benggali, yang dalam bahasa Melayu disebut Pekojan, artinya "tempat tinggal Kojah" (Kojah berasal dari bahasa Persia "Khawajah" berati Benggali, atau lebih tepat penduduk asli Hindustan).
Lama kelamaan orang-orang Benggali digantikan orang Arab. Di Pekojan, hanya terdapat beberapa orang Cina dan sejumlah besar pribumi, seperti juga di semua wilayah Arab.
Rumah mereka terbuat dari batu bata dan bergaya sama dengan rumah di wilayah Eropa yang terdapat di Kota Batavia tua. Satu-dua rumah yang menggunakan balkon tertutup memperlihatkan kebangsaan penduduknya. Wilayah Pekojan sangat kumuh, tapi tampaknya orang Arab tidak terlalu menderita karenanya.
Di sana berdiri sebuah masjid yang luas dan seorang imam Arab yang sekaligus menjadi kepala sekolah. Salah satu ruangan di lantai dasar dijadikan kelas. Bangunan itu disebut dengan nama Melayu, "Langgar", dan membentuk wakaf yang makmur.
Namun, untuk shalat Jumat tidak dilakukan di Langgar, orang Arab melakukannya di masjid pribumi yang lebih besar yang terdapat di wilayah itu. Di samping langgar, di Pekojan masih terdapat masjid Arab lagi yang berukuran lebh kecil dan disebut "Zawiah".
Sebagian orang Arab di Batavia lainnya tinggal di daerah pinggiran, seperti Krukut dan Tanah Abang. Namun, pada saat ini kehidupan mereka belum berkembang (maksudnya pada saat Berg melakukan kajian--Red).
Beberapa orang Arab yang lain menetap di wilayah lain, yakni di lingkungan pribumi. Di semua wilayah itu, mereka mendiami rumah yang bergaya sama dengan rumah pribumi, atau mereka yang kaya tinggal di rumah besar atau kecil yang bergaya vila.
Di Batavia didapati orang Arab yang berasal dari segala tempat di Hadramaut dan dari segala lapisan masyarakat. Hanya golongan "sayid" (keturunan nabi) yang merupakan minoritas.
Sebagian besar orang Arab yang datang ke Pulau Jawa dan Singapura, terlebih dahulu singgah di Batavia, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain. Delapan tahun setelah itu (setelah adanya pendataan penduduk yang terakhir di 1884--Red), jumlah pendatang baru yang diizinkan masuk oleh Pemerintah Batavia, rata-rata jumlahnya melampui seratus orang untuk setiap tahunnya. Dan, sebagian pendatang baru ini kemudian menetap.
‘’Jadi, kelompok Arab di Batavia sedang berkembang dan jumlah anggotanya segera akan melampaui kelompok-kelompok lain,’’ tulis Berg ketika menganalisis perkembangan populasi penduduk di Batavia.
Sebagai akibat perkembangan itu, Berg kemudian meiihat bila di Batavia dijumpai hanya sedikit keluarga Arab yang turun- temurun telah menghuni Nusantara. Sebagian besar orang Arab itu kawin dengan perempuan pribumi.
Kehidupan intelektual mereka tidak pula tinggi. Unsur Arab begitu menguasai keturunan campurannya sehingga mereka terpaksa belajar bahasa Arab untuk dapat berkomunikasi. Sebagai ciri khas wilayah Arab di Batavia, perlu dikemukakan sedikit adanya toko. Di Pekojan hanya terdapat tiga puluhan toko. Hampir seluruh perdagangan Arab di wilayah itu dilakukan dalam rumah melalui para penjaja.
Koloni Arab yang lain di Jawa, misalnya, relatif baru. Di Cirebon, baru pada 1845 koloni Arab di sana menjadi cukup besar sehingga dibutuhkan kepala koloni yang akhirnya menjadi kepala semua orang Arab di karesidenan itu. Baru pada 1872, koloni Arab di Indramayu dipisahkan dari koloni Arab Cirebon dan memiliki kepala koloni sendiri.
Koloni Arab di Cirebon dan Tegal
Seperti juga di Batavia, wilayah yang dihuni orang Arab, di Cirebon, semula wilayah orang Benggali dan merekalah yang membangun masjid yang sekarang dikenal sebagai "Masjid Arab". Bangunannya cukup luas, tapi kurang terpelihara, seperti juga keadaan seluruh wilayah Arab. Jarang sekali ditemukan rumah-rumah yang cantik.
Koloni Arab di Cirebon hidup miskin. Satu-satunya orang Arab yang menjadi grosir di kota itu malah bangkrut. Di sepanjang jalan yang tampak hanyalah deretan toko-toko kecil, yang kotor dan tak lengkap isinya, dan tak satu pun menunjukkan kemakmuran pemiliknya, seperti yang terlihat di Pecinan.
Di antara koloni Arab yang besar di nusantara, koloni Arab Tegal adalah yang terbaru. Sebelumnya, hanya terdapat satu-dua keluarga dan kadang-kadang ada yang mampir sebentar di sana. Kepala koloni yang pertama diangkat pada 1883. Sejak zaman itu, jumlah orang Arab yang sebagian besar anggota suku Nahd, Kasir, dan Yafi, terus meningkat. Dan, sebagian wilayah Arab di Tegal setelah adanya imigrasi itu benar-benar menjadi padat.
Sejumlah rumah di Koloni Arab di Tegal ditinggali dua sampai tiga orang keluarga. Toko sangat sedikit, sebagian besar di antara orang Arab tinggal di gubuk yang dikelilingi kebun sayur dan hampir semuanya terkesan kotor dan miskin.
“Koloni Arab di Tegal tampaknya lebih sedikit melaksanakan ibadah Islam dibandingkan koloni-koloni Arab yang lain yang pernah saya kunjungi. Hal ini tidak mengherankan mengingat asal usul mereka. Jarang ada orang Arab yang turut berjamaah di masjid pribumi, sementara dunia ilmu, tak seorang pun (di antara mereka--Red) meminatinya,’’ kata Berg.
Para Sayid dan Koloni Arab Pekalongan yang Makmur
Koloni Arab di Pekalongan sangat berbeda cirinya (dengan koloni Arab di Tegal--Red). Orang-orang Arab yang pertama menetap di sini datang pada awal abad ke-19. Sebagian besar adalah golongan "Sayid" yang kawin dengan anak perempuan para pemimpin pribumi dan merupakan inti dari koloni besar yang ada. Mereka adalah keturunan sayid dan anggota keluarga sayid yang datang dari Hadramaut.
Mereka membentuk mayoritas penduduk Arab di Pekalongan. Anggota suku hampir tidak ada dan tampaknya dapat dikatakan sedikit sekali pendatang dari Hadramaut yang bermukim di sini. Meskipun di wilayah mereka beberapa rumah tidak berpenghuni, sebagian besar Arab di Pekalongan jelas hidup makmur. Tidak demikian halnya dengan campuran Arab yang tinggal di luar wilayah Arab. Mereka menetap di daerah pinggiran, seperti Ledok, Mpipitan, Kauman, dan Krapyak. Mereka sangat menjaga jarak denga orang Arab yang datang dari Hadramaut dan orang campuran yang masih mempertahankan ciri Arabnya.
Orang campuran Arab yang tinggal di daerah baru tersebut sama sekali tidak bisa berbahasa Arab. Mereka selama beberapa generasi tinggal di antara penduduk pribumi di rumah papan atau bambu, mencari nafkah seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan mengikuti adat istiadat mereka. Tak seorang pun di antara mereka berdagang. Di wilayah ini terdapat masjid kecil untuk bersembahyang sehari-hari.
Dan, meskipun tidak terdapat cendekiawan profesional di antara orang Arab pekalongan, hampir semua mereka cukup kaya, memperhatikan pendidikan jiwa. Di dalam sejumlah rumah ditemukan naskah dan buku yang tidak hanya dicetak dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Eropa, misalnya, yang disusun oleh S de Sacy dan diterbitkan sejak 1838. Koloni Arab di Pekalongan memiliki kepala yang diangkat oleh pemerintah.
Kisah lain tentang koloni Arab dengan para Sayid-nya berlanjut di Gresik dan Surabaya. Bagian Pulau Jawa tempat orang Arab mendirikan koloninya yang pertama ini adalah di mulut selat Madura. Bersama dengan Gresik, koloni Arab tersebut sudah lama ada semenjak abad XV. Untuk yang di Gresik, koloni Arab yang berada di situ mencapai puncak kebesarannya pada 1846. Dan, koloni Arab di Gresik ini sudah punya kepala koloni Arab sejak 1832.
Beda dengan Gresik yang kemudian mengalami kemunduran, koloni Arab di Surabaya malah sangat berkembang. Dalam lima belas tahun terakhir, populasinya berlipat dua. Di sini dijumpai orang Arab dari segala tempat di Hadramaut dan dari berbagai keluarga. Banyak di antaranya golongan sayid. Koloni Arab Surabaya ini dianggap sebagai pusat semua koloni di Jawa bagian timur. Koloni Arab lain berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki, dan Banyuwangi.
Wilayah Arab Surabaya terletak di bagian timur laut kota. Jalan-jalannya kebanyakan kotor, sempit, dan rusak. Di sana dijumpai banyak toko dan sejumlah rumah yang kokoh dan terawat baik. Terdapat tujuh masjid untuk bersembahyang dan masjid besar Ampel untuk shalat Jumat. Yang terakhir ini adalah masjid yang luas dan cantik di Nusantara. Meskipun masjid itu diurus oleh penjaga pribumi, sebagian besar jamaahnya adalah orang Arab.
Pada 1832, koloni Arab di Surabaya memperoleh kepala koloni yang sebangsa dengan mereka. Keturunan campuran Arab di Surabaya merupakan koloni yang masih mempertahankan identitas Arabnya.
Para Sayid dan Ulama Hadramaut: Jejak Islam di Selatan Jawa Sampai Pembuat Lambang Negara
Tak hanya berada di Pantai Utara, misalnya di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, yang menjadi tempat tinggal Habib Husein Alaydrus, sosok penyebar Islam asal Hadramaut ternyata sudah jauh lebih dahulu berkelana masuk ke pedalaman Jawa bagian selatan. Salah satu jejaknya itu adalah berada di Pondok Pesantren Somalangu (Al Kahfi) di Desa Sumberadi, Kabupaten Kebumen.
Pondok pesantren ini sudah berdiri sangat lama. Mengacu pada prasasti yang dipahat di batu zamrud, umur pesantren ini malah terindikasi lebih tua dua tahun dari Masjid Demak, yakni dibangun pada 26 Sya'ban 879 H (4 Januari 1475 M).
Pesantren Somalangu didirikan oleh seorang ulama yang mantan pejabat tinggi asal Syihr, Hadramaut, Yaman, yakni Sayid as-Syekh Muhammad 'Ishom al-Hasani. Sosok ini oleh masyarakat di sana lebih dikenal dengan nama Sayid as-Syekh Abdul Kahfi Awwal mengacu pada nama pemberian gurunya, Sayid Ja'far bin Hasan dari 'Inath.
Gelar "kahfi" dikenakan karena dia dikenal gemar menyendiri di dalam gua untuk beribadah. Adanya gelar "Sayid", maka dia tentu saja masih merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, oleh anak keturunnya di kemudian hari gelar sayid atau keturunan nabi ini tidak mereka pakai lagi. Mereka memilih nama biasa yang sama dengan pribumi.
Abdul Kahfi datang ke tempat itu setelah Sultan Demak memberikan perintah agar pergi dan tinggal ke pedalaman selatan Jawa itu. "Thama dha'u'' (di situ tempatmu)," begitu titah Sultan Demak kepada Syekh Abdul Kahfi ketika memintanya pergi ke selatan Jawa yang saat itu masih jarang penghuni dan penduduknya masih memeluk agama Hindu. Dalam riwayat lain (Kuntowijoyo) menyebut bahwa yang memerintahkan pergi itu adalah Raja Mataram, Sultan Agung.
"Pondok pesantren kami sudah sangat tua. Tak jauh dari masjid dulu ada candi dengan lingga-Yoni yang sangat besar. Sebelum pondok berdiri di situ, masyarakatnya menganut agama Hindu yang dipimpin Resi Dara. Nama asli desa itu Alang-Alang Wangi. Para alumni dan santri tersebar ke banyak daerah, apalagi pendiri pondok ini juga punya hubungan darah dengan para ulama Sumatra Timur dan di Kesultanan Bugis, Makassar," kata Hidayat Aji Pambudi MA, salah seorang pengurus Yayasan Pondok Pesantren al-Kahfi, Somalangu.
Menurut Aji, karena sudah berusia sangat tua, wajar bila kemudian para alumninya menyebar ke berbagai wilayah, terutama di wilayah Kedu Selatan, Cilacap, Banyumas, bahkan sejumlah pesantren di Cirebon juga ikut terkait. Temali jaringan ini semakin kuat karena antarpara murid yang kemudian mendirikan pesantren, termasuk keluarga Pesantren Somalangu, saling melanggengkan hubungan melalui ikatan perkawinan.
Sejak didirikan, pesantren ini telah mengalami pergantian pimpinan secara turun-temurun sebanyak 16 kali. Para alumninya pun telah menjadi tokoh Islam terkenal, seperti Kiai Abbas Buntet Cirebon, Kiai Dalhar Watu Congol Muntilan, dan Kiai Dahlan Jampes.
''Kalau hubungan pernikahan keluarga pesantren ini juga menikah dengan banyak kiai berpengaruh di sekitar wilayah Kebumen Pesantren Jetis), Banyumas (Pesantren Leler), dan Cilacap (Pesantren Kesugihan). Sedangkan, kalau jaringan santri alumni yang saling melakukan pernikahan sudah tak bisa lagi dilacak karena sudah tersebar luas dalam jangka waktu yang sampai 500-an tahun itu,'' ujar Aji.
Sama halnya dengan makam Habib Husein Alyadrus di Kampung Luar Batang, setiap hari selalu ada orang berjiarah ke makam Syekh Abdul Kahfi. Pada hari-hari tertentu -- misalnya dalam acara khaul/peringatan kematian-- peziarah yang datang mencapai ribuan orang. Suasana desa Sumber Adi pun menjadi hiruk pikuk. Sosok dan jasa ulama asal Hadramaut terkenang sampai sekarang, meski peristiwanya sudah hampir lima ratus tahun yang silam.
Penyebaran para keturunan Rasullah dan orang Arab ini juga menyebar ke tempat lain di seantero Nusantara. Apalagi sejak abad 13 Pesantren di Gresik yang dikelola oleh Sunan Giri menjadi pusat penyebaran agama Islam, terutama untuk wilayah timur Indonesia. Dari sana juga para keturunan nabi (Sayid) tersebar hingga Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Maluku, Nusatenggara, bahkan Papua.
Banyak di antara para sayid yang kemudian menjadi kaum elite, misalnya para raja di Kalimantan (bahkan juga menjadi raja dan ulama penting berbagai kerajaan di Sumatra).Salah satu catu contohnya adalah pada sosok keluarga Algadri di kerajaan Pontianak.
Di kerajaan Pontianak itu, bangsawan atau keluarga kerajaan itu, salah satu diantaranya Raja Sultan Hamid II, malah kemudian menjadi pencipta lambang negara Garuda Pancasila. Tak hanya itu saja dia juga menyerahkan wilayah kekuasaanya menyatu dengan negara Indonesia. Padahal kalau Sultan Hamid II mau, dia bisa berkuasa menjadikan kerajaannya negara mandiri yang merdeka karena dia adalah tokoh elit negara Republik Indonesia Serikat. Belanda pasti mau menyokong dan membantunya.
Nah, sampai sekarang, para tokoh masyarakat yang banyak berasal dari sayid (keturunan nabi SAW) yang kemudian menjadi elit di berbagi wilayah di Indonesia itu pun makamnya selalu diziarahi. Hari wafatnya pun selalu diperingati, yankni dengan acara ‘haul’. Di sini melalui keturunan dan para pengikut Rasullah SAW, telah lama berkiprah dan menyatu dalam diri bangsa Indonesia. Dan ini memperkuat tesis Buya Hamka bahwa Islam di Indonesia dibawa langsung dari Arab, bukan dari Cina atau Gujarat seperti teori para tinggalan orientalis kolonial. [yy/republika]
Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika